My Items
I'm a title. Click here to edit me.
Menilik Harmoni Falsafah Budaya dan Ruang Kota di Yogyakarta dalam Wujud Sumbu
Memaknai Yogyakarta sebagai City of Philosophy Yogyakarta, yang dikenal sebagai City of Philosophy, menyandang berbagai julukan yang tidak lepas dari sejarah peradaban kota tersebut. Sebagai kota yang sarat akan filosofi, Yogyakarta telah menjadi wadah perkembangan budaya sejak awal berdirinya. Sebagai “ The City of Philosophy ” dengan tajuk “ The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks ”, Yogyakarta diusung menjadi kota warisan dunia UNESCO. Berdasarkan Priyono, et. al. (2021), berbagai upaya dilakukan untuk mendukung Yogyakarta sebagai pusat pelestarian, pengembangan, dan pewarisan kebudayaan. Pembangunan kebudayaan akan mewadahi berbagai sektor lain untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kebudayaan sebagai komponen penting bagi masyarakat dan kota. The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks , sebuah mahakarya agung dalam perencanaan abad ke-18. Yogyakarta sebagai pusat kota bersejarah dan kota budaya, mengandung nilai-nilai falsafah dan kebudayaan yang terwujud dalam sumbu. Mengutip dari Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofi (2022), perwujudan tata ruang Yogyakarta dirancang untuk mengemukakan pemikiran filosofis Jawa mengenai daur hidup manusia. Pemikiran tersebut tertuang dalam “ Sangkan Paraning Dumadi ” yang bermakna siklus kehidupan dan “ Manunggaling Kawula Gusti ” yang bermakna hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Menurut Priyono, et. al. (2021), mahakarya sebagai buah pemikiran Sultan Hamengku Buwana I tersebut, dituangkan dalam berbagai bentuk tata ruang kota, warisan budaya arsitektur, dan lansekap Yogyakarta. Menyusuri Sumbu Filosofi Yogyakarta Mengutip dari Sapardan, Suryandari, & Aridyansyah (2022), nominasi The Cosmological Axis of Yogyakarta terwujud dalam dua komponen, yakni komponen Sumbu Filosofi yang berada di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul serta komponen Makam Imogiri yang berada di Kabupaten Bantul. Berdasarkan Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (2022), Kawasan Sumbu Filosofi mencakup atribut Panggung Krapyak, Sumbu Filosofi Selatan, Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Beteng Plengkung, Pojok Beteng Kraton, Kompleks Dalam/Inti Kraton, Tamansari, Masjid Gedhe Kauman, Sumbu Filosofi Utara, Pasar Beringharjo, Kompleks Kepatihan, dan Tugu. Berdasarkan Priyono, et. al. (2021), tata ruang kota Yogyakarta didasarkan pada keserasian makna sumbu filosofi yang menautkan antara Panggung Krapyak-Kraton-Tugu. Pola pembentukan kota Yogyakarta berlandaskan daur hidup manusia dengan pembagian kota Yogyakarta menjadi dua wilayah. Pada bagian selatan atau Panggung Krapyak ke Kraton merupakan simbol awal mula terciptanya manusia ( Sangkaning Dumadi). Sementara, pada bagian utara atau Tugu Pal Putih ke Kraton merupakan simbol jalan yang harus dilalui untuk kembali menuju Sang Pencipta ( Paraning Dumadi). Apabila kedua bagian disatukan akan menjadi satu titik temu antara Sangkaning Dumadi dan Paraning Dumadi yang bertemu di satu titik pusat yaitu Kraton. Pertemuan tersebut membentuk satu kesatuan utuh kota Yogyakarta yang bermakna filosofi jawa asal dan tujuan dari adanya hidup ( Sangkan Paraning Dumadi). Adapun Panggung Krapyak-Kraton-Tugu Pal Putih merupakan komponen utama dari Sumbu Filosofi secara konseptual. Atribut tersebut berada dalam satu garis lurus dengan Tugu Pal Putih dan Panggung Krapyak sebagai simbol Lingga dan Yoni. Berdasarkan Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (2022), Panggung Krapyak memiliki kondisi pelestarian yang baik dengan pemeliharaan rutin oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Mengutip dari Priyono, et. al. (2021), bangunan tersebut awalnya sebagai tempat Sultan berburu menjangan, namun saat ini menjadi salah satu tempat tujuan pariwisata. Selanjutnya, terdapat Jalan Gebayan yang menautkan antara Panggung Krapyak hingga Kraton sebagai Sumbu Filosofi Selatan. Berdasarkan Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (2022), ruas jalan tersebut memiliki kondisi yang baik, namun masih terdapat permasalahan fisik, di antaranya keberadaan papan reklame yang tidak sesuai khususnya di bagian selatan jalan dan bangunan informal yang dibangun di dekat sumbu. Di sepanjang jalan, ditanam pohon asam dan tanjung yang secara historis memiliki nilai filosofi yang tinggi. Melangkah lebih dekat lagi, terdapat Beteng, Plengkung, dan Pojok Beteng Kraton yang masih dalam kondisi baik. Namun, pada bagian benteng keliling (Baluwarti) terdapat pembangunan banyak bangunan kecil yang tidak sesuai dengan struktur warisan budaya dan cagar budaya (WBCB). Selanjutnya, terdapat Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang masih terpelihara dengan baik secara keseluruhan. Meskipun demikian, bagian dinding luar Kamandungan Kidul, Pangongan, dan halaman Kamagangan telah dipengaruhi oleh pemukiman. Tepat di sebelah barat Kraton terdapat Tamansari dengan Gapura Agung, Umbul Binangun, Masjid Sumur Gumuling, dan Pulo Kenanga sebagai struktur yang menonjol . Upaya pelestarian terus digalakkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia beserta Dinas Kebudayaan DIY semenjak gempa pada tahun 2006 yang melanda sehingga merusak sejumlah bangunan pada kompleks tersebut. Selanjutnya, terdapat Masjid Gedhe Kauman yang masih dalam kondisi baik dengan pemeliharaan rutin oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Lalu, terdapat Sumbu Filosofi Utara yang mencakup jalan Pangurakan, Margomulyo, Malioboro, dan Margoutomo. Ketiga ruas jalan Pangurakan, Margomulyo, dan Malioboro memiliki kondisi yang cukup baik dengan tidak ada pembangunan hotel atau bangunan tinggi yang berdampak signifikan pada Sumbu Filosofi. Sementara, bangunan tinggi yang menyalahi aturan telah dibangun di jalan Margoutomo. Di sepanjang jalan tersebut, bangunan bersejarah dalam kepemilikan pribadi telah diperbaharui secara tidak semestinya d engan sebagian besar bentuk asli telah ditutupi papan reklame. Berikutnya, te pat di sebelah utara Kraton, terdapat Pasar Beringharja dengan kondisi baik dan terpelihara baik. Sementara, bangunan yang terus berfungsi sebagai pasar baik bagi masyarakat lokal maupun turis tersebut, membutuhkan perbaikan pada beberapa elemen dari bagian internal pasar. Selanjutnya, terdapat Kompleks Kepatihan dengan Gedung Induk Kepatihan yang saat ini menjadi Kantor Gubernur DIY dan pusat pemerintahan provinsi. Semua bangunan dalam kompleks tersebut dalam kondisi baik dengan pemeliharaan rutin oleh unit khusus Pemerintah Daerah DIY dengan dukungan teknis dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Selanjutnya, Tugu, sebagai salah satu komponen utama dari Sumbu Filosofi secara konseptual, masih dalam kondisi sangat baik. Saat ini, Tugu merupakan hasil rekonstruksi dari tahun 1889, sebagai akibat dari gempa pada tahun 1867 yang berdampak pada struktur asli. Kendati demikian, bentuk hasil rekonstruksi tersebut masih dianggap merepresentasikan lingga sebagai lambang laki-laki. Dengan keberadaan Tugu di persimpangan jalan yang sibuk, taman dan pagar batu dibangun di sekitar Tugu untuk mengamankan dari ancaman lalu lintas. Menyoal Yogyakarta Hari Ini Kendati perkembangan dan perubahan tata ruang kota seiring waktu, Yogyakarta masih eksis menuangkan “wajah asli” sebagai wujud dari sejarah perkembangan kota tradisional Jawa. Di tengah perkembangan kota yang terus melakukan pembangunan, Yogyakarta sebagai mahakarya jenius kreatif diharapkan dapat terus lestari dengan kebudayaan yang adiluhung beserta makna simbolik dan filosofis yang kental. Yogyakarta, sebagai kota Istimewa yang sarat akan makna yang terwujud dalam sumbu. Korespondensi Penulis Ingga Dewi Amalia/ inggaamaliadewi@gmail.com
Pemisahan Kementerian PU dan PR: Peluang Baru atau Tantangan Baru bagi Pembangunan Kota?
