My Items
I'm a title. Click here to edit me.

Membangun Infrastruktur Telekomunikasi sebagai Katalisator Ekonomi Digital di Era Global
Gambar 1. Ilustrasi Ekonomi Digital Indonesia memiliki potensi besar untuk tumbuh dalam era ekonomi digital. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa saat ini, jumlah populasi penduduk Indonesia mencapai sekitar 270 juta orang, dengan lebih dari 78% populasi Indonesia telah memiliki akses internet dan jumlah pengguna internet aktif mencapai lebih dari 215 juta orang. Selain itu, pada tahun 2030 Indonesia juga akan mengalami puncak bonus demografi. Untuk itu, saat ini merupakan momentum yang tepat untuk bersama-sama mengoptimalkan potensi ini guna memberikan dampak yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pertama, menciptakan lapangan kerja baru dan peluang usaha yang luas. Dengan pertumbuhan pesat startup dan perusahaan teknologi di Indonesia memiliki potensi untuk menciptakan ribuan lapangan kerja yang akan memberikan generasi muda kesempatan untuk berkembang dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Kedua, ekonomi digital akan mempercepat transformasi sektor-sektor ekonomi. Adopsi teknologi digital dalam sektor ekonomi dan industri, seperti sektor manufaktur, pertanian, dan logistik berdampak pada meningkatnya produktivitas dan daya saing di pasar global. Hal ini akan membantu Indonesia menjadi pemain utama dalam perekonomian regional dan global. Ketiga, ekonomi digital akan membuka lebar pintu bagi inklusi finansial. Melalui layanan perbankan digital, penduduk yang sebelumnya tidak memiliki akses ke sistem perbankan tradisional akan mendapatkan akses yang lebih baik ke layanan keuangan. Hal ini dapat membantu masyarakat dalam mengelola keuangan dengan lebih baik, seperti melakukan investasi dan perencanaan masa depan. Pesatnya perkembangan teknologi, menjadikan perhatian utama kita semakin tertuju pada ekonomi digital. Ekonomi digital merupakan landasan penting untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Indonesia memiliki pondasi yang kokoh untuk meraih kesuksesan dalam era ekonomi digital, diantaranya dengan modal Sumber Daya Manusia (SDM) yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Ekonomi digital memiliki potensi yang besar untuk menjadi motor penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh guna mencegah fragmentasi dan meningkatkan koordinasi yang lebih efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi digital. Pengembangan ekonomi digital bukan merupakan tujuan akhir, melainkan sebagai instrumen strategis dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara menyeluruh, inklusif, dan berkelanjutan. Indonesia memiliki aspirasi untuk menduduki peringkat kelima negara dengan perekonomian terbesar dunia pada tahun 2045. Namun demikian, prospek perekonomian global ke depan penuh dengan ketidakpastian dan diproyeksikan mengalami penurunan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi global hanya sekitar 2%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga diperkirakan hanya akan mencapai sekitar 3%. Hal tersebut dipicu oleh meningkatnya ketegangan geopolitik dan dampak perubahan iklim. Untuk itu, guna mewujudkan Visi Indonesia 2045 diperlukan langkah yang luar biasa. Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6% per tahun. Terobosan dalam pengembangan ekonomi digital dapat menjadi katalis dalam mencapai target pertumbuhan tersebut. Berbagai negara telah mengambil langkah proaktif dalam mendorong transformasi ekonomi digital dengan mengalokasikan semua sumber daya serta dipandu dengan strategi atau peta jalan pengembangan ekonomi digital yang jelas, komprehensif, dan terstruktur. Definisi ekonomi digital terus mengalami evolusi seiring berjalannya waktu, sejalan dengan perkembangan aktivitas ekonomi itu sendiri. Oleh karena itu, definisi ekonomi digital menjadi sangat bervariasi. Secara umum, ekonomi digital didefinisikan sebagai segala aktivitas ekonomi yang sangat bergantung dan/atau mengalami peningkatan signifikan melalui pemanfaatan berbagai unsur digital. Unsur-unsur tersebut mencakup teknologi digital, infrastruktur digital, layanan digital, serta data digital. Gambar 2. Ilustrasi Ekosistem Ekonomi Digital Lintas Sektor Nilai ekonomi digital Indonesia terus mengalami pertumbuhan . Pada tahun 2021, nilai ekonomi digital Indonesia diestimasi berkontribusi sebesar Rp1,490 Triliun dimana kontribusi industri digital mencapai 6.12% terhadap PDB. Ekonomi digital di Indonesia mencakup berbagai sektor yang memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan transaksi dan interaksi ekonomi yang meliputi: 1. E-commerce : Platform seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak memungkinkan penjual dan pembeli untuk bertransaksi secara online dan menghubungkan produsen lokal dengan pasar global; Akses perbankan digital dan belanja di e-commerce merupakan dua aktivitas ekonomi digital yang banyak ditemui. 2. Fintech : Layanan keuangan digital, seperti pembayaran online dan pinjaman online semakin popular; Contohnya adalah layanan pembayaran melalui e-wallet , QRIS, dan aplikasi mobile banking. 3. Transportasi Online : Aplikasi seperti Gojek dan Grab menyediakan layanan transportasi, pesan antar makanan, dan layanan lainnya yang didukung oleh teknologi digital. 4. Layanan Streaming: Platform streaming video dan music, seperti Netflix, Spotify , dan layanan streaming lokal semakin populer di Indonesia. 5. Pendidikan Online: Platform e-learning, seperti Coursera, Udemy , dan berbagai platform lokal menawarkan kursus dan pelatihan online yang dapat diakses secara digital. 6. Jasa Online: Akses jasa online, seperti konsultasi hukum, desain grafis, dan layanan digital lainnya melalui platform, seperti Upwork dan Fiver. 7. Pariwisata Digital: Promosi pariwisata melalui platform digital, seperti website dan media sosial, dapat menarik lebih banyak wisatawan ke Indonesia. 8. Sektor Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif: Melalui platform e-commerce , banyak produk hasil budaya dan kreativitas masyarakat lokal Indonesia diperjualbelikan. 9. Sektor Kesehatan: Telemedis, aplikasi kesehatan, dan layanan kesehatan digital lainnya semakin berkembang di Indonesia. 10. Sektor Pertanian: Penggunaan teknologi digital dalam pertanian, seperti aplikasi pertanian, drone untuk pemetaan lahan, dan sistem irigasi otomatis, dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas. 11. Sektor Logistik: Penggunaan teknologi digital dalam logistik. Gambar 3. Ilustrasi Tantangan Ekonomi Digital Meski ekonomi digital telah menjadi bagian dari ekonomi masyarakat, terdapat sejumlah tantangan yang mesti diperhatikan, seperti: Kesenjangan Digital Tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap teknologi digital. Kesenjangan digital antara daerah perkotaan dan pedesaan, serta antara kelompok ekonomi yang berbeda, dapat menghambat pertumbuhan ekonomi digital secara menyeluruh. Perubahan Budaya Kerja Transformasi digital mengharuskan perubahan dalam budaya kerja. Budaya seperti jam kerja, lokasi kerja, hingga keterampilan kerja perlu diperhatikan. Perusahaan perlu memastikan bahwa karyawan memiliki kemampuan digital untuk beradaptasi dengan teknologi baru. Regulasi dan Kepatuhan Pemerintah harus mengembangkan regulasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi digital sambil melindungi kepentingan konsumen dan menjaga persaingan yang adil. Perusahaan juga harus mematuhi berbagai aturan dan regulasi yang berlaku di pasar digital. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dengan berkembangnya ekonomi digital, perlindungan hak kekayaan intelektual menjadi semakin penting. Perusahaan harus memastikan bahwa inovasi dan produk mereka dilindungi dari pelanggaran hak cipta dan paten. Keamanan Data dan Privasi Salah satu tantangan terbesar dalam ekonomi digital adalah menjaga keamanan data dan privasi pengguna. Serangan siber, pencurian identitas, dan kebocoran data adalah ancaman yang harus diatasi oleh perusahaan dan pemerintah untuk melindungi informasi sensitif. Korespondensi Penulis: Isti Anisya / isti.anisy@gmail.com Daftar Literatur: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2023). Buku putih: Strategi nasional pengembangan ekonomi digital Indonesia 2030 . ASEAN Indonesia 2023. VIDA. (2023, 4 Agustus). Ekonomi Digital: Pengertian, Contoh, dan Tantangannya . https://vida.id/id/blog/ekonomi-digital