Presiden dan Wakil Presiden ke-8 telah mengumumkan struktur kabinet yang baru yang dinamakan Kabinet Merah Putih, terjadi perubahan nomenklatur kementerian yang bertambah atau berpisah, salah satu yang menarik yaitu pemisahan Kementerian PUPR menjadi Kementerian PU serta Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman. Perubahan ini memunculkan banyak pertanyaan: Apakah ini membuka peluang baru atau menghadirkan tantangan baru dalam pembangunan kota? Di banyak negara, struktur kementerian yang menangani perumahan dan kawasan permukiman berbeda-beda sesuai dengan konteks kebijakan dan kebutuhan masing-masing. Sebagai contoh, di Amerika Serikat terdapat United States Department of Housing and Urban Development (HUD) yang fokus pada penyediaan perumahan dan peningkatan kawasan perkotaan secara inklusif. Sementara itu, di Singapura, Housing and Development Board (HDB) berperan sangat besar dalam merencanakan dan membangun perumahan terjangkau, dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat untuk memastikan standar kualitas hidup yang tinggi. Di Jerman, tanggung jawab perumahan dan pembangunan perkotaan tersebar di antara pemerintah federal, negara bagian, dan kota-kota yang memberikan otonomi lebih pada wilayah untuk beradaptasi dengan kebutuhan lokal. Pendekatan yang berbeda ini menunjukkan bahwa koordinasi dan kolaborasi antara berbagai sektor menjadi kunci untuk memastikan pembangunan yang efektif. Struktur kementerian perumahan dan kawasan permukiman ini juga memiliki hubungan yang erat dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 11 yang bertujuan untuk mewujudkan kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Penyediaan perumahan layak dan pengembangan kawasan permukiman merupakan komponen inti dari SDG 11. Di berbagai negara, kebijakan kementerian perumahan berperan besar dalam mengatasi permasalahan urbanisasi, kesenjangan akses perumahan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat perkotaan, sehingga berkontribusi langsung terhadap pencapaian target SDG 11. Selain itu, pendekatan yang komprehensif dalam pengelolaan perumahan dan kawasan permukiman juga sejalan dengan New Urban Agenda yang menekankan pentingnya perencanaan kota yang berkelanjutan, partisipatif, dan berpusat pada manusia. New Urban Agenda bertujuan untuk menciptakan kota yang inklusif dan berkelanjutan melalui sinergi kebijakan pembangunan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Dengan adanya kementerian yang khusus menangani perumahan dan kawasan permukiman, diharapkan kebijakan yang diambil dapat mendukung visi New Urban Agenda, terutama dalam menyediakan hunian layak, ruang publik yang baik, dan infrastruktur yang memadai. Awal Perubahan Pembangunan Permukiman Sebelumnya, bidang Pekerjaan Umum (PU) dan Perumahan Rakyat (PR) merupakan dua komponen yang sering kali dianggap sebagai satu kesatuan dalam konteks pembangunan nasional. Namun, pemerintahan baru nampaknya memiliki persepsi yang berbeda dan ingin fokus dalam melakukan pembangunan di setiap bidangnya sehingga kemudian melakukan restrukturisasi kebijakan yang memisahkan PU dan PR menjadi dua entitas yang mandiri. Ini adalah langkah yang membawa dampak signifikan terhadap tata kelola infrastruktur, perumahan, dan kawasan permukiman di Indonesia. Pemecahan ini memungkinkan masing-masing sektor untuk memiliki fokus yang lebih spesifik dan strategi yang lebih terarah. Pekerjaan umum kini lebih difokuskan pada pengembangan infrastruktur, termasuk jalan, jembatan, dan fasilitas lainnya yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat. Di sisi lain, sektor perumahan rakyat mendapatkan perhatian tersendiri untuk memastikan penyediaan rumah yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan peningkatan kualitas hidup di kawasan permukiman. Namun, dengan pemisahan ini muncul tantangan baru : "Bagaimana memastikan bahwa keduanya tetap bergerak secara sinkron untuk mencapai pembangunan perkotaan yang berkelanjutan?" Sebab pembangunan perkotaan tidak bisa hanya dilihat dari pembangunan fisik infrastruktur atau penyediaan hunian semata, melainkan harus melihat kedua hal tersebut sebagai satu kesatuan yang saling terkait. Pembangunan perkotaan yang ideal membutuhkan integrasi lintas sektor, mulai dari infrastruktur, sosial ekonomi, lingkungan, hingga budaya. Pembangunan kota harus mempertimbangkan tata ruang yang berkelanjutan, pola transportasi yang efisien, hingga keseimbangan antara kawasan hijau dan pembangunan fisik. Kemudian, terjadi penyatuan antara perumahan dan kawasan permukiman yang menjadikannya sebagai satu entitas tunggal. Ini memberikan fokus baru dalam pengembangan lingkungan perumahan yang bukan hanya menyediakan tempat tinggal, tetapi juga menciptakan lingkungan yang layak dan nyaman bagi kehidupan. Penyatuan ini mencerminkan pemahaman bahwa perumahan tidak bisa lepas dari konteks kawasan permukiman secara lebih luas, perumahan perlu didukung oleh infrastruktur kawasan seperti akses air bersih, listrik, transportasi, hingga ruang terbuka hijau. Penyatuan perumahan dan kawasan permukiman ini membawa implikasi positif dalam menciptakan kebijakan yang holistik, di mana fokus tidak hanya pada penyediaan rumah, tetapi juga kualitas hidup secara keseluruhan. Konektivitas antara rumah, ruang publik, hingga fasilitas umum lainnya menjadi lebih diperhatikan. Penyatuan ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang menekankan pentingnya penyediaan hunian yang layak dan pembangunan kawasan permukiman yang berkelanjutan. UU ini memberikan landasan hukum bagi Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk menggabungkan tugas-tugas terkait pengelolaan infrastruktur perumahan dan kawasan permukiman dalam satu kementerian. Penyatuan ini diharapkan mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, serta memastikan bahwa kebijakan yang diambil bersifat komprehensif dan terintegrasi agar dapat mewujudkan kota yang inklusif, nyaman, dan layak huni bagi seluruh lapisan masyarakat. Di sinilah pentingnya visi bersama dalam membangun kota. Pembangunan perkotaan membutuhkan perencanaan yang komprehensif dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Tanpa visi bersama ini, ada risiko bahwa sektor-sektor terkait pembangunan akan berjalan sendiri-sendiri, tanpa sinergi yang kuat. Tantangan dan Masalah Klasik Perumahan dan Kawasan Permukiman Pemisahan kementerian ini juga memunculkan berbagai tantangan dalam konteks perumahan dan kawasan permukiman. Tantangan pertama adalah terkait dengan koordinasi lintas sektor. Meskipun kementerian perumahan dan kawasan permukiman telah menjadi entitas yang mandiri, ada risiko kurangnya sinergi antara kementerian tersebut dengan Kementerian PU, yang dapat berdampak pada ketidakselarasan antara penyediaan infrastruktur dasar dan pembangunan perumahan. Kedua, masalah perumahan yang masih dihadapi adalah keterbatasan akses terhadap perumahan yang layak, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tantangan dalam menyediakan perumahan yang terjangkau tidak hanya terkait dengan biaya pembangunan, tetapi juga dengan regulasi lahan, keterbatasan lahan yang tersedia, serta kebutuhan akan pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan. Ketiga, kawasan permukiman di perkotaan sering kali dihadapkan pada permasalahan infrastruktur dasar, seperti akses air bersih, sanitasi, dan listrik. Permukiman kumuh masih menjadi tantangan besar di berbagai kota, yang membutuhkan intervensi kebijakan yang lebih holistik dan terintegrasi untuk memastikan peningkatan kualitas hidup bagi semua lapisan masyarakat. Selain itu, isu keberlanjutan juga menjadi tantangan besar dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Pembangunan yang berkelanjutan harus memperhatikan efisiensi energi, pengelolaan limbah, serta penggunaan material ramah lingkungan. Tantangan ini semakin kompleks dengan adanya perubahan iklim yang memerlukan adaptasi dalam perencanaan dan pembangunan perumahan serta kawasan permukiman. Dengan demikian, meskipun PU dan PR telah berpisah, dan perumahan serta kawasan permukiman telah menjadi satu kesatuan, pembangunan perkotaan memerlukan lebih dari sekedar restrukturisasi kelembagaan. Diperlukan integrasi lintas sektor, komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan, dan partisipasi aktif masyarakat untuk mencapai kota yang berkelanjutan, aman, dan nyaman untuk ditinggali. Di berbagai negara, struktur kementerian yang menangani perumahan dan kawasan permukiman memiliki variasi, sesuai konteks kebijakan dan kebutuhan masing-masing. Misalnya, di Amerika Serikat terdapat United States Department of Housing and Urban Development (HUD) yang berfokus pada penyediaan perumahan dan peningkatan kawasan perkotaan secara inklusif. Di Singapura, Housing and Development Board (HDB) berperan penting dalam merencanakan dan membangun perumahan terjangkau dengan dukungan penuh dari pemerintah. Sementara di Jerman, tanggung jawab perumahan dan pembangunan perkotaan tersebar antara pemerintah federal, negara bagian, dan kota-kota yang memberikan otonomi lebih besar bagi penyesuaian kebutuhan lokal. Pendekatan berbeda ini menunjukkan pentingnya koordinasi dan kolaborasi lintas sektor untuk memastikan efektivitas pembangunan. Struktur kementerian ini juga berkaitan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), terutama SDG 11 yang bertujuan mewujudkan kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Walaupun pemisahan ini memungkinkan fokus yang lebih mendalam pada masing-masing bidang, muncul tantangan baru: bagaimana memastikan agar kedua kementerian tetap bergerak sinkron untuk mencapai pembangunan kota yang berkelanjutan? Pembangunan kota yang ideal membutuhkan integrasi lintas sektor yang mencakup infrastruktur, sosial-ekonomi, lingkungan, hingga budaya. Penyatuan perumahan dan kawasan permukiman menjadi satu entitas juga mengindikasikan pentingnya pendekatan holistik dalam penyediaan tempat tinggal yang layak, di mana kawasan permukiman tidak hanya menyediakan hunian, tetapi juga mencakup infrastruktur dasar, seperti akses air bersih, listrik, transportasi, dan ruang terbuka hijau. Pemisahan kementerian ini menghadirkan beberapa tantangan, antara lain koordinasi lintas sektor, akses perumahan layak, masalah infrastruktur permukiman, dan keberlanjutan pembangunan. Tantangan pertama adalah risiko kurangnya sinergi antara Kementerian PU dan Kementerian Perumahan, yang dapat menyebabkan ketidakselarasan dalam penyediaan infrastruktur dasar dan pembangunan perumahan. Tantangan besar dalam penyediaan perumahan layak terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk keterbatasan lahan, regulasi lahan, serta kebutuhan pembiayaan yang berkelanjutan. Kawasan permukiman perkotaan masih menghadapi masalah infrastruktur dasar, seperti akses air bersih dan sanitasi. Permukiman kumuh membutuhkan kebijakan yang lebih terintegrasi untuk meningkatkan kualitas hidup seluruh masyarakat. Selain itu, pembangunan perumahan dan kawasan permukiman harus memperhatikan efisiensi energi, pengelolaan limbah, serta penggunaan material ramah lingkungan, yang semakin kompleks dengan adanya tantangan perubahan iklim. Pemisahan Kementerian PU dan PR serta penyatuan perumahan dengan kawasan permukiman merupakan langkah untuk memperjelas fokus dan tanggung jawab setiap sektor. Namun, pembangunan kota yang berkelanjutan memerlukan lebih dari sekadar restrukturisasi kelembagaan. Diperlukan integrasi lintas sektor, komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan, serta partisipasi aktif masyarakat agar kota yang berkelanjutan, aman, dan nyaman dapat terwujud. Korespondensi Penulis Malindo Andhi S Marpaung/ malindo.andhi@infraindo.org