Digital Leap: Infrastruktur Telekomunikasi sebagai Lompatan Ekonomi di Era Industri 4.0
Gambar 1. Ilustrasi Pemodelan Infrastruktur di era Industri 4.0 Sumber : Subkhi Mashadi, 2024 Perubahan besar yang dibawa oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tidak hanya berdampak pada bagaimana individu berinteraksi, tetapi juga telah mendisrupsi model-model bisnis, pemerintahan, dan tatanan sosial secara menyeluruh. Revolusi digital telah mengaburkan batasan geografis dan waktu dalam proses pertukaran informasi, transaksi ekonomi, hingga pengambilan keputusan politik. Oleh karena itu, transformasi digital tidak bisa lagi dianggap sebagai isu sektoral, melainkan sebagai fondasi utama dari sistem pembangunan nasional yang modern dan berkelanjutan. Dalam konteks global, negara-negara yang mampu menempatkan TIK sebagai pilar strategis dalam kebijakan publik terbukti lebih resilien terhadap krisis, seperti terlihat dalam masa pandemi COVID-19, ketika layanan digital menjadi tulang punggung dalam menjaga fungsi pemerintahan, pendidikan, dan perekonomian. Ketergantungan pada digitalisasi pun terus meningkat, menuntut negara untuk menyediakan infrastruktur telekomunikasi yang tidak hanya canggih, tetapi juga merata dan inklusif. Era Industri 4.0 menandai pergeseran besar dari ekonomi berbasis sumber daya alam dan tenaga kerja menuju ekonomi yang ditopang oleh inovasi dan efisiensi berbasis teknologi. Dalam era ini, otomatisasi melalui robotika, integrasi sistem melalui Internet of Things (IoT), serta kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menciptakan lanskap baru bagi industri, perdagangan, dan pelayanan publik. Namun, semua teknologi canggih tersebut tidak akan berfungsi optimal tanpa keberadaan infrastruktur digital yang solid. Jaringan internet berkecepatan tinggi, pusat data dengan kapasitas besar, serta jaringan seluler yang stabil menjadi prasyarat mutlak bagi operasionalisasi berbagai teknologi tersebut. Dengan demikian, infrastruktur telekomunikasi kini bukan lagi penunjang, tetapi justru menjadi prasyarat transformasi industri dan pemerintahan. Sebuah negara yang berhasil mengintegrasikan infrastruktur digital ke dalam sistem produksi dan layanan publiknya akan mampu menciptakan nilai tambah ekonomi yang signifikan, sekaligus mempercepat pertumbuhan sektor digital seperti e-commerce, edutech, healthtech, dan fintech yang kini menjadi penopang ekonomi masa depan. Di sisi lain, negara-negara yang masih memandang infrastruktur digital sebagai pelengkap atau kebutuhan tersier justru berisiko menghadapi stagnasi pertumbuhan ekonomi dan keterisolasian dari arus global. Ketertinggalan dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi bukan hanya menciptakan kesenjangan digital (digital divide), tetapi juga memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketiadaan konektivitas digital menghambat masyarakat di daerah terpencil untuk mengakses layanan pendidikan daring, fasilitas kesehatan berbasis telemedisin, atau bahkan informasi pasar yang mendukung produktivitas pertanian dan UMKM lokal. Dalam jangka panjang, situasi ini dapat melemahkan daya saing nasional dan memperbesar beban negara dalam mengatasi ketimpangan wilayah. Oleh karena itu, strategi pembangunan nasional yang visioner seharusnya menempatkan infrastruktur digital dalam posisi yang setara dengan infrastruktur fisik konvensional seperti jalan tol, pelabuhan, dan energi. Ketiganya kini saling terhubung dan saling menguatkan dalam menciptakan ekosistem pembangunan yang berdaya saing tinggi dan tahan terhadap disrupsi teknologi. Mengapa Infrastruktur Telekomunikasi Krusial di Era Industri 4.0? Era Industri 4.0 telah secara fundamental merevolusi struktur ekonomi global dengan menggeser penekanan dari tenaga kerja murah dan eksploitasi sumber daya alam menuju ekonomi berbasis pengetahuan, data, dan inovasi teknologi. Dalam kerangka ini, teknologi seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), blockchain, dan komputasi awan berperan penting dalam menciptakan sistem produksi dan layanan publik yang efisien, responsif, dan adaptif terhadap perubahan pasar. Namun, semua potensi itu tidak akan pernah tercapai tanpa keberadaan infrastruktur telekomunikasi yang mumpuni, yang mampu menyediakan konektivitas cepat, stabil, dan menjangkau seluruh wilayah. Menurut Baldwin (2019), transformasi digital yang digadang-gadang sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru akan kehilangan relevansi jika tidak didukung oleh konektivitas digital yang luas dan berkualitas. Inilah sebabnya mengapa pembangunan infrastruktur digital bukan lagi pilihan, tetapi suatu keharusan strategis bagi negara yang ingin mempertahankan daya saingnya dalam perekonomian global yang semakin terdigitalisasi. Selain sebagai fondasi teknologis, infrastruktur telekomunikasi juga memiliki dimensi sosial yang kuat, khususnya dalam membuka akses terhadap peluang ekonomi dan layanan publik yang sebelumnya sulit dijangkau. Akses internet yang merata membuka ruang bagi masyarakat di daerah terpencil untuk berpartisipasi dalam ekonomi digital, mengakses pendidikan daring, dan mendapatkan layanan kesehatan melalui platform digital. Misalnya, kehadiran platform e-commerce telah menghubungkan pelaku UMKM dengan pasar nasional maupun global, sementara fintech mempermudah akses masyarakat terhadap layanan keuangan yang sebelumnya terbatas oleh infrastruktur perbankan konvensional (World Bank, 2021). Namun, ketimpangan akses digital antarwilayah dan antar kelompok sosial juga menimbulkan ancaman baru berupa kesenjangan digital (digital divide), yang berpotensi memperdalam ketimpangan sosial-ekonomi. OECD (2020) menekankan bahwa ketimpangan digital kini menjadi salah satu bentuk ketidaksetaraan modern yang harus diatasi secara sistematis melalui investasi negara dan reformasi kebijakan. Oleh karena itu, infrastruktur digital harus diperlakukan sebagai bagian integral dari hak atas pembangunan dan bukan semata proyek teknologi. Dalam konteks kebijakan publik, pendekatan parsial terhadap pembangunan infrastruktur telekomunikasi harus segera ditinggalkan. Negara perlu hadir tidak hanya sebagai fasilitator pembangunan digital melalui regulasi dan insentif investasi, tetapi juga sebagai pemimpin dalam mengarahkan transformasi digital ke arah yang inklusif dan berkelanjutan. Negara-negara seperti Korea Selatan, Finlandia, dan Estonia menunjukkan bahwa strategi digital nasional yang terintegrasi mampu menghasilkan pemerintahan yang lebih efisien, ekonomi yang lebih tangguh, serta masyarakat yang lebih partisipatif (UNCTAD, 2021). Di Indonesia, upaya pengembangan jaringan Palapa Ring dan penyusunan peta jalan digitalisasi nasional telah menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengembangkan konektivitas digital hingga ke pelosok negeri. Namun, tantangan seperti keterbatasan kapasitas SDM digital, keterjangkauan perangkat, dan kualitas jaringan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) masih memerlukan pendekatan lintas sektor dan keberlanjutan anggaran negara. Integrasi kebijakan pembangunan digital ke dalam agenda nasional bukan hanya soal ekonomi digital semata, melainkan menyangkut bagaimana teknologi dapat memperkuat keadilan sosial dan demokratisasi akses dalam kehidupan masyarakat. Studi Kasus: Indonesia dan Upaya Membangun Jalan Tol Digital Gambar 2. Roadmap Strategi Pengembangan Industri 4.0 dan Sektor Prioritas berdasarkan Prioritas Nasional (PN) Sumber : https://www.kemdikbud.go.id/ Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang menunjukkan keseriusan dalam membangun infrastruktur digital sebagai bagian integral dari strategi pembangunan nasional. Komitmen ini tidak hanya tercermin dari berbagai kebijakan pemerintah, tetapi juga dari realisasi proyek strategis seperti Palapa Ring yang menjangkau seluruh wilayah nusantara. Dengan geografis kepulauan yang luas dan beragam, tantangan konektivitas digital selama ini menjadi hambatan utama dalam distribusi informasi, integrasi pasar, dan efisiensi layanan publik, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Palapa Ring, yang dijuluki sebagai “jalan tol informasi,” telah membentangkan lebih dari 35.000 kilometer jaringan serat optik yang menghubungkan 514 kota dan kabupaten di Indonesia (Kementerian Kominfo, 2020). Hasilnya, harga layanan internet yang sebelumnya tinggi mulai menurun di daerah-daerah terpencil, serta memungkinkan munculnya layanan digital yang sebelumnya sulit diakses oleh masyarakat. Selain Palapa Ring, Indonesia juga telah melangkah lebih jauh dengan memulai peluncuran jaringan 5G sejak tahun 2021, yang menjangkau beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Teknologi ini membuka peluang besar bagi adopsi sistem kota pintar (smart city), pengembangan industri manufaktur berbasis otomasi dan AI, serta sistem transportasi berbasis digital. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, jaringan 5G akan menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia, khususnya dalam meningkatkan produktivitas industri dan mempercepat layanan publik berbasis data (Kominfo, 2021). Tantangan implementasi memang masih ada, seperti keterbatasan infrastruktur pendukung di luar wilayah perkotaan dan isu keamanan data. Namun, komitmen untuk memperluas 5G secara bertahap memperlihatkan arah pembangunan digital nasional yang visioner dan adaptif terhadap teknologi global. Secara kebijakan, pemerintah juga telah merancang peta jalan nasional melalui Masterplan Percepatan Transformasi Digital Nasional 2021–2024, yang menjadi landasan integrasi digital di berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, pemerintahan, dan logistik. Salah satu program unggulan, Gerakan 100 Smart City, mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan ekosistem kota berbasis digital, yang didukung oleh data terbuka, teknologi sensor, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan (Bappenas, 2022). Dalam visi ini, transformasi digital tidak hanya ditujukan untuk mempercepat layanan, tetapi juga untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang transparan dan partisipatif. Hal ini sejalan dengan tren global, di mana digitalisasi telah menjadi alat penting dalam menciptakan tata kelola yang lebih responsif dan efisien (UN ESCAP, 2021). Penting untuk dicatat bahwa pembangunan infrastruktur digital di Indonesia bukan semata investasi teknologi, melainkan juga merupakan strategi pemberdayaan ekonomi rakyat. Dengan tersedianya konektivitas yang andal, masyarakat di pedesaan kini dapat mengakses platform e-commerce untuk menjual hasil pertanian, bergabung dalam pelatihan daring untuk meningkatkan keterampilan, atau mengakses layanan keuangan digital (fintech) tanpa harus bergantung pada bank konvensional. Transformasi ini membuka jalur pertumbuhan ekonomi baru yang lebih inklusif, khususnya di luar sektor-sektor konvensional yang selama ini mendominasi. Meskipun masih banyak tantangan dalam hal literasi digital, kecepatan jaringan, dan perlindungan data, arah kebijakan pembangunan menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya sedang membangun infrastruktur digital, tetapi juga sedang menata ulang struktur sosial-ekonomi berbasis teknologi masa depan. Dengan terus memperluas jangkauan dan kualitas infrastruktur digital, Indonesia berpotensi menjadikan ekonomi digital sebagai tulang punggung pembangunan nasional yang inklusif dan berkelanjutan. Tantangan dan Peluang Walaupun kemajuan infrastruktur digital di Indonesia cukup signifikan, berbagai tantangan masih membayangi keberhasilan jangka panjangnya. Salah satu tantangan utama adalah ketimpangan akses antarwilayah, terutama antara kawasan barat dan timur Indonesia. Data dari BPS (2023) menunjukkan bahwa hanya 52,3% rumah tangga di wilayah Indonesia Timur yang memiliki akses internet, dibandingkan dengan lebih dari 80% di wilayah barat. Selain itu, kualitas sumber daya manusia digital masih menjadi hambatan struktural dalam mewujudkan ekonomi digital inklusif. Masih rendahnya tingkat literasi digital, keterampilan teknologi, dan akses terhadap pendidikan vokasi digital menyebabkan banyak masyarakat tidak mampu memanfaatkan infrastruktur yang tersedia secara optimal. Di sisi lain, ancaman keamanan siber juga semakin nyata seiring meningkatnya penggunaan layanan digital. Kebocoran data pribadi, peretasan sistem pemerintahan, dan penipuan daring menjadi isu krusial yang harus ditangani melalui regulasi dan kesadaran publik yang lebih kuat (Kementerian PANRB, 2023). Meskipun tantangan tersebut kompleks, peluang ekonomi digital di Indonesia sangat besar dan menjanjikan. Dengan jumlah pengguna internet yang melebihi 220 juta orang dan penetrasi digital yang terus meningkat, Indonesia memiliki pasar domestik yang sangat potensial. Laporan Google-Temasek-Bain (2023) memperkirakan bahwa nilai ekonomi digital Indonesia akan mencapai USD 130 miliar pada 2025, menjadikannya yang terbesar di Asia Tenggara. Bonus demografi yang dimiliki Indonesia—yakni dominasi penduduk usia produktif—juga memberikan keunggulan kompetitif dalam membangun ekosistem startup dan ekonomi kreatif. Transformasi digital, jika dikawal dengan kebijakan yang responsif dan partisipasi multi-pemangku kepentingan, akan menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. “ Infrastruktur telekomunikasi di era Industri 4.0 adalah jalan tol menuju ekonomi digital yang inklusif, efisien, dan kompetitif, membuka peluang bagi semua lapisan masyarakat untuk berinovasi dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan” Pembangunan infrastruktur telekomunikasi di era Industri 4.0 telah menjadi faktor penentu dalam mewujudkan transformasi digital yang menyeluruh. Dalam konteks globalisasi dan digitalisasi yang tak terelakkan, negara yang mampu mengembangkan infrastruktur digital secara cepat dan merata akan lebih siap menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang ekonomi baru. Indonesia telah menunjukkan langkah awal yang progresif melalui proyek-proyek nasional seperti Palapa Ring dan pengembangan jaringan 5G. Namun, pembangunan infrastruktur fisik perlu disertai dengan strategi penguatan kapasitas manusia, penyusunan regulasi yang adaptif, dan pembentukan ekosistem digital yang aman, inklusif, dan berdaya saing. Transformasi digital bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga tentang keadilan, tata kelola, dan masa depan yang lebih berdaya. Langkah ke depan menuntut sinergi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat untuk menjadikan infrastruktur telekomunikasi sebagai fondasi kemajuan bersama. Dengan kebijakan yang visioner dan implementasi yang konsisten, Indonesia memiliki potensi untuk tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga menjadi produsen inovasi digital yang disegani di kawasan dan dunia. Lompatan digital bukan lagi mimpi, melainkan suatu keniscayaan yang dapat dicapai bila pembangunan dilakukan secara inklusif, strategis, dan berorientasi masa depan. Korespondensi Penulis Muhammad Firdaus / firdausdanoe@gmail.com Daftar Literatur Baldwin, R. (2019). The Globotics Upheaval: Globalization, Robotics, and the Future of Work . Oxford University Press. Bappenas. (2022). Laporan Program Gerakan 100 Smart City . Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. BPS (Badan Pusat Statistik). (2023). Statistik Telekomunikasi Indonesia 2023 . Jakarta: BPS. Google, Temasek, & Bain & Company. (2023). e-Conomy SEA 2023: Reaching New Heights . Retrieved from https://economysea.withgoogle.com Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). (2020). Proyek Palapa Ring: Akselerasi Infrastruktur Telekomunikasi Nasional . Jakarta: Kominfo. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). (2021). Strategi Nasional 5G untuk Ekonomi Digital Indonesia . Jakarta: Kominfo. Kementerian PANRB. (2023). Laporan Keamanan Siber dan Transformasi Digital di Layanan Publik . Jakarta: Kementerian PANRB. OECD. (2020). Bridging the Digital Divide: Include, Upskill, Innovate . OECD Publishing. Retrieved from https://www.oecd.org UNCTAD. (2021). Technology and Innovation Report 2021: Catching Technological Waves . United Nations Conference on Trade and Development. UN ESCAP. (2021). Digital Government for Sustainable Development in Asia and the Pacific . United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. World Bank. (2021). World Development Report 2021: Data for Better Lives . Washington, DC: World Bank.