WEBINAR EDISI SEPTEMBER PSII MENdorong Transportasi Hijau Rendah Emisi terkait Solusi Mobilitas Berkelanjutan untuk Indonesia
[Jakarta, 1 Oktober 2024] - Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII) dengan bangga meriliskan webinar keduanya yang berjudul "Mobilitas Berkelanjutan: Langkah Menuju Transportasi Hijau yang Rendah Emisi," yang diadakan pada tanggal 27 September 2024. Webinar ini hampir dihadiri 82 peserta yang aktif berpartisipasi dalam diskusi yang sangat substansial dan mendalam. Berbagai isu penting seputar isu transportasi hijau rendah emisi bahkan studi kasus telah dibahas dengan detail oleh para narasumber dan peserta. Dalam webinar ini, menghadirkan pembicara yang terdiri dari Dadang Meru Utomo, S.T., M.U.R.P., Ph.D(Dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya), Daud Joseph S.T., M.G.M. (Direktur Operasional dan Keselamatan PT Transportasi Jakarta), dan Abiyyi Yahya Hakim (Youth Strategy Team The Climate Reality Project Indonesia) memberikan wawasan dan diskusi mendalam mengenai pembahasan transportasi hijau yang rendah emisi dari berbagai sudut pandang akademisi, pemerintah, NGO, serta masyarakat melalui peserta webminar dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur di Indonesia. Hasil diskusi utama dari webinar ini menekankan pentingnya penerapan transportasi hijau untuk meminimalkan jejak karbon dan emisi polutan lainnya serta mengurangi dampak negatif terhadap berbagai aspek penting, termasuk lingkungan, perubahan iklim, dan kualitas udara. Berharap hasil diskusi ini dapat menjadi landasan dalam masyarakat untuk mengetahui pentingnya penerapan transportasi hijau rendah emisi untuk pembangunan infrastruktur berkelanjutan di Indonesia. Berdasarkan tingginya antusiasme dan banyaknya pertanyaan dari peserta, PSII berencana menyelenggarakan kegiatan serupa baik dalam bentuk webinar maupun workshop, untuk menindaklanjuti tema yang dibahas kali ini. Selain itu, Pusat Studi Infrastruktur Indonesia berhasil merilis artikel yang merangkum keseluruhan informasi penting dalam webinar tersebut yang dapat diunduh pada laman dibawah sebagai berikut. Kontak Media: Malindo Andhi Saputra Marpaung Program Director Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII) Malindo.andhi@infraindo.org
WEBINAR EDISI SEPTEMBER PSII
MOBILITAS BERKELANJUTAN : LANGKAH MENUJU TRANSPORTASI HIJAU YANG RENDAH EMISI Halo, Sobat PSII! Pusat Studi Infrastruktur Indonesia dengan bangga mengundang Anda untuk berpartisipasi dalam webinar kami yang akan membahas Mobilitas Berkelanjutan: Langkah Menuju Transportasi Hijau yang Rendah Emisi. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai transportasi hijau yang rendah emisi baik dalam aspek praktik regulasi dan kebijakan yang mendukung, perspektif penelitian, dan edukasi publik. Kegiatan webinar akan diadakan pada : 📅 Tanggal: Jum'at, 27 September 2024 🕒 Waktu: 14.00 WIB s.d. selesai 🎤 Narasumber : 1. Daud Joseph, S.T., M.G.M. (Direktur Operasional dan Keselamatan PT Trans Jakarta Indonesia) 2. Dadang Meru Utomo, S.T., M.U.R.P., Ph.D. (Dosen Fakultas Teknik Universitas Brawijaya) 3. Abiyyi Yahya Hakim (Youth Strategy Team The Climate Reality Project Indonesia) 🔗 Link Zoom dan Pendaftaran Webinar : Jangan lewatkan kesempatan ini untuk mendapatkan wawasan mendalam tentang bagaimana transportasi hijau yang rendah emisi dapat mendukung tercapainya mobilitas berkelanjutan. Daftar sekarang dan bergabunglah dalam upaya membangun masa depan yang lebih berkelanjutan! Terima kasih atas partisipasi Anda dalam upaya mencapai mobilitas berkelanjutan! Narahubung Isti Anisya (WA : +62 852-2467-0503) Muhammad Firdaus (WA : +62 812-1378-1088)
Pusat Studi Infrastruktur Indonesia mengadakan Webinar Edisi Juni bertemakan efisiensi pengelolaan dan pengolahan sampah perkotaan
[Jakarta, 15 Juni 2024] - Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII) dengan bangga meriliskan webinar keduanya yang berjudul "Efisiensi Pengelolaan dan Pengolahan Sampah Perkotaan," yang diadakan pada tanggal 7 Juni 2024. Webinar ini hampir dihadiri 100 peserta yang aktif berpartisipasi dalam diskusi yang sangat substansial dan mendalam. Berbagai isu penting seputar isu dan pengelolaan sampah perkotaan bahkan studi kasus telah dibahas dengan detail oleh para narasumber dan peserta. Dalam webinar ini, menghadirkan pembicara yang terdiri dari Fei Febriyanti SR, S.H (Direktur Utama Bank Sampah Bersinar), Ranitya Nurlita S.Pi (Founder dan Director Wastehub Community dan Sustainability Consultant), dan H. Ibnu Mundzir, S.P., M.Eng (Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Palu) memberikan wawasan mendalam tentang berbagai aspek pengelolaan dan pengolahan sampah perkotaan disertai beberapa paradigma pada masyarakat yang perlu diubah terkait pengelolaan sampah perkotaan. Hasil diskusi utama dari webinar ini menekankan pentingnya kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam ikut serta berkontribusi mengelola sampah perkotaan, masyarakat mengetahui adanya tantangan dan strategi inovatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala pengelolaan sampah perkotaan, dan perubahan paradigma masyarakat yang harus memulai belajar memilah jenis sampah perkotaan. Berharap hasil diskusi ini dapat menjadi landasan dalam masyarakat untuk mengetahui pengelolaan dan pengolahan sampah perkotaan untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia. Berdasarkan tingginya antusiasme dan banyaknya pertanyaan dari peserta, PSII berencana menyelenggarakan kegiatan serupa baik dalam bentuk webinar maupun workshop, untuk menindaklanjuti tema yang dibahas kali ini. Selain itu, Pusat Studi Infrastruktur Indonesia berhasil merilis artikel yang merangkum keseluruhan informasi penting dalam webinar tersebut yang dapat diunduh pada laman dibawah sebagai berikut. Kontak Media: Malindo Andhi Saputra Marpaung Program Director Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII) Malindo.andhi@infraindo.org
Webinar PSII Menghasilkan Diskusi yang Substansial tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Infrastruktur
[Jakarta, 09 Maret 2024] - Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII) dengan bangga mengumumkan kesuksesan webinar terbarunya yang berjudul "Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Infrastruktur," yang diadakan pada tanggal 8 Maret 2024 Webinar ini berhasil menarik perhatian sekitar 100 peserta yang aktif berpartisipasi dalam diskusi yang sangat substansial dan mendalam. Berbagai isu penting seputar pengarusutamaan gender dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia telah dibahas dengan detail oleh para narasumber dan peserta. Dalam webinar ini, menghadirkan pembicara yang terdiri dari Ir. Lilla Noerhayati (Ahli Pengarusutamaan Gender PUPR), Sri Wiyanti Eddyono, S.H., LL.M.(HR), Ph.D. (Dosen Fakultas Hukum UGM), dan Ir. Widjajanti Isdijoso, M.Ec.St (Direktur The SMERU Research Institute) memberikan wawasan mendalam tentang berbagai aspek pengarusutamaan gender dalam pembangunan infrastruktur. Hasil diskusi utama dari webinar ini menekankan bahwa adanya perspektif ganda tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan infrastruktur, pentingnya peraturan undang-undang yang adil gender, permasalahan marginalisasi gender, berbagai tantangan dalam pembangunan perkotaan, infrastruktur yang tidak memperhatikan gender, pentingnya identifikasi gender dalam penyelenggaraan PUPR, dan peran kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan. Dari diskusi yang intens ini, ditarik beberapa kesimpulan dan rekomendasi untuk tindak lanjut, antara lain pemetaan data gender, action plan lokal, penerapan kesetaraan gender dan K3, pendidikan gender untuk pria, dan peran perempuan dalam infrastruktur. berharap hasil diskusi ini dapat menjadi landasan bagi langkah-langkah selanjutnya dalam memperkuat pengarusutamaan gender dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Tingginya antusias dan banyaknya pertanyaan dari berbagai peserta memungkinkan bagi PSII untuk menyelenggarakan kegiatan serupa baik dalam bentuk webinar ataupun workshop menindaklanjuti tema webinar kali ini. Kontak Media: Malindo Andhi Saputra Marpaung Program Director Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII) Malindo.andhi@infraindo.org
URBAN SOCIAL FORUM (USF)
ANOTHER CITY IS POSSIBLE! "Kolaborasi Untuk Mimpi Perkotaan Yang Lebih Baik" Mengenal lebih dalam 10th Urban Social Forum (USF) Urban Social Forum adalah kegiatan yang berupa agenda tahunan berbentuk ruang terbuka dan inklusif untuk berdiskusi tentang gagasan, pengalaman dan pengetahuan, serta ruang bertemu dan berjejaring aktivis sosial urban dan organisasi yang bergiat di isu-isu perkotaan di Indonesia. Sejak adanya inisiasi oleh Yayasan Kota Kita di tahun 2013, USF telah melibatkan ribuan mahasiswa, aktivis, akademisi, praktisi, komunitas, dan organisasi isu perkotaan dan memfasilitasi ruang-ruang diskusi dan kolaborasi di Solo, Bandung, Surabaya, Semarang, dan Makassar. Kegiatan USF bertujuan menyatukan masyarakat sipil perkotaan yang sering terfragmentasi. Dengan fokus ruang terbuka, masyarakat umum, institusi, maupun organisasi dapat berpartisipasi dalam diskusi, menciptakan jaringan, dan bersatu. Dari tahun ke tahun, USF membawa tema besar “Another City is Possible!” , sebuah ajakan publik untuk bersama-sama bermimpi, menggagas ide dan inisiatif kerja dan kolaborasi, untuk menciptakan kota yang sejahtera dan dibangun atas partisipasi masyarakat. Puncak acara USF ke-10 yang berlangsung pada 9-10 Desember 2023 di dua lokasi Surakarta, SMPN 10 Surakarta dan Lokananta. dibuka dengan seruan bersama untuk merayakan kembali semangat kewargaan di kota. Sesi diskusi lalu dimulai dengan pleno bertajuk “Mencari Kota Idaman : Gerakan Masyarakat Mengubah Kota” yang diorganisir oleh Kota Kita. Panel Diskusi dan Lokakarya yang Penuh Insight 10th Urban Social Forum pada hari pertama pada 9 Desember 2023 dibuka dengan menarik melalui rangkaian mata acara Pleno Pembuka dengan topik “Mencari Kota Idaman: Gerakan Masyarakat Mengubah Kota” dan Pertunjukan Tari oleh murid SMPN 10 Surakarta. Acara dilanjutkan dengan berbagai panel diskusi dan lokakarya. Pada hari pertama, terdapat 11 panel diskusi dan 4 lokakarya dengan topik-topik yang sangat beragam dan insightful . Belajar dan bertukar pikiran di Gerai komunitas Selain panel diskusi dan lokakarya, ada pula gerai komunitas di Urban Social Forum ini. Terdapat beberapa booth dari berbagai komunitas. Pusat Studi Infrastruktur telah berkunjung dan berinteraksi dengan booth-booth yang sangat interaktif dan inovatif seperti bermain board game tentang isu gender equity dari Indonesia Inklusi dan mencermati perubahan wajah Kota Surakarta di berbagai objek dari Lentera Basuki. Di samping itu, masih banyak booth-booth menarik lainnya dari berbagai komunitas seperti Cleanaction, Kota Kita, Gerkatin Solo x MES56, RE-PUBLIK FOTO, Suarise, dan WALHI x Gita Pertiwi. Peranan Pusat Studi Infrastruktur Indonesia dalam Urban Social Forum Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII) berkegiatan di boothcamp pada hari Minggu, 10 Desember 2023. Dalam acara Urban Social Forum, Pusat Studi Infrastruktur Indonesia (PSII) juga menjaring kolaborasi untuk riset, proyek dan pelaksanaan NUF serta riset yang sedang berjalan maupun selesai seperti penanganan pascabencana Palu, walkability transition di jalur pedestrian Sudirman, perkotaan dalam COVID-19, dan lainnya. Adanya beragam jenis buku, brosur, booklet, poster, dan penayangan pameran virtual yang dapat diakses secara fleksibel oleh peserta yang hadir dan cukup interaktif menjadikan peserta aktif untuk bertanya, berpendapat, serta tukar pikiran terhadap riset yang dilakukan oleh PSII. Umumnya peserta yang menghadiri boothcamp PSII berasal dari beragam jenis organisasi/institusi maupun perseorangan yang didominasi oleh mahasiswa dan penggiat NGO. Selain itu, adanya riset yang dilakukan oleh PSII banyak melibatkan stakeholder sehingga ada beberapa peserta yang ingin terlibat dalam riset. Harapan mereka untuk Pusat Studi Infrastruktur Indonesia dan USF kedepannya Adanya riset dan kegiatan yang dilakukan oleh Pusat Studi Infrastruktur Indonesia tidak lepas dari adanya harapan bagi urbanism maupun masyarakat umum agar menjadi lebih baik. Adanya harapan bagi mereka untuk Pusat Studi Infrastruktur Indonesia dan Urban Social Forum meliputi : Kebaruan ilmu pengetahuan dan riset yang dilakukan dapat diupayakan dengan memerhatikan isu-isu yang berkembang saat ini maupun di masa depan; Banyaknya kolaborasi perlu menjadi acuan agar riset yang dilakukan melibatkan stakeholder yang terlibat; dan Adanya partisipasi publik dalam pelibatan riset yang dilakukan oleh Pusat Studi Infrastruktur Indonesia Dokumentasi Kegiatan Pusat Studi Infrastruktur Indonesia dalam Urban Social Forum (USF) Korespondensi Penulis Muhammad Firdaus / firdausdanoe@gmail.com Rahastuti Tiara Adysti / tiaraadysti@gmail.com Andhika Dwipayana / dwipayanaandhika@gmail.com
Peranan pedestrian untuk meningkatkan konsep pengembangan pembangunan yang terintegrasi
IDENTIFIKASI STUDI KASUS DARI FILIPINA, VIETNAM, DAN INDONESIA Peranan dan Tantangan yang Dihadapi Pedestrian Kini & Mendatang Pada tahun 2045 mendatang, diperkirakan 70% penduduk di dunia akan tinggal di perkotaan. Urban mobility atau yang dikenal mobilitas perkotaan akan menjadi suatu tantangan yang besar bagi kota-kota di dunia yang tentunya. Kegiatan berjalan kaki merupakan moda transportasi non-motorized yang paling efisien dan mudah diakses masyarakat, serta tidak menimbulkan dampak negatif, dengan berjalan kaki kegiatan esensial manusia untuk melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lainnya dapat dilakukan dengan mudah. Dalam perencanaan kota, peruntukan lahan, sistem transportasi, dan sirkulasi pejalan kaki harus dibangun secara sinergis agar menciptakan sebuah kota yang ramah pejalan kaki. Untuk memahami tantangan- tantangan yang dihadapi dalam menciptakan kota ramah pejalan kaki, sangat penting memberikan gambaran kronologis perkembangan pejalan kaki. Pada era modern saat ini, mobilitas pejalan kaki di perkotaan tidak menjadi prioritas dalam pengembangan pembangunan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mengalokasikan jalur khusus bagi pejalan kaki disamping berkembangnya infrastruktur transportasi utama. Saat ini, jalur pejalan kaki tidak hanya dapat berupa trotoar, tetapi juga pavement, sidewalk, pathway, maupun plaza dan mall. Indikator untuk merancang kota yang ramah pejalan kaki Walkable City merupakan konsep sentral dalam kebijakan TOD dimana konsep pembangunan yang memudahkan masyarakat dalam melakukan mobilisasi dan termasuk alternatif perencanaan kota untuk pertumbuhan wilayah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menurunkan biaya transportasi. Melalui Permen PU No. 3 Tahun 2004 tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan telah memberikan ketentuan- ketentuan terkait area pejalan kaki. Jalur pejalan kaki memerhatikan standar kesesuaian ukuran jalur, fungsi, keamanan, serta kemudahan akses oleh pengguna jalan. Berikut beberapa Indikator Walkable city berdasarkan Permen PU No. 3 Tahun 2004 Tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan : Mempertimbangkan aspek keamanan, kenyamanan, keindahan, dan kemudahan interaksi sosial bagi semua pejalan kaki termasuk pejalan kaki berkebutuhan khusus; Menerapkan ¼ bahu jalan dan dapat diakses langsung oleh pejalan kaki; Melayani pejalan kaki untuk dapat mencapai halte dengan jarak maksimal 400 meter atau dengan waktu tempuh maksimal 10 menit Memiliki hirarki penggunaan dengan mempertimbangkan volume pejalan kaki. Memiliki fasilitas untuk membantu mobilitas pengguna jalan, seperti ramp pejalan kaki untuk memberikan kenyamanan dalam berjalan serta membantu pejalan kaki berkebutuhan khusus (disabilitas) agar dapat mudah melintas Terhubung dengan prasarana jaringan pejalan kaki lain yang berseberangan melalui penyediaan penyeberangan sebidang, jembatan penyeberangan, atau terowongan penyeberangan Terhubung dengan tempat pergantian moda transportasi seperti halte atau shelter kendaraan umum Memenuhi standar penyediaan pelayanan prasarana jaringan pejalan kaki dengan bervariasi sesuai dengan ukuran dan dimensi berdasarkan tingkat volume pergerakan di ruang pejalan kaki Mempertimbangkan tipologi jalur pejalan kaki seusai dengan peruntukan ruang Menyediakan rambu dan marka yang menyatakan peringatan/petunjuk bagi pengguna jalan jika berpotongan dengan jalur lalu lintas kendaraan Mempunyai jarak pandang yang bebas ke semua arah,kecuali terowongan Memperhatikan peruntukan bagi pejalan kaki berkebutuhan khusus dalam perencanaan teknis lebar jalur dan spesifikasi teknik. (Permen PU No. 3 Tahun 2004 Tentang Pedoman Perencanaan, Penyediaan, dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan) Pearl Project : Pearl Drive Street, M. Manila, Philippines Pada tahun 2023, Kota di Filipina terdapat satu permasalahan penting terkait dengan adanya isu urban street life , yaitu living space di perkotaan. Hal ini menjadikan reklamasi sebagai pilihan bagus untuk menciptakan konsep tersebut dan pengembangan komunitas bagi masyarakat Filipina. Salah satunya, kawasan Pearl Drive dikenal sebagai jalanan perkotaan di Kota Pasig, Filipina. Kawasan ini memiliki karakteristik dengan adanya jalan dua jalur dengan panjang sekitar 500 m, tinggi bangunan komersial sebesar 136 lantai, vertical housing yang sebagian besar bertingkat tinggi, 6 hotel dalam jarak 50 meter dari jalan raya, 1 universitas dengan lebih dari 2.000 pelajar, 2 supermall dan pusat kereta berjarak lima belas menit berjalan kaki. Adanya karakteristik tersebut, diyakini kawasan Pearl Drive memiliki potensi kerumunan yang tinggi karena terdapat sirkulasi pengguna yang digunakan sebagai jalan umum baik untuk transportasi maupun pejalan kaki setiap harinya. Permasalahan ini dikuatkan dengan adanya kawasan Pearl Drive belum memiliki jalur pejalan kaki yang layak karena hanya terdapat blok kecil seperti trotoar yang lebarnya tidak dapat menampung pejalan kaki. Selain itu, adanya parkir liar mobil pada kawasan tersebut juga mengganggu pengguna jalan dan estetika kota. Oleh karena itu, adanya dikenal sebagai Pearl Project hadir untuk mengembangkan aktivitas berjalan kaki dan hampir mendapatkan 6.500 suara serta bekerja sama dengan pemerintah Kota dan Ortigas Land. Pearl Project bekerja sama dengan PGAA Creative Design, firma arsitektur lanskap, dengan membuat rencana pengembangan kawasan Pearl Drive dengan konsep membangun taman dan perbaikan fasilitas sekitarnya. Harapan dengan adanya implementasi rencana tersebut dapat menyejahterakan setiap pengguna jalan di Kawasan Pearl Drive. “A city’s street shouldn’t just be safe, they should also pleasureable. Pearl has what it takes to become a great street.But to achieve this future,Pearl Drive has to change.It has to put peoplefirst” Dr. Philip Samuel Z Peckson, Ph.D Assistant Professor at The University of Asia and the Pacific Jalur Pedestrian di Jalan Kota Ho Chi Minh, Vietnam Kota Ho Chi Minh cukup mudah dilaluidengan berjalan kaki, karena kotanya tidak terlalu besar. Selain itu Kota Ho Chi Minh merupakan pusat perekonomian dan hiburan kota, serta kota terbesar di Vietnam dengan jumlah pendudukhampir 9 juta jiwa dan selalu bertambah setiap tahunnya. Kota ini menjadi lokasi strategis karena terdapatkantor pemerintahan yang memiliki gedung - gedung menjulang tinggi dan terkonsentrasi.