Hunian Berbasis Teknologi: Studi Kasus Penerapan Smart Home di Jakarta dan Surabaya
Gambar 1. Hunian berbasis teknologi Hunian berbasis teknologi merupakan konsep hunian yang terintegrasi dengan Internet of Things (IoT), di mana perkembangan teknologi membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sektor permukiman dan perumahan. Konsep hunian pintar (smart housing) kini semakin populer seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan efisiensi, kenyamanan, dan keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari (Zanella et al., 2014). Dengan memanfaatkan teknologi seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), big data, dan sistem otomasi, hunian pintar mampu menghadirkan pengalaman tinggal yang lebih aman, hemat energi, dan adaptif terhadap kebutuhan penghuninya (Mohanty et al., 2016). Di berbagai negara, konsep hunian pintar telah diimplementasikan dalam berbagai skala, mulai dari rumah individu hingga kawasan permukiman terpadu. Kota-kota seperti Songdo (Korea Selatan), Amsterdam (Belanda), dan Singapura telah mengintegrasikan teknologi pintar ke dalam infrastruktur perumahan mereka untuk menciptakan lingkungan yang lebih efisien dan berkelanjutan (Harrison & Donnelly, 2011). Di Indonesia, pengembangan hunian pintar mulai diterapkan di beberapa kawasan, seperti BSD City, Meikarta, dan PIK 2, meskipun masih menghadapi berbagai tantangan, seperti infrastruktur yang belum merata, biaya investasi yang tinggi, serta tingkat literasi teknologi masyarakat yang beragam (Tamin et al., 2020). Selain itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa luas lahan sawah terus mengalami penurunan. Pada tahun 2017, luas lahan sawah tercatat sekitar 7,75 juta hektare, namun pada tahun 2018 turun menjadi 7,1 juta hektare (BPS, 2019). Hal ini cukup mengkhawatirkan karena pengurangan lahan pertanian berdampak pada penurunan hasil produksi pangan tiap tahunnya. Padahal, dengan populasi manusia yang terus berkembang, kebutuhan terhadap lahan pertanian juga semakin meningkat agar ketersediaan pangan tetap tercukupi (FAO, 2017). Alhasil, perkembangan teknologi dalam sektor perumahan melalui konsep hunian pintar (smart housing) membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat modern. Dengan integrasi IoT, kecerdasan buatan, dan big data, hunian tidak lagi sekadar tempat tinggal, tetapi juga ruang yang dapat beradaptasi dengan kebutuhan penghuninya secara otomatis. Namun, meskipun berbagai negara telah sukses menerapkan teknologi ini, Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal infrastruktur, biaya investasi, dan literasi teknologi. Penerapan smart housing di Indonesia seharusnya tidak hanya berfokus pada kawasan premium seperti BSD City atau PIK 2, tetapi juga mempertimbangkan solusi inklusif bagi masyarakat luas agar manfaatnya dapat dirasakan lebih merata . Di sisi lain, permasalahan konversi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman juga harus mendapat perhatian serius. Penurunan luas lahan sawah yang terus terjadi menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan hunian dan keberlanjutan sektor pertanian. Jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang tepat, seperti pengembangan hunian vertikal berbasis teknologi atau konsep kota pintar yang lebih ramah lingkungan, maka ketahanan pangan nasional bisa terancam. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan untuk tidak hanya mengejar modernisasi dalam sektor perumahan, tetapi juga memastikan bahwa inovasi tersebut tidak mengorbankan aspek keberlanjutan, terutama dalam pemanfaatan lahan dan sumber daya alam. Gambar 2 . Penampakan Housing Vertical Jakarta Sebagai ibu kota negara dan pusat ekonomi, Jakarta menjadi salah satu kota yang paling maju dalam penerapan teknologi smart home. Beberapa kawasan perumahan elit di Jakarta, seperti Navapark BSD, Southgate Residence, dan Pantai Indah Kapuk 2, telah mengintegrasikan berbagai teknologi rumah pintar dalam sistem hunian mereka. Teknologi yang digunakan mencakup sistem keamanan berbasis kecerdasan buatan (AI), pengelolaan energi pintar, hingga perangkat Internet of Things (IoT) yang memungkinkan penghuni mengontrol berbagai aspek rumah mereka melalui ponsel pintar (Sovacool & Furszyfer Del Rio, 2020). Penerapan teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan, efisiensi energi, dan keamanan penghuni, sejalan dengan tren global yang mengarah pada otomatisasi hunian dan gaya hidup yang lebih berkelanjutan (GhaffarianHoseini et al., 2016). Selain itu, pemerintah DKI Jakarta juga telah mulai mengembangkan konsep smart city yang turut mendukung penerapan teknologi dalam hunian. Program ini mencakup peningkatan akses internet berkecepatan tinggi, penggunaan sensor cerdas untuk pengelolaan infrastruktur perkotaan, serta sistem manajemen energi berbasis IoT untuk mengoptimalkan konsumsi listrik di lingkungan permukiman (Setiawan et al., 2021). Implementasi ini sejalan dengan tren global dalam pembangunan kota pintar yang bertujuan meningkatkan efisiensi operasional kota serta kenyamanan warganya (Batty et al., 2012). Salah satu inovasi penting yang mulai diterapkan adalah penggunaan sistem pemantauan lingkungan berbasis IoT yang membantu dalam mendeteksi kualitas udara, kebisingan, dan polusi di sekitar permukiman, sehingga mendukung terciptanya lingkungan yang lebih sehat bagi penduduk kota. Jakarta juga mulai menerapkan teknologi smart metering , di mana penghuni dapat memantau penggunaan listrik dan air secara real-time. Sistem ini memungkinkan efisiensi dalam konsumsi energi serta membantu dalam pengelolaan tagihan rumah tangga secara lebih transparan dan akurat (Shen et al., 2022). Smart metering telah terbukti mampu meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola konsumsi energi, seperti yang telah diterapkan di berbagai kota pintar dunia, termasuk Singapura dan Amsterdam. Selain itu, penggunaan smart grid dalam jaringan listrik Jakarta mulai dikembangkan untuk memastikan distribusi energi yang lebih efisien dan stabil, mengurangi risiko pemadaman listrik, serta memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan dalam kawasan perumahan. Meskipun penerapan teknologi smart home di Jakarta menunjukkan perkembangan yang positif, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Biaya investasi yang tinggi menjadi salah satu kendala utama dalam penyebarluasan teknologi ini, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Selain itu, kesiapan infrastruktur dan literasi teknologi masyarakat juga menjadi faktor penentu dalam keberhasilan implementasi smart home secara lebih luas. Untuk mewujudkan kota yang lebih cerdas dan inklusif, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, pengembang properti, dan sektor teknologi dalam menyediakan solusi hunian pintar yang lebih terjangkau dan dapat diakses oleh berbagai lapisan masyarakat. Secara keseluruhan, perkembangan smart home di Jakarta merupakan bagian dari transformasi menuju kota pintar yang lebih efisien, berkelanjutan, dan nyaman bagi penghuninya. Dengan dukungan infrastruktur digital yang semakin berkembang serta kebijakan yang berpihak pada inovasi teknologi, Jakarta berpotensi menjadi salah satu kota metropolitan yang unggul dalam penerapan konsep smart home dan smart city di kawasan Asia Tenggara. Namun, untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan pendekatan yang lebih inklusif agar manfaat teknologi ini dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya oleh segmen tertentu. Surabaya Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya juga tidak ketinggalan dalam penerapan konsep smart home. Kawasan perumahan seperti Grand Pakuwon dan CitraLand Surabaya telah menerapkan sistem otomasi rumah untuk meningkatkan kenyamanan penghuninya . Penggunaan perangkat pintar seperti sistem pencahayaan otomatis, pemantauan keamanan berbasis kecerdasan buatan (AI), serta penggunaan energi terbarukan menjadi bagian dari inovasi smart housing di kota ini (GhaffarianHoseini et al., 2016). Penerapan teknologi ini bertujuan untuk menciptakan hunian yang lebih efisien, aman, dan berkelanjutan, selaras dengan tren global dalam pengembangan smart home (Sovacool & Furszyfer Del Rio, 2020). Selain pengembangan hunian pintar oleh sektor swasta, Pemerintah Kota Surabaya juga aktif dalam mengembangkan konsep Surabaya Smart City. Salah satu inisiatif yang diterapkan adalah penggunaan smart grid dalam sistem kelistrikan, yang memungkinkan distribusi energi lebih efisien dan ramah lingkungan (Setiawan et al., 2021). Smart grid ini memanfaatkan sistem sensor dan data real-time untuk mengoptimalkan penggunaan energi, mengurangi pemborosan, serta meningkatkan ketahanan jaringan listrik terhadap gangguan. Selain itu, Surabaya juga berencana meningkatkan integrasi teknologi dalam hunian berbasis komunitas guna memastikan aksesibilitas bagi seluruh lapisan masyarakat. Konsep ini penting untuk mencegah eksklusivitas teknologi hanya bagi kelompok tertentu dan mendorong inklusivitas dalam penerapan smart housing (Shen et al., 2022). Pemerintah Kota Surabaya juga bekerja sama dengan perguruan tinggi dan perusahaan teknologi untuk mengembangkan solusi berbasis data dalam meningkatkan efisiensi hunian pintar. Beberapa inovasi yang dikembangkan termasuk penggunaan teknologi machine learning untuk analisis konsumsi energi dan sistem prediktif dalam pengelolaan sumber daya (Batty et al., 2012). Implementasi teknologi ini memungkinkan hunian untuk secara otomatis menyesuaikan penggunaan energi berdasarkan pola kebiasaan penghuni, sehingga meningkatkan efisiensi dan mengurangi jejak karbon. Kolaborasi ini menunjukkan pentingnya peran akademisi dan sektor swasta dalam mendukung kebijakan berbasis teknologi yang berkelanjutan bagi pembangunan kota pintar. Gambar 3. Internet of Things (IoT) di smart city Meskipun kemajuan smart home di Surabaya menunjukkan arah yang positif, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah kesiapan infrastruktur dan akses terhadap teknologi di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Selain itu, biaya implementasi sistem smart home yang masih relatif tinggi menjadi kendala dalam penyebarannya secara lebih luas. Untuk mewujudkan kota yang lebih cerdas dan inklusif, diperlukan strategi yang tidak hanya mengedepankan inovasi teknologi, tetapi juga memperhatikan aspek ekonomi dan sosial agar seluruh masyarakat dapat merasakan manfaatnya. Secara keseluruhan, pengembangan smart home di Surabaya mencerminkan transformasi kota menuju lingkungan yang lebih cerdas, efisien, dan berkelanjutan. Dengan dukungan infrastruktur digital yang terus berkembang serta kerja sama antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta, Surabaya berpotensi menjadi salah satu pionir smart housing di Indonesia. Namun, untuk mencapai keberhasilan yang lebih luas, perlu ada pendekatan yang lebih inklusif dan kebijakan yang memastikan bahwa inovasi teknologi tidak hanya terbatas pada kawasan perumahan elit, tetapi juga dapat diadopsi oleh masyarakat secara lebih luas. Tantangan dalam Pengembangan Hunian Pintar 1. Keterbatasan Infrastruktur Salah satu tantangan utama dalam pengembangan hunian pintar di Indonesia adalah keterbatasan infrastruktur, terutama dalam hal akses internet yang stabil dan cepat. Meskipun di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya jaringan internet relatif lebih baik, masih ada wilayah yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan koneksi yang memadai. Padahal, koneksi internet yang andal sangat penting untuk mendukung operasi berbagai perangkat IoT dalam ekosistem smart home. Kendala infrastruktur ini juga mencakup ketersediaan listrik yang stabil. Meskipun jaringan listrik di kota besar sudah cukup baik, beberapa daerah masih mengalami pemadaman yang dapat menghambat operasional teknologi smart home. Oleh karena itu, diperlukan investasi lebih lanjut dalam meningkatkan keandalan jaringan listrik dan internet di seluruh Indonesia. 2. Biaya Implementasi yang Tinggi Teknologi smart home masih tergolong mahal, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Biaya pemasangan sistem otomatisasi rumah, sensor pintar, dan perangkat AI masih cukup tinggi, sehingga hanya segmen tertentu yang mampu mengaksesnya. Menurut laporan McKinsey & Company (2022), biaya implementasi smart home di negara berkembang seperti Indonesia masih 20-30% lebih tinggi dibandingkan di negara maju, akibat tingginya biaya impor perangkat dan kurangnya industri teknologi lokal yang mampu memproduksi perangkat serupa dengan harga lebih terjangkau. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan insentif dari pemerintah dan kolaborasi dengan perusahaan teknologi lokal untuk mengembangkan perangkat smart home dengan harga yang lebih terjangkau. Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, diharapkan adopsi teknologi ini dapat lebih luas dan merata. 3. Literasi Teknologi Masyarakat Tingkat pemahaman masyarakat mengenai teknologi smart home masih beragam. Banyak masyarakat yang belum memahami manfaat serta cara penggunaan sistem rumah pintar secara maksimal. Hal ini menyebabkan adopsi teknologi ini masih relatif rendah di kalangan masyarakat luas. Diperlukan edukasi dan sosialisasi yang lebih masif agar masyarakat dapat memahami bagaimana teknologi ini dapat meningkatkan efisiensi dan kenyamanan hidup mereka. Salah satu solusi untuk meningkatkan literasi teknologi adalah melalui program edukasi yang melibatkan komunitas dan lembaga pendidikan. Kampanye digital serta pelatihan langsung mengenai penggunaan smart home dapat membantu mempercepat pemahaman masyarakat terhadap teknologi ini. Dampak terhadap Lahan dan Keberlanjutan Selain perkembangan smart home, ada kekhawatiran terkait pengurangan lahan produktif akibat ekspansi permukiman. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa luas lahan sawah di Indonesia mengalami penurunan dari 7,75 juta hektare pada 2017 menjadi 7,1 juta hektare pada 2018 (BPS, 2019). Jika tren ini terus berlanjut, akan berdampak pada produksi pangan nasional dan ketahanan pangan masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan ini, pengembangan smart home di Indonesia perlu menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. Beberapa solusi yang dapat diterapkan antara lain: Penggunaan teknologi vertical housing atau rumah vertikal untuk mengurangi konversi lahan pertanian menjadi permukiman. Integrasi konsep green building dalam pembangunan smart home untuk mengoptimalkan efisiensi energi dan meminimalkan dampak lingkungan. Pengembangan kawasan permukiman yang ramah lingkungan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara hunian, ruang hijau, dan lahan produktif. Kesimpulan Penerapan konsep hunian berbasis teknologi atau smart home di Indonesia, khususnya di Jakarta dan Surabaya, menunjukkan perkembangan yang menjanjikan dalam menghadirkan hunian yang lebih efisien, nyaman, dan berkelanjutan. Integrasi teknologi seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), dan big data dalam sistem hunian telah memungkinkan penghuni untuk mengelola berbagai aspek rumah secara otomatis, mulai dari keamanan, konsumsi energi, hingga kenyamanan. Inisiatif ini sejalan dengan tren global dalam pengembangan kota pintar (smart city), di mana teknologi digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat perkotaan. Kota-kota seperti Jakarta dan Surabaya telah mulai mengadopsi konsep ini dengan mengembangkan hunian berbasis teknologi di berbagai kawasan perumahan premium serta melalui program kota pintar yang diinisiasi oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, implementasi smart home di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu segera diatasi agar dapat diterapkan secara lebih luas dan inklusif. Salah satu hambatan utama adalah keterbatasan infrastruktur, terutama dalam hal koneksi internet yang stabil dan jaringan listrik yang andal. Di beberapa wilayah, akses terhadap infrastruktur ini masih belum merata, sehingga menghambat adopsi teknologi smart home di kalangan masyarakat yang lebih luas. Selain itu, biaya implementasi yang masih relatif tinggi juga menjadi kendala, mengingat perangkat dan sistem otomatisasi rumah pintar masih tergolong mahal bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, pengembang properti, dan sektor teknologi untuk mengembangkan solusi yang lebih terjangkau dan mudah diakses. Selain aspek teknologi dan ekonomi, pengembangan smart home juga harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan, terutama dalam hal pemanfaatan lahan. Ekspansi kawasan permukiman sering kali mengorbankan lahan produktif, termasuk lahan pertanian yang berperan penting dalam ketahanan pangan nasional. Oleh karena itu, strategi pembangunan hunian berbasis teknologi harus diarahkan pada solusi yang lebih berkelanjutan, seperti pengembangan hunian vertikal, penerapan konsep green building, dan optimalisasi ruang hijau di kawasan permukiman. Dengan demikian, inovasi dalam sektor perumahan tidak hanya berfokus pada modernisasi hunian, tetapi juga menjaga keseimbangan antara kebutuhan tempat tinggal dan kelestarian lingkungan. Secara keseluruhan, smart home memiliki potensi besar untuk menjadi solusi hunian masa depan yang lebih efisien dan berkelanjutan. Namun, keberhasilannya tidak hanya ditentukan oleh kemajuan teknologi semata, tetapi juga oleh kesiapan infrastruktur, kebijakan yang mendukung, serta peningkatan literasi teknologi masyarakat. Jika tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi melalui pendekatan yang lebih inklusif dan kolaboratif, maka Indonesia dapat mewujudkan konsep smart housing yang tidak hanya eksklusif bagi segmen tertentu, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi seluruh lapisan masyarakat. Korespondensi Penulis Muhammad Firdaus (@firdausdanoe) Daftar Literatur Batty, M., Axhausen, K. W., Giannotti, F., Pozdnoukhov, A., Bazzani, A., Wachowicz, M., ... & Portugali, Y. (2012). Smart cities of the future. The European Physical Journal Special Topics, 214 (1), 481-518. Badan Pusat Statistik (BPS). (2019). Statistik Lahan Sawah di Indonesia 2019. Jakarta: BPS. FAO (Food and Agriculture Organization). (2017). The Future of Food and Agriculture: Trends and Challenges. Rome: FAO. GhaffarianHoseini, A., Dahlan, N. D., Berardi, U., GhaffarianHoseini, A., Makaremi, N., & GhaffarianHoseini, M. (2016). Sustainable energy performances of green buildings: A review of current theories, implementations, and challenges. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 25 , 1-17. Harrison, C., & Donnelly, I. A. (2011). A theory of smart cities. In Proceedings of the 55th Annual Meeting of the ISSS - 2011, Hull, UK . McKinsey & Company. (2022). Smart homes in emerging markets: Challenges and opportunities. McKinsey Global Institute. Mohanty, S. P., Choppali, U., & Kougianos, E. (2016). Everything you wanted to know about smart cities: The Internet of Things is the backbone. IEEE Consumer Electronics Magazine, 5 (3), 60-70. Setiawan, I., Harjono, T., & Santoso, H. (2021). Implementasi konsep smart city di Indonesia: Peluang dan tantangan. Jurnal Teknik Informatika, 8 (2), 45-58. Shen, W., Zhang, X., & Huang, G. Q. (2022). Smart metering and energy management in smart homes: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 152 , 111678. Sovacool, B. K., & Furszyfer Del Rio, D. D. (2020). Smart home technologies in Europe: A critical review of concepts, benefits, risks, and policies. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 120 , 109663. Tamin, R. Z., Rahayu, R., & Prakoso, L. Y. (2020). Pengembangan kawasan hunian pintar di Indonesia: Sebuah studi awal. Jurnal Perencanaan Kota dan Wilayah, 14 (1), 78-92. Zanella, A., Bui, N., Castellani, A., Vangelista, L., & Zorzi, M. (2014). Internet of Things for smart cities. IEEE Internet of Things Journal, 1 (1), 22-32.