Jalanan di Kota Ho Chi Minh terkenal penuh dengan pengendara sepeda motor sehingga bisa jadi cukup menakutkan bagi pengunjung yang baru pertama kali berkunjung. Oleh karena itu, timbul permasalahan ketimpangan ruang bagi masyarakat, khususnya untuk pengembangan jalur pedestrian. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat yang tidak memiliki mobil atau alat transportasi lainnya tidak dapat berlalu lalang ke suatu tempat denganmudah. Adanya permasalahan tersebut, ISCM (Institute of Smart City and Management) selaku pihak yang mengembangkan proyek dan penelitian yang berkaitan dengan Simulasi Perkotaan, Realitas Virtual, Program menuju strategi Kota Cerdas di Vietnam menggagas tiga lokasi pejalan kaki yang direvitalisasi untuk pengembangan jalur pedestrian yang berkelanjutan, yaitu Nguyen Hue Street, Book Streetz , dan Bui Vien Street . Jalan Nguyen Hue yang sebelumnya merupakan kanal air, akhirnya berubah menjadi jalur pejalan kaki pertama di Kota Ho Chi Minh yang didesain dengan lebar 64 m dan panjang 670 m serta menampilkan beberapa atraksi di jalan ini seperti live music, water feature, public space, sanitasi, dan fasilitas terbaru.kawasan ini juga dilengkapi dengan kedai kopi dan menghadirkan kegiatan masyarakat Vietnam seperti perayaan tradisi lokal. Bui Vien Street, tepatnya di Kota Saigon digagas sebagai lokasi perayaan atau pesta bernuansa western street oriented di malam hari karena keramaian multietnis yang cukup populer. Kawasan pada jalan ini terdapat fasilitas seperti bar, kedai, hotel, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Sebaliknya dari Bui Vien Street, terdapat kawasan Book Street yang berjarak 3 km dari Bui Vien Street telah dikembangkan di Kota Ho Chi Minh dengan konsep unik, yaitu bazar buku dan area pameran. Kawasan ini menjadi yang pertama di Vietnam dengankonsep ruang terbuka publik. Setiap orang dapat merasakan dan menikmati budayamembaca di Jalan Buku Kota Ho Chi Minh. Dari digagasnya ketiga lokasi tersebut, pemerintah dapat meningkatkan budaya berjalan kaki yang ramah lingkungan, interaktif, dapat meningkatkan perekonomian, dan mendukung acara komunitas dan seni. Beberapa hal harus diperhatikan dalam pengembangan kegiatan di jalur pedestrian di Vietnam seperti keamanan wisatawan, waktu wisata, kualitas fasilitas dan area parkir dengan menerapkan desain lanskap, pemeliharaan furnitur, dan aktivitas masyarakat setempat. Revitalisasi Infrastruktur Jalan di Sudirman, Indonesia Bertambahnya kendaraan bermotor di Kota Jakarta untuk moda transportasi sehari-hari, diyakini sebagai salah satu biang memburuknya kualitas udara perkotaan. Oleh karena itu, perlu ada kebijakan besar yang mampu mendorong masyarakat untuk lebih sering menggunakan kendaraan umum, mengayuh sepeda,maupun berjalan kaki. Hal ini sejalan dengan ide revitalisasi infrastruktur jalan di Kota Jakarta yang berfokus memberi ruang untuk pejalan kaki. Salah satunya, Kawasan Jalan Sudirman merupakan kawasan yang sering dilalui oleh pengguna jalan dan angkutan, termasuk pejalan kaki. Sejak awal tahun 1980-an hingga awal tahun 2000-an, penyediaan fasilitas sirkulasi di kawasan ini, yakni berupa ruang pejalan kaki yang masih kurang memberikan kenyamanan bagi penggunanya. Ide revitalisasi Jalan Sudirman secara konseptual muncul pada tahun 1981 dengan adanya perencanaan infrastruktur jalan oleh Dinas Pertamanan dan DPUPR. Pejalan kaki menjadi fokus perencanaan sepanjang kawasan Sudirman- MH.Thamrin, Jakarta. Tata jalan ibu kota saat ini mengembangkan konsep transportasi aktif dan transit yang berfokus pada jalur pedestrian dan pesepeda. Revitalisasi jalan pedestrian Sudirman berfokus pada trotoar yang dibangun lebih lebar dengan ukuran antara 8-12 meter dan didesain ramah bagi penyandang disabilitas, anak-anak hingga lansia. Di sepanjang trotoar itu disediakan jalur sepeda, jalur khusus difabel, ruang hijau, ruang aktualisasi seni budaya hingga 'walk of fame' bertuliskan nama para mantan atlet berprestasi. Revitalisasi trotoar dilakukan untuk mendukung program integrasi angkutan umum dan pengendalian kualitas udara di Jakarta. Selain itu, adanya integrasi jalur pedestrian dan transit transportasi umum seperti MRT, Trans Jakarta, dan KRL di Jakarta dengan konsep Transit Oriented Development (TOD) saling terhubung agar orang - orang dapat berlalu lalang dari satu tempat ke tempat lain dengan mudah. Pada saat ini, trotoar yang dapat dilalui pejalan kaki dan halte angkutan umum hanya tersedia di jalan utama, sedangkan trotoar yang menghubungkan kawasan perumahan dengan jalan utama kondisinya kurang layak dan banyak digunakan sebagai tempat jajanan kaki lima atau tempat parkir. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat memberikan konektivitas sirkulasi lebih layak terkait kualitas dan jumlah trotoar yang memadai diperlukan agar transportasi umum bisa menjadi pilihan utama masyarakat Jakarta untuk bepergian. Korespondensi Penulis Muhammad Firdaus/ firdausdanoe@gmail.com
Tantangan Sistem Perkotaan dan Kebencanaandalam Konteks Perencanaan Spasial
National Urban Forum Webinar Working Group 3: Spatial Development National Urban Forum National Urban Forum (NUF) merupakan wadah inklusif pada level nasional yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan untuk membentuk visi bagi pengembangan kota yang berkelanjutan sejalan dengan N ew Urban Agenda and Sustainable Development Goals (SDGs). Pada tahun ini, kegiatan NUF juga dilakukan untuk mengintegrasikan rangkaian acara perayaan Hari Habitat Dunia - Hari Kota Dunia 2023 di Indonesia. Latar belakang dari adanya NUF berawal dari permasalahan kemiskinan dan ketidaksetaraan di kota yang disebabkan laju urbanisasi yang tinggi, sehingga adanya implementasi NUA dengan prinsip “ Leave No One Behind ” yang menyoroti inklusivitas dan menghindari segregasi. Berkenaan dengan itu, PBB juga menetapkan rangkaian Hari Habitat Dunia setiap bulan Oktober sebagai refleksi kondisi kota dunia dan pemenuhan hak dasar penduduk atas tempat tinggal yang layak, hal ini mendorong Seknas Habitat di Indonesia sebagai knowledge hub dalam penyebaran capaian dari isu perumahan/permukiman dan mengikutsertakan berbagai stakeholder hingga masyarakat umum untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif. Isu, Tantangan, dan Konsep Sistem Perkotaan di Indonesia Indonesia merupakan negara terbesar keempat di dunia dan lebih dari 57% dari penduduknya tinggal di kota. Kota merupakan salah satu tolak ukur untuk melihat daya saing suatu negara, dan dalam beberapa versi peta dunia terkait daya saing perkotaan seperti knowledge center dan smart city , Indonesia tidak ada di dalam peta tersebut. Isu yang sangat berkaitan dengan perkotaan adalah urbanisasi, banyak yang menilai urbanisasi berkaitan dengan fenomena kemiskinan, ketimpangan, dan konsumsi lahan pertanian yang besar. Padahal di beberapa negara, urbanisasi mampu menjadi daya ungkit untuk mempercepat kemajuan ekonomi seperti halnya di Cina dan India melalui penerapan kebijakan urbanisasi sebagai faktor utama untuk mendorong kemajuan ekonomi. Sementara di negara-negara Eropa Tengah dan Utara, laju urbanisasi mampu menjadi hinterland kota besar di sekitarnya dan tidak menunjukkan ketimpangan yang mencolok dengan kota yang ditopang. Lalu di negara-negara eksportir hasil pertanian terbesar seperti AS, Australia, dan Israel adalah negara-negara dengan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi namun dapat menstabilkan produktivitas lahan pertaniannya. Dari contoh beberapa negara tersebut, dapat disimpulkan bahwa urbanisasi bukanlah penyebab utama dari masalah-masalah perkotaan seperti yang diasumsikan oleh banyak orang. Kesalahpahaman tersebut menandakan bahwa adanya tantangan urbanisasi di Indonesia seperti pembangunan sosial dan institusi lebih lambat dari pertumbuhan fisik dan ekonomi, ketimpangan antara kota-kota besar dengan kota-kota kecil/sedang, peran swasta yang lebih banyak dibanding peran pemerintah, dan informalitas pengelolaan perkotaan. Selain itu di Indonesia sering memaknai kota sebagai morfologis “ Space of place ” yang fokus terhadap konsentrasi bangunan/infrastruktur /cahaya malam (fisik), penduduk (sosial), dan kapital (ekonomi), padahal untuk sekarang sangat penting untuk memaknai kota sebagai relasional “ Space of flows ” yang fokus terhadap konsentrasi aliran/relasi SDA (fisik, orang/informasi (sosial), dan barang (ekonomi). Jika dilihat dari perkembangan kota di Indonesia, ada 3 hal yang saling berinteraksi yaitu institusi/kelembagaan, morfologi/fisik, dan pergerakan/sistemnya. Dalam sistem perkotaan di indonesia terbagi menjadi 3: Economically driven/organic , paling banyak di kota-kota di Indonesia, persoalannya meliputi komuter, migrasi, daya saing, keberlanjutan, dan kelembagaan Economically driven/organic , paling banyak di kota-kota di Indonesia, persoalannya meliputi komuter, migrasi, daya saing, keberlanjutan, dan kelembagaan Physically/property driven , banyak di otonomi-otonomi daerah, persoalannya meliputi fragmentasi ruang, segregasi, dan identitas Skala sistem kota semakin hari semakin multilayer baik secara fisik, ekonomi, dan tata kelola nya, semakin besar lingkupnya maka semakin kompleks juga urusan tata pengelolaan perkotaannya karena interaksi yang terjadi bukan hanya antar kota besar dan kota kecil, namun juga terjadi antar metropolitan bahkan antara kawasan perkotaan besar. Kawasan metropolitan yang merupakan kawasan yang dikelilingi kawasan pinggiran atau jejaring kota-kota yang berdekatan dan saling menunjang (kota-kota satelit) memiliki permasalahan yang harus dievaluasi yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan koordinasi horizontal antara lembaga-lembaga lokal. Jika ditarik lebih jauh, pada kenyataannya persoalan perkotaan di Indonesia tidak hanya berhenti di Kawasan Metropolitan, dengan adanya pembangunan jalan tol, kereta cepat, dan lain sebagainya menyebabkan interaksi antar metropolitan (Mega-urban) menjadi sebuah bom waktu seperti persoalan interaksi Jakarta-Bandung, Surabaya-Malang, Balikpapan-Samarinda, dan lain sebagainya. Dalam persoalan