Masa Depan Air Bersih Dan Solusi Inovatif Yang Berkelanjutan Menuju Indonesia 2045
🌊 Masa Depan Air Bersih: Inovasi dan Solusi Berkelanjutan untuk Indonesia 2045 💧 Halo, Sobat PSII! Pusat Studi Infrastruktur Indonesia dengan bangga mengundang Anda untuk berpartisipasi dalam webinar kami yang akan membahas masa depan air bersih dan solusi inovatif yang berkelanjutan menuju Indonesia 2045. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai tantangan dan inovasi dalam pengelolaan air bersih dari berbagai perspektif, termasuk kebijakan, teknologi, dan edukasi publik. 📅 Tanggal: Jumat, 21 Maret 2025 🕒 Waktu: 14.00 WIB s.d. selesai 🎤 Narasumber: Dades Prinandes, S.T., M.Si. (Kasubdit Perencanaan Teknis SPAM, Direktorat Air Minum, DJCK, Kementerian Pekerjaan Umum) Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan (Dosen Departemen Teknik Sipil & Lingkungan IPB) Solahudin (Kepala Departemen Manajemen Pengetahuan ARKOM Indonesia) 🔗 Link Pendaftaran: bit.ly/webinar-edisi-maret-psii-25 🔗 Link Webinar: bit.ly/zoom-webinar-maret-psii-25 Jangan lewatkan kesempatan ini untuk mendapatkan wawasan mendalam tentang bagaimana inovasi dan solusi air bersih dapat mendukung keberlanjutan lingkungan dan kehidupan kita di masa depan! 💬 Narahubung: 📞 Isti Anisya: +62 852-2467-0503 📞 M. Firdaus: +62 812-1378-1088 Terima kasih atas partisipasi Anda dalam upaya menciptakan masa depan air bersih yang berkelanjutan! 💙💦 FORM PENDAFATRAN

Program Hibah Bantuan Luar Negeri: Integrasi Teknologi dalam Infrastruktur Permukiman
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun (RPJMN) 2025-2029 mengamanatkan lima fokus agenda pembangunan dan upaya transformatif super prioritas pada tahun 2025-2029. Kelima agenda tersebut adalah transformasi sosial, transformasi ekonomi, transformasi tata kelola, supremasi hukum, stabilitas, dan kepemimpinan Indonesia, serta ketahanan sosial budaya dan ekologi. Sasaran dari fokus agenda ketahanan sosial budaya dan ekologi terkait langsung dengan bidang Keciptakaryaan. Sasaran tersebut diantaranya adalah reformasi pengelolaan persampahan terintegrasi dari hulu ke hilir dan ketahanan energi dan air serta kemandirian pangan dengan pendekatan terpadu FEW Nexus ( Food, Energy , dan Water ). Gambar 1. Ilustrasi Pembangunan Infrastruktur Ketercapaian sasaran dalam fokus agenda RPJMN 2025-2029 membutuhkan pembiayaan dalam penyediaan infrastruktur. Salah satu tantangan utama adalah memastikan pembiayaan yang memadai untuk proyek infrastruktur permukiman yang diperlukan. Keterbatasan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menuntut pencarian sumber pendanaan tambahan. Melalui pinjaman atau hibah luar negeri, pemerintah dapat mengatasi keterbatasan tersebut dan memastikan kelangsungan pembangunan infrastruktur. Besarnya lingkup infrastruktur yang harus disediakan, keterbatasan pinjaman atau hibah luar negeri yang dapat diterima, dan banyaknya penyedia pinjaman (lender) menjadikan perlunya dilakukan identifikasi proyek infrastruktur permukiman yang layak mendapatkan pinjaman luar negeri. Dalam rangka memastikan proyek infrastruktur permukiman layak mendapatkan pinjaman luar negeri, maka Subdirektorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri yang bertanggung jawab atas penyiapan bahan perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan, serta pengolahan data dan informasi terkait penyusunan program dan pengelolaan pinjaman dan hibah luar negeri untuk pembangunan infrastruktur permukiman melaksanakan identifikasi dan penyusunan proyek infrastruktur permukiman yang layak mendapatkan pinjaman luar negeri. Gambar 2. Diagram RPJMN Teknokratik 2025-2029 Pemerintah Indonesia hingga saat ini telah mengupayakan percepatan pembangunan infrastruktur demi tercapainya target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Pembangunan merupakan suatu upaya sistematis dan terencana yang diselenggarakan oleh setiap negara untuk mengubah suatu keadaan menjadi lebih baik untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sebagai upaya untuk mencapai sasaran pembangunan secara tepat waktu dan sasaran, pemerintah memberikan dukungan pendanaan yang dapat bersumber dari pemerintah sendiri, serta pendanaan luar negeri. Sumber pendanaan luar negeri dapat diberikan oleh mitra pembangunan dalam bentuk pinjaman tunai, pinjaman kegiatan, atau hibah luar negeri dari lembaga multilateral, lembaga bilateral, atau lembaga keuangan asing. Pendanaan yang bersumber dari luar negeri semakin diperkuat dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menetapkan bahwa untuk membiayai dan mendukung kegiatan prioritas dalam rangka mencapai sasaran pembangunan, pemerintah dapat mengadakan pinjaman dan atau menerima hibah dari luar negeri. Pada tahap pelaksanaannya, pendanaan ini merujuk pada PP No. 2 Tahun 2006 tentang tata cara pengadaan pinjaman dan atau penerimaan hibah luar negeri serta penerusannya. Seiring perkembangannya, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut perlu disempurnakan kembali untuk dapat memenuhi perkembangan pengelolaan pinjaman, perkembangan pasar keuangan, serta pemenuhan terhadap good governance . Pemerintah pun akhirnya mencabut regulasi dan menggantikannya dengan PP No. 10 Tahun 2011 sehingga dapat mengakomodasi berbagai ketentuan pengelolaan pinjaman luar negeri. Berdasarkan jenisnya, pinjaman luar negeri dapat berupa pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan. Pinjaman tunai dapat berupa pinjaman program, stand by loan, pembiayaan likuiditas jangka pendek, pembiayaan kontinjensi, pembiayaan untuk pemodalan, dan lain-lain yang pencairannya bersifat tunai dalam bentuk antara lain Official Development Assistance/ODA (bilateral), Concessional (multilateral), Non-Official Development Assistance/Non-ODA (bilateral), Non-Concessional (multilateral), Fasilitas Kredit Ekspor, pinjaman komersial, dan Mixed Credit /pinjaman campuran (bilateral). Kegiatan pembangunan yang dapat diusulkan untuk dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri merupakan kegiatan prioritas yang dapat mendukung tercapainya tujuan-tujuan dalam RPJMN. Adapun khusus untuk Kementerian/Lembaga, usulan dapat disesuaikan juga dengan Renstra K/L. Oleh karena itu, pinjaman luar negeri dapat digunakan untuk membiayai defisit APBN, membiayai kegiatan prioritas K/L, mengelola portofolio utang, serta diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah dan BUMN. Lebih lanjut lagi, pemerintah daerah dapat meneruspinjamkan kepada BUMD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kementerian PPN/Bappenas memainkan peran penting dalam menyusun rencana pemanfaatan pinjaman luar negeri untuk kegiatan jangka menengah dan tahunan. Rencana tersebut dituangkan ke dalam dokumen Rencana Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri, DRPLN-JM, DRPPLN, dan daftar kegiatan kemudian dilengkapi dengan indikasi kebutuhan serta rencana penggunaan pinjaman dalam jangka menengah. Dalam prosesnya, Bappenas pun mengeluarkan berbagai regulasi dan panduan perencanaan dan kesiapan kegiatan pembangunan menjadi tahap kritikal dalam penyusunan daftar kegiatan. Tata cara perencanaan, pengajuan usulan, penilaian, pemantauan, dan evaluasi kegiatan yang dibiayai dari pinjaman dan hibah luar negeri telah diatur di dalam Permen PPN No. 4 Tahun 2011 yang kemudian dikemas lebih praktis dalam Panduan Pengusulan dan Peningkatan Kesiapan Kegiatan yang Didanai Pinjaman Luar Negeri. Proses penyusunan modul Pinjaman Hibah Bantuan Luar Negeri (PHLN) agar terintegrasi ke dalam sistem informasi website Sippa diawali dengan kegiatan koordinasi database pada tahap awal penyusunan Blue Book Periode 2024-2029 bersama Tim PHLN Cipta Karya. Dari hasil koordinasi diperoleh beberapa dokumen terkait pinjaman hibah bantuan luar negeri periode 2020-2024 yang tersimpan ke dalam media penyimpanan onedrive. Dokumen-dokumen tersebut kemudian dilakukan identifikasi awal yang diperlukan untuk penyusunan Blue Book Periode 2024-2029. Secara lebih rinci, bisnis proses proses penyusunan Blue Book Periode 2024-2029 disampaikan bagan alur yang menjadi acuan utama dari pedoman ini. Gambar di bawah ini merinci tahapan proses dan interaksi dengan proses yang ada di dalam penyusunan Blue Book secara tersinkronisasi berdasarkan pemetaan proses praktik selama ini. Untuk seluruh tahapan proses penyusunan usulan kegiatan dilakukan oleh pemerintah. Gambaran proses secara paralel ini disampaikan agar dapat mendorong proses koordinasi seluruh pihak termasuk Instansi Pengusul hingga kepada Bappenas dalam proses penyusunan kegiatan yang akan diusulkan untuk dapat dibiayai melalui sumber pendanaan luar negeri. Bagan alur menjelaskan bahwa proses yang paling insentif, yaitu proses peningkatan kesiapan kegiatan berdasarkan kriteria kesiapan kegiatan agar usulan dapat diusulkan untuk dicantumkan ke dalam DRPPLN. Proses ini adalah proses penting dalam penyiapan kegiatan dan dapat didukung oleh TA penyiapan kegiatan (Transaction Related Technical Assistance/TRTA) untuk menyiapkan rencana kegiatan rinci yang diperlukan. Bagan alur juga menjelaskan mengenai pemenuhan kriteria kesiapan kegiatan agar dapat diproses lebih lanjut untuk penetapan Daftar Kegiatan. Tahapan ini adalah tahapan akhir dalam lingkup pedoman untuk proses penyiapan kegiatan agar layak untuk diajukan dalam tahap selanjutnya, yaitu negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan lender. Gambar 3 . Modul Penyusunan Blue Book Korespondensi Penulis Isti Anisya / isti.anisy@gmail.com Daftar Literatur Final Report Kegiatan Pendampingan Pengusulan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri (DRPLN-JM) Bidang Infrastruktur Permukiman Tahun 2025-2029

Nature-Based Solution untuk Ketahanan Perkotaan Indonesia
Isu Ketahanan Perkotaan Ketahanan bencana perkotaan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan akibat faktor geografis, perubahan iklim, dan pesatnya urbanisasi yang tidak terkendali. Banyak kota, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya, rentan terhadap banjir karena buruknya sistem drainase, alih fungsi lahan, serta eksploitasi air tanah yang menyebabkan penurunan permukaan tanah. Selain itu, kota-kota di daerah rawan gempa, seperti Padang dan Yogyakarta, sering mengalami kerusakan infrastruktur akibat masih banyaknya bangunan yang tidak memenuhi standar konstruksi tahan gempa. Permasalahan lain mencakup kepadatan permukiman kumuh di wilayah pesisir dan bantaran sungai yang memperbesar risiko bencana serta keterbatasan akses terhadap sistem peringatan dini yang efektif. Kurangnya integrasi antara kebijakan tata ruang, mitigasi bencana, dan kesiapsiagaan masyarakat juga memperburuk dampak bencana di perkotaan. Untuk meningkatkan ketahanan, diperlukan penguatan infrastruktur berbasis mitigasi, perbaikan tata kelola lingkungan, serta peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi risiko bencana. Pendekatan Nature-Based Solution Sebagai solusi, Nature-Based Solutions (NbS) menjadi pendekatan penting dalam meningkatkan ketahanan perkotaan dengan mengintegrasikan ekosistem alami ke dalam strategi mitigasi dan adaptasi bencana. Mengintegrasikan NbS di ruang publik dapat mengurangi intensitas urban heat island , mengurangi risiko banjir melalui peningkatan penyerapan dan kualitas tanah, menstabilkan lahan yang rawan erosi, meningkatkan efisiensi penggunaan air, melindungi dan meningkatkan keanekaragaman hayati, dan yang paling utama adalah dapat meningkatkan kualitas hidup manusia (UN Habitat, 2023). Dengan penerapan NbS yang terintegrasi dalam perencanaan tata ruang dan kebijakan perkotaan, kota-kota di Indonesia dapat menjadi lebih tangguh terhadap bencana dan berkelanjutan. Penerapan NbS dalam pembangunan infrastruktur bertujuan untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap bencana sekaligus menjaga keseimbangan ekologi. Salah satu contohnya, NbS dapat diterapkan dalam sistem drainase perkotaan melalui penggunaan sumur resapan, permeable pavement, dan taman air untuk mengurangi limpasan air hujan dan mencegah banjir. Dalam pengelolaan pesisir, hutan mangrove dan vegetasi pantai berperan sebagai perlindungan alami terhadap abrasi dan gelombang pasang. Di daerah rawan longsor, reforestasi dan terasering hijau dapat membantu menstabilkan tanah dan mencegah erosi. Selain itu, konsep atap hijau dan dinding hijau dapat diterapkan pada bangunan untuk meningkatkan insulasi termal, mengurangi efek panas perkotaan, serta meningkatkan efisiensi energi. Dengan mengadopsi NbS, pembangunan infrastruktur tidak hanya lebih tangguh terhadap bencana tetapi juga lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Oleh karena itu, integrasi NbS dalam perencanaan perkotaan dan infrastruktur harus menjadi prioritas untuk menciptakan kota yang lebih adaptif, resilient, dan berdaya saing di masa depan. NbS Dalam Infrastruktur Berbagai Negara Penerapan Nature-Based Solutions (NbS) dalam pembangunan infrastruktur telah dilakukan di berbagai negara sebagai strategi untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. A. Rotterdam, Belanda – Sistem Drainase Hijau Gambar 1. Ilustrasi Sistem Drainase Hijau Rotterdam menghadapi ancaman banjir akibat curah hujan tinggi dan kenaikan permukaan air laut. Untuk mengatasi masalah ini, kota ini menerapkan water squares—ruang publik yang berfungsi sebagai taman saat kering dan sebagai waduk penyerap air saat hujan deras. Selain itu, atap hijau dan sistem kanal terbuka juga diterapkan untuk meningkatkan daya tampung air hujan dan mencegah genangan berlebih di kawasan perkotaan. B. Singapura – Infrastruktur Hijau dan Kota Spons Gambar 2. Ilustrasi Infrastruktur Hijau dan Kota Spons Singapura mengadopsi konsep "City in a Garden", yang mengintegrasikan NbS dalam perencanaan kotanya. Dikenal karena pendekatan inovatifnya terhadap perencanaan perkotaan, Singapura telah mengintegrasikan infrastruktur hijau ke dalam lanskap perkotaannya, termasuk taman atap, tanaman hijau vertikal, dan bioswales. Fitur-fitur ini membantu mendinginkan kota, mengurangi efek pulau panas perkotaan, dan mendukung keanekaragaman hayati di lingkungan yang padat penduduk. C. Tokyo, Jepang – Hutan Kota dan Perlindungan dari Panas Ekstrem Gambar 3. Ilustrasi Hutan Kota Tokyo menerapkan berbagai strategi berbasis teknologi dan lingkungan, termasuk penghijauan kota melalui pembangunan atap dan dinding hijau yang membantu menurunkan suhu permukaan bangunan serta meningkatkan efisiensi energi. Selain itu, kota ini memperluas ruang terbuka hijau, seperti taman kota dan koridor hijau, yang berfungsi sebagai penyerap panas dan meningkatkan sirkulasi udara. Tokyo juga mendorong penggunaan material reflektif pada permukaan jalan dan bangunan untuk mengurangi penyerapan panas serta mengembangkan sistem pendinginan distrik yang lebih efisien dalam menyalurkan energi pendingin ke berbagai gedung. Upaya Pengoptimalan NbS Untuk mengoptimalkan penerapan Nature-Based Solutions (NbS) dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, diperlukan pendekatan yang lebih strategis dan terintegrasi. Pemerintah harus mengintegrasikan NbS ke dalam perencanaan tata ruang dan regulasi perkotaan, memastikan adanya kebijakan yang mendukung pengembangan ruang hijau, restorasi ekosistem, serta infrastruktur berbasis alam. Selain itu, insentif finansial seperti subsidi, keringanan pajak, atau skema pendanaan hijau perlu diberikan kepada sektor swasta dan komunitas yang menerapkan NbS sehingga penerapan NbS dari sektor eksternal lebih maksimal. Tidak kalah penting, kesadaran dan partisipasi Masyarakat juga perlu ditingkatkan melalui edukasi, pelatihan, serta program berbasis komunitas agar masyarakat turut serta dalam perawatan dan pengelolaan infrastruktur hijau. Integrasi teknologi seperti GIS (Geographic Information System), IoT (Internet of Things), dan sistem pemantauan lingkungan harus dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas NbS dalam menghadapi perubahan iklim dan bencana perkotaan. Dengan kolaborasi antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat, NbS dapat menjadi solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan dalam membangun infrastruktur perkotaan Indonesia yang tangguh terhadap bencana. Korespondensi Penulis Andhika Dwipayana ( dwipayanaandhika@gmail.com ) Daftar Literatur UN-Habitat (2023). The Critical Role of Nature-based Solutions for Enhancing Climate Resilience in Informal Areas. Nakamura, F. (2022). Green Infrastructure and Climate Change Adaptation: Function, Implementation and Governance. Springer Sponge cities: An approach to sustainable urban development and biodiversity conservation: Urban water management. (n.d.). Retrieved from https://arkance.world/in-en/resources/read/sustainability/sponge-cities Hirano, Y., & Fujita, T. (2012). Evaluation of the impact of the urban heat island on residential and commercial energy consumption in Tokyo. Energy , 37 (1), 371–383. doi:10.1016/j.energy.2011.11.018