interaksi antar kawasan metropolitan akan muncul isu-isu seperti alih fungsi lahan, koordinasi antar berbagai sektor. Dengan adanya kawasan mega-urban, jaringan (koridor) antar wilayah mega-urban (Megaregion) menjadi alasan adanya berbagai mega proyek nasional seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kota Transit, dan lain-lain akan menjadi sistem spasial lintas kawasan mega-urban. Berbicara mengenai pembangunan high-speed railways , permasalahan megaregion ini merupakan platform yang tepat untuk pembangunan high-speed railways tersebut. Di samping hal tersebut, megaregion ini juga berpotensi memunculkan isu-isu seperti isu ekologi, ketahanan pangan, energi-air, ketimpangan wilayah, daya saing wilayah, hingga isu koordinasi vertikal (nasional-lokal). Beralih ke struktur sistem kota, di Indonesia sistem spasial cenderung berbasis pada monosentrik pada skala lokal-regional (kawasan) dan untuk skala yang lebih luas regional-interregional (sistem) lebih mengikuti sistem hierarkis. Mengevaluasi hal tersebut, sistem perkotaan yang polisentrik seperti Rebana dan konsep Triangle di IKN itu menjawab tantangan-tantangan yang ada di sistem perkotaan yang ada sekarang. Seperti Jabodetabek sudah mengindikasikan sistem perkotaan yang bukan monosentrik, namun konstruksi kebijakan spasial kita masih cenderung kepada monosentrik dengan melihat Jakarta sebagai pusat dari kawasan sekitarnya. Untuk permasalahan lintas kota, jejaring antar kota baik fisik (jalan, listrik, komunikasi) maupun non fisik (interaksi aktor dan lembaga) harus diperhatikan. Dalam konteks negara kepulauan seperti Indonesia perkembangan spasial di Indonesia berbentuk akan cenderung berbentuk koridor. Konsep perencanaan koridor perencanaan memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, koridor perkotaan ini merupakan konsep perkotaan yang anti-sprawl yang bersifat alamiah/mudah dibangun di Indonesia karena berbentuk kepulauan. Selain itu terdapat efisiensi/konektivitas/daya saing melalui infrastruktur dan aksesibilitas yang mendorong pemerataan karena berpotensi membentuk pusat pertumbuhan baru, rantai pasok, dan hinterland . Di samping itu, koridor perkotaan juga berpotensi untuk menyebabkan terjadinya konurbasi (penyatuan fisik kota) dan meningkatkan segregasi sosio-spasial, pengembangannya juga mudah didikte oleh pasar baik pasar regional maupun global dan pengelolaan dari konsep koridor perkotaan ini cukup kompleks karena cenderung lintas administrasi. Sehingga dari kelebihan dan kekurangan tersebut perlu dikaji lebih mendalam untuk mencari pola yang paling sustainable dan menguntungkan. Sudut Pandang Sistem Perkotaan dalam Perencanaan Spasial Perkembangan urbanisasi di Indonesia sangat tinggi dan diperkirakan oleh Bappenas hingga 80% pada periode lalu dan sekarang diturunkan di angka sekitar 60% Sebagian besar dari urbanisasi ini juga adalah munculnya perkotaan di Jawa, Sumatera Selatan, dan beberapa di Sulawesi. Dengan munculnya IKN juga merupakan pemicu percepatan pengembangan perkotaan di Kalimantan. Di berbagai negara, terkait urbanisasi ada yang dinamakan primate city atau kota pertama (Indonesia: Jakarta) yang memiliki jumlah penduduk sekitar 2 kali lipat dari kota kedua di negara tersebut. Primate city ini merupakan bagian penting dari kontribusi ekonomi negara, dalam konteks Indonesia terdapat Kota Jakarta dan Surabaya yang berpotensi terbentuknya koridor di pantai utara. Di Jakarta sudah berkembang urban regions dengan employment center yang berpotensi menjadi metropolitan baru. Kondisi land market di Indonesia yang sangat luar biasa berimplikasi dengan karakteristik Indonesia sebagai negara kepulauan, maka harus diperhatikan khususnya pada ketersediaan lahan seperti lahan pangan dan lain sebagainya karena industrialisasi di Indonesia terus berkembang. Namun di dalam konteks kontribusi ekonomi, yang menunjukan peningkatan di tren terakhir adalah sektor pangan, sedangkan di dalam sektor industri pengolahan malah menunjukan tren menurun. Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan koridor dari Jakarta ke timur perlu diperhatikan, sektor yang sedang dikembangkan adalah sektor industri, namun pada kenyataannya sektor industri banyak menyebabkan kerugian hingga akhirnya yang banyak dikembangkan adalah bisnis properti yang nantinya berpotensi menyebabkan permasalahan pada air bersih dan persampahan. Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan pengembangan perkotaan tersebut, terdapat 7 KSN perkotaan dari total 76 KSN di dalam PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional dan terdapat pengembangan berbagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan industri (KI) di sepanjang jalur dari mulai Cilegon hingga Surabaya menjadi salah satu pendorong terbentuknya sebuah koridor metropolitan. Di Indonesia secara hierarki memiliki pusat-pusat pelayanan dari mulai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), hingga Pusat Kegiatan Lokal (PKL). PKN di Indonesia terdiri dari Ibu Kota Provinsi yang mestinya antar PKN ini terhubung dengan sistem jaringan seperti jalan atau rel kereta api agar kegiatan ekonomi bisa tumbuh dan berjalan. Namun dengan adanya infrastruktur penghubung tersebut, akan berdampak juga pada hilangnya koneksi hierarkinya. Pengembangan koridor perkotaan ini selain sudah ada di Jawa, telah berjalan di Sumatera dan diperkirakan akan terjadi di Kalimantan. Berdasarkan hal tersebut, pengembangan koridor perkotaan ini perlu diperhatikan dengan berbagai potensi tadi agar dapat tetap sustainable untuk kedepannya. Pengelolaan Risiko dalam Pengembangan Spasial Salah satu tantangan pengembangan perkotaan di Indonesia adalah adanya banyak kejadian bencana. Kejadian bencana terdiri dari 2 faktor utama yaitu kerentanan dan ancaman/bahaya, kedua faktor utama dari bencana tersebut harus bertemu dalam 1 waktu yang sama sehingga bencana dapat terjadi. Di dalam konteks pengelolaan risiko, pengembangan dilakukan dengan mencoba untuk menghindari kedua faktor tersebut yang terdiri dari menurunkan kerentanan dan mengurangi potensi terjadinya ancaman (beberapa bencana, potensi ancaman tidak bisa dikurangi seperti gempa). Di dalam konteks SDGs, kebencanaan sudah menjadi perhatian dunia bahwa resiliensi harus masuk ke dalam sustainabilitas. Resiliensi terdiri dari 3 kata kunci, yang pertama adalah bagaimana ketika bencana terjadi bisa meredam kejutan-kejutan akibat dari bencana tersebut sehingga tingkat stress warga atau dampak lain dari bencana bisa dikurangi. Lalu yang kedua adalah bagaimana kita bisa kembali lagi kepada situasi normal atau bahkan kepada situasi yang lebih baik lagi. Kata kunci ketiga terkait learning and adaptation atau belajar untuk menghadapi bencana-bencana berikutnya. Dalam pemahaman sustainable development sekarang telah dimasukan faktor resiliensi, khususnya pada bagaimana kita bisa mencegah dan mengurangi dampak yang dihasilkan oleh sebuah bencana jauh-jauh hari melalui pembangunan yang disertai dengan resiliensi. Kejadian bencana di Indonesia sangat meningkat tajam dimulai pada tahun 2000-an hingga sekarang. Selain itu, permasalahan emisi di Indonesia juga sama terus meningkat, jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Singapura yang meskipun memiliki lingkungan yang hampir sama, negara-negara ini bisa dibilang berhasil dalam menangani permasalahan emisi. Dalam berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa perubahan iklim dan kebencanaan saling berkaitan dan menjadi tantangan pembangunan di Indonesia untuk kedepannya. Salah satu permasalahan lain dalam pembangunan di Indonesia adalah adanya Urban Heat Island berkaitan dengan meningkatnya run-off yang berpotensi menyebabkan banjir. Untuk menghindari isu dan permasalahan tersebut, maka pengembangan kota-kota di Indonesia harus dipersiapkan. Pertama dengan kampanye terkait pentingnya pemahaman isu dan permasalahan risiko bencana baik bersama masyarakat maupun dengan berbagai pihak lainnya. Selanjutnya adalah dengan mengintegrasikan faktor risiko ke dalam perencanaan salah satunya dengan menyusun rencana penanggulangan bencana dan kajian risiko bencana yang baik yang sering kali pada pengembangan tata ruang sebuah kota tidak diikutsertakan. Selain itu, pentingnya me-manage proses pembangunan untuk menghindari adanya risiko. Evaluasi dalam rencana juga penting dilakukan, dalam sistem perencanaan di Indonesia dilakukan sebanyak 1 kali dalam 5 tahun dan bisa lebih, namun perlu diperhatikan lagi apakah evaluasi tersebut bersifat objektif terhadap pengurangan risiko. Selain itu, sangat penting untuk mengkaji kembali kebijakan bangunan di kota-kota di Indonesia. Di Surabaya dalam merespon adanya banjir, ada regulasi untuk mengurangi beban drainase kota dengan mengakomodasi air limpasan dengan menyediakan kolam tampung ( long storage ). Lalu dari sisi emergency response , kota-kota di Indonesia harus didesain untuk bisa mem- backup situasi kedaruratan terutama kota-kota yang pernah mengalami bencana karena berpotensi mengalami bencana serupa. Dari sisi regulasi bisa mendorong kavling-kavling besar untuk menyediakan infrastruktur dasar seperti air bersih dalam peningkatan volumenya sehingga didapat back up untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Edukasi kepada masyarakat juga sangat penting karena salah satu faktor kerentanan adalah kerentanan sosial yang di dalam konteks pengembangan kota adalah kerentanan dari masyarakat kota itu sendiri agar memiliki kapasitas terkait ketahanan bencana. Sudut Pandang Kebencanaan dalam Perencanaan Spasial Berdasarkan data dari BMKG pada tahun 2020-2030 ada peningkatan suhu udara di Indonesia, dan juga ada prediksi kecenderungan musim kemarau akan semakin panjang dan pergantian musim tidak menentu lalu ketika musim hujan datang itu akan langsung lebat. Perubahan-perubahan ini tentunya akan berdampak pada kerentanan kota-kota di Indonesia. Selain itu, ada beberapa isu strategis dalam lingkungan hidup dan bencana, antara lain: Deplesi SDA dan Degradasi Kualitas Lingkungan Hidup Meningkatnya Pelanggaran Hukum SDA dan Lingkungan Hidup Tingginya Kerentanan dan Risiko Bencana Peningkatan Potensi Dampak dan Bahaya Perubahan Iklim Perlunya Penanganan Perubahan Iklim yang Lebih Holistik Upaya pengurangan risiko bencana dan pengelolaan kebencanaan di ranah perencanaan spasial tidak jauh dari teori resilien yang mengacu pada bagaimana alam menyeimbangkan dirinya. Teori ini tidak hanya ditekankan kepada ekologi saja, namun juga pada sosial-ekologinya atau pada kapasitas masyarakat. Dalam konteks perkotaan, kota yang resilien itu ditekankan kepada kapasitas baik itu kapasitas masyarakat, kelembagaan, ekonomi, dan lain sebagainya. Tingkat resiliensi dari sebuah kota dapat dilihat dari 7 kualitas yang dimiliki antara lain adalah: Kemampuan untuk mengatur sumber daya Kekuatan yang meminimalisir kegagalan Mempunyai kapasitas cadangan Kemampuan untuk belajar Memiliki strategi alternatif Komunikasi dan konsultasi secara inklusif Sistem yang terpadu Untuk mewujudkan kota yang resilien, bukan hanya untuk mengurangi risiko, tetapi jangka panjangnya harus juga fokus terhadap peningkatan kesejahteraan/kualitas hidup dari mulai masyarakat hingga keanekaragaman hayati. Dalam upaya pengelolaan bencana juga sudah ada kerangka kebijakan di berbagai level hierarkis di Indonesia, untuk pembiayaannya pun penting untuk ada alokasi baik APBN, APBD, bahkan sampai ke tingkat rumah tangga perlu juga ditingkatkan. Pelaksanaan pengelolaan risiko bencana dapat dilakukan dengan mengintegrasi/mensinergikan antara rencana strategis dengan rencana tata ruang dari level nasional hingga kabupaten/kota. Di dalam perumusan RDTR sudah ada tercantum pengelolaan risiko bencana ini di dalam KLHS terkait climate change dan isu lingkungan lainnya dan ada ketentuan khusus juga terkait kawasan rawan bencana di dalam muatan RDTR agar dapat mengefektifkan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruangnya. Korespondensi Penyusun Andhika Dwipayana / dwipayanaandhika@gmail.com
Build Back Better: Penanganan Pascabencana Sulawesi Tengah
Tahukah Anda bahwa Indonesia masuk ke dalam formasi Cincin Api Pasifik atau yang dikenal dengan Ring of Fire ? Formasi ini menggambarkan rangkaian gunung api sepanjang 40.000 km dan lempeng aktif yang membentang di Samudera Pasifik. Oleh karena itu, Indonesia memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana, terutama gempa bumi, erupsi gunung api, hingga tsunami. Berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) pada tahun 2021 menunjukkan status potensi bencana sedang hingga tinggi diseluruh daerah. Sebanyak 293 kota/kabupaten dengan indeks risiko sedang dan 221 kota/kabupaten dengan indeks risiko tinggi. Secara global, The World Risk Index pada tahun yang sama juga menempatkan Indonesia pada peringkat 38 dari 181 negara paling rentan terhadap bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggambarkan siklus penanggulangan bencana dalam tiga tahap, yaitu: i) pra-bencana atau situasi normal tidak terjadi bencana; ii) saat terjadi bencana dengan fokus tanggap darurat ( response ) dan bantuan darurat ( relief ); dan iii) pasca-bencana dengan kegiatan pemulihan ( recovery ), rehabilitasi ( rehabilitation ), dan rekonstruksi ( reconstruction ). Seluruh tahapan tersebut melibatkan peran aktif dari berbagai pihak, terutama pemerintah dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan dan memulihkan masyarakat yang terdampak bencana. Masyarakat Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi di Provinsi Sulawesi Tengah menghadapi bencana gempa bumi ekstrem yang memicu terjadinya tsunami, likuefaksi, dan tanah longsor pada tahun 2018. Unicef (2018) pada masa tanggap darurat mencatat setidaknya 1,5 juta orang terdampak dari bencana tersebut, dimana sekitar 2.000 orang meninggal dan 212.000 orang dinyatakan hilang. Bencana tersebut juga menimbulkan kerusakan bangunan dan infrastruktur dasar. BNPB memperkirakan kerugian mencapai lebih dari 13,82 triliun akibat kerusakan pada 68 ribu unit rumah, 327 unit rumah ibadah, 265 unit sekolah, 168 titik jalan dan 7 unit jembatan yang mengalami rusak berat. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di lokasi terdampak di Sulawesi Tengah dengan fokus pemulihan sektor perumahan, permukiman, fasilitas publik, dan infrastruktur. Pembangunan kembali pascabencana tidak hanya difokuskan untuk mengembalikan kondisi rumah dan infrastruktur, namun juga memperkuat ketahanan bangunannya untuk mengurangi potensi kerusakan berat di masa mendatang. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi berlangsung sejak tahun 2019 dan telah berhasil membangun 1.679 unit rumah, merehabilitasi dan merekonstruksi 58 sekolah, 1 perguruan tinggi, 4 fasilitas kesehatan, dan 3 bangunan publik lainnya. Selain itu, Kementerian PUPR juga telah melakukan rehabilitasi berbagai ruas jalan, jembatan, tanggul laut, hingga sarana irigasi. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi masih terus berlangsung, terutama untuk pembangunan rumah permanen hingga sekitar 6.000 unit. Seluruh kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi ditargetkan akan selesai di akhir tahun 2024. Dalam Webinar Hari Habitat 2022 oleh Pusat Studi Infrastruktur Indonesia, Kementerian PUPR membagikan best practice proses pemulihan pascabecana di Sulawesi Tengah. Kawasan wisata pesisir pantai di Silae, Lere, Besusu Barat, dan Talise (Silebeta) merupakan salah satu lokasi terdampak parah dari kejadian tsunami di Teluk Palu. Penataan pascabencana kawasan tersebut dirancang untuk menurunkan dampak dan risiko bencana tsunami di masa depan dengan adanya tanggul pantai dan rehabilitasi drainase sepanjang 7 km. Selain itu, rehabilitasi RS Anutapura Kota Palu dilakukan dengan fitur Lead Rubber Bearing (LRB) yang terdiri dari beberapa lapis karet sintetik atau alami yang memiliki nisbah redaman kritis antara 2 sampai 5 sebagai dasar isolator yang dapat mereduksi kekuatan gempa pada bangunan. Proses penanganan pascabencana oleh Kementerian PUPR juga berupaya untuk meningkatkan kapastias kebencanaan masyarakat dan pemerintah setempat, melalui kegiatan: 1) sosialisasi bahaya bencana, cara menghadapi bencana, early warning system dan pengelolaan terpadu untuk mencapai tujuan pelestarian ekologi, mitigasi bencana dan pemanfaatan ruang; 2) manajemen pengetahuan kebencanaan melalui penyediaan bahan komunikasi peningkatan pemahaman dan adaptasi bencana; dan 3) penyusunan advis teknis standar, pedoman dan manual, pelatihan, inspeksi, serta sertifikasi technostructure, prime mover, dan clearing house . Bencana yang melanda beberapa daerah di Sulawesi Tengah menjadi refleksi dalam proses perencanaan pembangunan di masa depan. Fokus pemulihan yang tidak hanya sekadar mengembalikan rumah dan infrastruktur ke kondisi semula, namun juga menambah kekuatannya sehingga menurunkan risiko kerentanan bencana di sekitar masyarakat. Proses interaksi dan kerja sama pemerintah pusat dan daerah, serta transfer pengetahuan selama rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana telah memperkuat kapasitas kesiapsiagaan berbagai pihak, terutama mereka yang tinggal di lokasi rawan bencana.
Takeaways: Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022
Forum Pengurangan Risiko Bencana (GPDRR) 2022 berlangsung di Nusa Dua, Bali, 23-28 Mei 2022. Forum ini berfokus kepada evaluasi tengah waktu Kerangka Kerja Sendai, setelah ditetapkan pada 2015 dalam Konferensi Dunia untuk Pengurangan Risiko Bencana di Sendai, Jepang. GPDRR 2022 menjadi kesempatan penting untuk memastikan pencapaian tujuh target dalam kerangka kerja. GPDRR 2022 merupakan forum global pertama yang telah berlangsung secara offline ditengah pandemi global Covid-19. Pelaksanaan forum ini menunjukkan keberhasilan penanganan Covid-19 di Indonesia, dan tingginya kepercayaan terhadap pengalaman Indonesia dalam menangani bencana. Selama beberapa hari pelaksanaan forum ini terdapat beberapa ' takeaways ' yang dapat menjadi pembelajaran dan perhatian Indonesia dimasa mendatang. Konsep Resiliensi Berkelanjutan Pemerintah Indonesia menawarkan konsep Resiliensi Berkelanjutan kepada dunia. Hal ini disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan GPDRR 2022. Presiden menyampaikan empat hal terkait konsep resiliensi berkelanjutan yaitu pertama, penguatan budaya dan kelembagaan siaga bencana antisipatif, responsif, dan adaptif menghadapi bencana. Penulis merekomendasikan agar Indonesia mendokumentasikan, serta menyebarluaskan berbagai indiginious/local knowledge dari berbagai daerah sebagai alat pengurangan risiko bencana, salah satu contohnya kulkul yang digunakan Jokowi dalam membuka forum. Dalam budaya Bali, kulkul digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat tradisional termasuk untuk memberikan peringatan akan bencana. Kedua, investasi dalam sains, teknologi dan inovasi, termasuk menjamin akses pendanaan dan transfer teknologi. Ketiga, Pembangunan infrastruktur yang tangguh bencana dan tangguh perubahan iklim. Menjadi suatu keharusan dalam pembangunan masa depan untuk memastikan aspek tangguh bencana dan perubahan iklim diakomodasi dalam perencanaan dan konstruksi infrastruktur dan bangunan gedung. Hal ini sesungguhnya telah didukung dengan regulasi dan hukum Indonesia, namun penulis menekankan kepada law enforcement dari berbagai aturan yang telah ada. Keempat, komitmen bersama untuk mengimplementasikan kesepakatan global mulai di tingkat nasional sampai daerah. Pengurangan risiko bencana merupakan kerjasama semua pihak, bukan hanya pemerintah pusat, namun juga pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Pemerintah Indonesia dalam forum ini menekankan perlunya Kerjasama Penta Helix dalam pengurangan risiko bencana yaitu antara pemerintah, komunitas, media, akademisi dan bisnis. Penulis menekankan pentingnya shifting dari komitmen kelima pemangku kepentingan ini menjadi aksi nyata dalam pengurangan risiko bencana. Kelimanya saling terkait dan menguatkan peran masing-masing, contohnya dalam menyediakan Early Warning System (EWS), pemerintah bertindak sebagai pembuat kebijakan dan penyusunan rencana, sedangkan akademisi berperan dalam riset dan penemuan inovasi terbaru EWS, untuk kemudian akan ditindaklanjuti oleh sektor bisnis untuk memproduksi teknologi yang ada. Media akan berperan dalam meningkatkan kesadaran dan menyebarkan informasi di masyarakat dan komunitas sehingga pada akhirnya menghasilkan masyarakat yang tangguh dan tanggap bencana. ' Cross-Cutting ' Sektor: Sains, Teknologi dan Pembiayaan Pegurangan risiko bencana bukan saja memerlukan partisipasi multi-stakeholder, namun juga memerlukan penanganan multi-sektor. Keberadaan komunitas yang tangguh dan tanggap bencana perlu didukung dengan teknologi, pembiayaan dan ilmu pengetahuan yang memadai. Dunia perlu saling transfer teknologi dan ilmu pengetahuan untuk saling menguatkan dan mewujudkan kesetaraan dalam pengurangan risiko dan penanganan bencana. Selain itu, pembiayaan yang terencana juga menjadi salah satu kunci mendukung pengembangan teknologi dan sains terkait bencana, sebagai contoh nyata kita dapat belajar dari Sendai. Melalui pembiayaan riset di Tohoku University, Kota Sendai mampu menjadi kota tangguh bencana dunia. Investasi pengurangan risiko bencana telah terbukti menurunkan kerugian finansial akibat bencana. Data Ministry of Land, Infrastructure and Transportation Jepang menyatakan bahwa 71,6 Miliar Yen investasi akan menyelamatkan 550 Miliar Yen kerusakan yang disebabkan bencana, atau dengan kata lain efektivitas investasi pengurangan risiko bencana sebesar 7,7 (sangat efektif). Pembiayaan dan investasi bencana menjadi salah satu topik utama dalam GPDRR 2022. Penulis mendukung dan mendorong pemerintah untuk serius dalam penyediaan pembiayaan bencana dalam bentuk pooling fund , sehingga Indonesia menjadi tangguh secara finansial sebelum dan ketika bencana datang. Tak jarang instrumen pembiayaan yang kurang tepat dapat menghambat penanganan bencana yang memerlukan kecepatan dalam implementasinya. Selain itu, sektor privat seperti perusahaan teknologi dan terkait konstruksi perlu didorong untuk mengembangkan teknologi pengurangan risiko bencana seperti EWS, radar, dan teknik konstruksi tahan gempa. Komunitas sebagai Kunci Pengurangan Risiko Bencana Inklusif bukan kata baru dalam dunia pembangunan. Inklusif secara sederhana diartikan sebagai pelibatan semua pihak ( stakeholders ), keterbukaan, tidak mengesampingkan pihak manapun dalam pelaksanaan pengurangan risiko bencana. Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah berusaha melibatkan seluruh stakeholder dalam pengurangan risiko bencana, namun pelibatan masyarakat perlu menjadi perhatian utama dimasa mendatang. Hal ini perlu menjadi penekanan utama mengingat masyarakat dan komunitas yang menjadi kelompok terdampak utama ketika bencana terjadi. Pengurangan risiko bencana harus dimulai dari masyarakat dan komunitasnya. Oleh karena itu, pembentukan komunitas yang siap dan tanggap bencana perlu dilakukan secara masif terutama masyarakat dan komunitas yang marjinal di daerah yang memiliki tingkat risiko dan kerentanan yang tinggi terhadap bencana. Peningkatan komunitas secara kualitas dan kuantitas perlu dilakukan secara sengaja dan implisit dalam Strategi Pengurangan Risiko Bencana. Keberadaan komunitas tangguh dan tanggap bencana juga menjadi corong informasi masuk dan keluar terkait pengurangan risiko bencana, dan juga penanganan bencana.
Membangun Kota Berketahanan: Belajar dari Pengalaman Pascabencana di Pasigala
Bencana alam gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi Sulawesi Tengah telah dua tahun berlalu. Namun, peristiwa yang terjadi pada 28 September 2018 silam masih melekat dalam ingatan para penyintas di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala (Pasigala). Masih tergambar dengan jelas bagaimana para penyintas merespon bencana yang datang secara tiba-tiba. Masyarakat Kota Palu dan Kabupaten Sigi cenderung bertahan ketika gempa skala kecil terjadi, sedangkan masyarakat Kabupaten Donggala yang lekat dengan laut memiliki kemampuan dalam memahami tanda-tanda alam sehingga bergegas melakukan evakuasi sejak gempa berskala kecil. Sesaat setelah bencana, penyaluran bantuan logistik berupa makanan kering dan mie instan menjadi sangat berarti untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan nutrisi. Dukungan pemulihan penghidupan juga disalurkan dalam bentuk uang tunai melalui program Jadup selama dua bulan penuh. Melalui berbagai bantuan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, para penyintas dapat bertahan sembari menunggu perekonomian keluarga pulih perlahan. Rantai pasok dan kegiatan perekonomian tak luput dari guncangan akibat bencana. Terputusnya rantai pasok dan terhentinya seluruh aktivitas perekonomian pascabencana menyebabkan para penyintas kehilangan mata pencaharian dan pendapatan. Oleh karena itu, memulihkan rantai pasok dan menghidupkan kembali roda perekonomian sangat penting untuk memastikan pemenuhan kebutuhan dasar. Kawasan Pantai Talise yang mengalami kerusakan parah akibat tsunami merupakan ladang perekonomian bagi para pedagang dan petani garam. Kegiatan perdagangan terhenti dan lokasi tambak garam tak luput diterjang tsunami. Terlepas dari trauma terhadap kejadian bencana, tuntutan ekonomi mendorong para pedagang Pantai Talise kembali melakukan aktivitas perekonomian. Namun demikian, tingginya tingkat kerawanan di lokasi tersebut, mendorong Pemerintah Kota Palu untuk merelokasi pedagang ke tempat yang lebih aman, yaitu Bundaran STQ dan kawasan hutan kota. Lokasi tambak garam yang hancur perlahan pulih melalui program padat karya sebagai bagian dari proses trauma healing yang didukung NGO. Dua tahun bencana berlalu, belum tampak perubahan signifikan dalam kehidupan para penyintas yang telah kehilangan rumah mereka. Penderitaan ganda dirasakan mereka yang kehilangan rumah dan mata pencaharian. Banyaknya keluarga yang masih tinggal dalam satu unit huntara dengan 12 bilik bukanlah perkara yang mudah, terutama di tengah pandemi Covid-19. Lemahnya kontrol dan penerapan protokol kesehatan di lingkungan huntara dapat menjadikan kondisi para penyintas lebih rentan. Pembangunan huntap menjadi harapan baru bagi para warga terdampak bencana. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang ditargetkan selesai pada Desember 2020 dilakukan secara kolaboratif oleh pemerintah, LSM, dan masyarakat pemilik hunian melalui dana stimulan. Beberapa huntap yang telah selesai dibangun, diserahkan kepada warga terdampak bencana. Namun demikian, bagi para penyintas tanpa dokumen legalitas untuk memenuhi syarat administrasi, mendapatkan bantuan huntap adalah angan-angan. Proses koordinasi menjadi tantangan sejak awal respon tanggap bencana. Banyaknya bantuan yang masuk dari berbagai sumber, termasuk dari masyarakat dan bantuan internasional, membutuhkan koordinasi dan data yang andal untuk menghindari tumpang tindih dalam penyaluran bantuan. Ketidakpastian tata ruang, lambatnya proses sinkronisasi aturan teknis, serta kendala dalam penyediaan lahan sangat kental dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi permukiman dan infrastruktur. Secara khusus, perlambatan proses pembangunan akibat kejadian pandemi harus segera ditangani. Rendahnya kinerja pemulihan di Pasigala kian menimbulkan gejolak sosial sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat. Aksi demonstrasi menjadi tidak terhindarkan. Berhadapan dengan bencana alam yang mematikan bukanlah pengalaman pertama bagi Indonesia. Gempa diikuti tsunami yang melanda Aceh, gempa yang mengguncang Nias dan Bantul, hingga letusan gunungapi Merapi dan Kelud nampaknya belum cukup membangun ketangguhan kita dalam merespon bencana. Sesar Palu-Koro yang disebut sebagai pemicu bencana di Sulawesi Tengah sejak tahun 1907 bahkan telah terdokumentasikan dengan baik juga tidak sepenuhnya mampu membangun kesiapsiagaan daerah. Banyaknya korban jiwa dan kerusakan bangunan, hingga secuplik kisah para penyintas saat berhadapan dengan bencana menggambarkan betapa kita tak kunjung siap menghadapi bencana. Proses pemulihan membutuhkan pendekatan dan respon yang berbeda dengan kondisi normal. (IFRC, 2020) Perjalanan panjang pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di Sulawesi Tengah merupakan catatan refleksi bagi seluruh pihak. Terlepas dari kesulitan dalam situasi pascabencana, proses pemulihan memberikan peluang untuk membangun kembali dengan lebih tangguh. Menempatkan masyarakat sebagai tokoh utama sejak awal pemulihan adalah hal yang paling mendasar untuk menciptakan keberlanjutan dan membangun ketangguhan. Seluruh stakeholder, termasuk pemerintah dan kita semua perlu menyadari pentingnya membangun ketahanan kota dalam menghadapi kejadian tidak terduga. Upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan akan bencana menjadi penting, terutama di kawasan rawan bencana dengan kerentanan yang tinggi. Hal ini menjadi salah satu komponen untuk meningkatkan ketangguhan sehingga dapat meminimalisir jumlah korban bencana. Kita mungkin tidak bisa mencegah bencana alam terjadi, namun kita dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat bencana. Dinamika yang terjadi selama proses pemulihan pascabencana di Sulawesi Tengah menjadi kesempatan bagi semua pihak untuk meningkatkan kapasitas dan ketangguhan masing-masing. Pemerintah daerah dalam hal ini didorong untuk membuka diri yang seluas-luasnya terhadap pembelajaran dan praktik terbaik dari pengalaman daerah lain bahkan negara lainnya sehingga mampu menghadirkan proses pemulihan yang lebih cepat, lebih aman, dan inklusif. Berbagai bantuan yang masuk seyogianya tidak hanya dipahami sebagai bantuan dana kemanusiaan untuk pemulihan sesaat, namun sebagai bentuk transfer pengetahuan hendaknya dimaknai sebagai kekayaan dan modal pengetahuan bagi pemerintah daerah setempat untuk pengembangan ke depan, menghindari respon yang salah dalam situasi kritis, dan menjadi lebih tangguh dalam menghadapi kejadian tidak terduga di masa mendatang. Bersama kita bisa! Artikel selengkapnya dapat diakses dalam Newsletter PSII edisi khusus "Dua Tahun Bencana Sulawesi Tengah" | bit.ly/2TahunBencanaSultengPSII #PaluKuat #Sultengbangkit #Pascabencana #Resilientcity