Strategi Pembangunan Kota Aman Bencana dengan Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi yang Berkelanjutan
Gambar 1. Ilustrasi Air Bersih Indonesia sebagai negara kepulauan yang berada di kawasan Cincin Api Pasifik menghadapi risiko bencana yang tinggi, mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir, hingga kekeringan. Kondisi geografis ini menuntut adanya strategi pembangunan infrastruktur yang tangguh dan berkelanjutan, terutama di sektor air minum. Ketersediaan air minum yang aman dan berkelanjutan menjadi kunci utama dalam mendukung ketahanan kota terhadap bencana. Infrastruktur air minum yang adaptif tidak hanya menjamin pasokan air di masa normal, tetapi juga memastikan ketersediaan air minum saat terjadi bencana dimana semua ini terintegrasi dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Gambar 2. Ilustrasi Infrastruktur Air Minum Pentingnya Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi yang Tangguh Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2023, Indonesia mengalami lebih dari 3.000 kejadian bencana alam, di mana banjir dan tanah longsor mendominasi dengan dampak signifikan terhadap infrastruktur dasar, termasuk jaringan air minum dan sanitasi (BNPB, 2023). Dalam konteks ini, sistem penyediaan air minum dan sanitasi harus dirancang dengan prinsip ketahanan dan keberlanjutan. Menurut Smith dan Petley (2019), infrastruktur yang tangguh terhadap bencana harus mampu berfungsi sebelum, saat, dan setelah bencana terjadi, guna mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat. Strategi Pembangunan Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi yang Berkelanjutan Penguatan Tata Kelola dan Regulasi Implementasi kebijakan yang mendukung pengelolaan air minum berkelanjutan menjadi prioritas. UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air mengamanatkan pengelolaan air berbasis keberlanjutan dan pengurangan risiko bencana. Harmonisasi kebijakan lintas sektor juga penting untuk mengintegrasikan mitigasi bencana ke dalam perencanaan infrastruktur air. Kedepannya Perlu ada Integrasi Air Limbah/Sanitasi serta Pembaharuan UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Langkah ini mendukung pencapaian SDG 6 yang menargetkan akses universal terhadap air minum dan sanitasi layak. Pengembangan Infrastruktur Berbasis Teknologi Penerapan teknologi Internet of Things (IoT) dan big data dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan air minum. Sistem monitoring real-time memungkinkan deteksi dini kerusakan jaringan dan kebocoran, sehingga dapat segera diatasi sebelum berkembang menjadi gangguan serius (World Bank, 2020). Hal ini juga berkontribusi pada SDG 9 terkait Industri, Inovasi, dan Infrastruktur. Diversifikasi Sumber Air dan Desentralisasi Jaringan Ketergantungan pada satu sumber air baku meningkatkan kerentanan. Oleh karena itu, diversifikasi sumber air seperti pemanfaatan air hujan, air limbah yang diolah, dan desalinasi air laut perlu dioptimalkan. Selain itu, desentralisasi jaringan distribusi air dapat mengurangi dampak kerusakan akibat bencana lokal (Asian Development Bank, 2021). Upaya ini relevan dengan pencapaian SDG 13 terkait Penanganan Perubahan Iklim. Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) Pelatihan dan sertifikasi tenaga teknis di sektor air minum sangat penting untuk memastikan kesiapan dalam menghadapi situasi darurat. Kolaborasi dengan lembaga atau institusi internasional dapat menjadi langkah strategis dalam pengembangan kapasitas SDM. Kolaborasi Multisektor dan Pembiayaan Inovatif Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dapat dioptimalkan untuk mendanai pembangunan infrastruktur air yang berkelanjutan. Pendekatan ini memungkinkan pembagian risiko antara sektor publik dan swasta serta meningkatkan efisiensi pelaksanaan proyek. Pendekatan ini mendukung SDG 17 terkait Kemitraan untuk Mencapai Tujuan. Studi Kasus dan Implementasi Proyek Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan di Jawa Timur menjadi contoh sukses penerapan skema KPBU. Dengan kapasitas produksi mencapai 4.000 liter/detik, proyek ini berhasil memperkuat ketahanan air di wilayah yang rawan bencana. Di tingkat global, model pengelolaan Air minum & Sanitasi oleh Aguas de Portugal menunjukkan bagaimana regionalisasi operator air dapat meningkatkan efisiensi dan ketahanan infrastruktur air minum. Gambar 3. Ilustrasi Tampak Perkotaan dengan Sumber Air Penutup Strategi pembangunan kota aman bencana melalui penguatan infrastruktur air minum dan sanitasi yang berkelanjutan harus menjadi prioritas nasional. Pendekatan terpadu yang melibatkan penguatan/pembaharuan regulasi, adopsi teknologi, diversifikasi sumber air, pengembangan SDM, dan pembiayaan inovatif menjadi kunci dalam menciptakan sistem air minum dan sanitasi yang tangguh. Dengan implementasi strategi yang komprehensif, Indonesia dapat memperkuat ketahanan kotanya dalam menghadapi berbagai risiko bencana di masa depan, sekaligus berkontribusi nyata terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Korespondensi Penulis Yudistira Widi Pratomo / yudistiwp@gmail.com Daftar Literatur Asian Development Bank. (2021). Resilient Infrastructure for Sustainable Development. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2023). Laporan Bencana Indonesia 2023. Smith, K., & Petley, D. (2019). Environmental Hazards: Assessing Risk and Reducing Disaster. Routledge. World Bank. (2020). Water Utility Pathways in Disaster Risk Management.

Banjir, Perubahan Iklim, dan Impian Anak-anak yang Terancam
Banjir Banjir merupakan masalah yang sering terjadi di banyak kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Penyebab utamanya adalah kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia. Curah hujan yang tinggi, terutama saat musim penghujan, diperparah oleh buruknya sistem drainase dan tingginya laju urbanisasi. Alih fungsi lahan hijau menjadi permukiman dan area komersial mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air, sehingga air hujan langsung mengalir ke permukaan dan membanjiri jalan-jalan serta permukiman. Gambar 1. Berita terkait kebencanaan Dampak banjir di perkotaan sangat luas, mulai dari kerugian material hingga gangguan sosial dan ekonomi. Ribuan rumah terendam, aktivitas warga terganggu, dan akses transportasi menjadi lumpuh. Banjir juga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar, seperti kerusakan infrastruktur, penurunan produktivitas, dan biaya pemulihan yang tinggi. Tidak hanya itu, banjir juga meningkatkan risiko penyebaran penyakit, seperti diare dan leptospirosis, yang membahayakan kesehatan masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya terintegrasi, seperti perbaikan sistem drainase, penegakan regulasi tata ruang, dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Perubahan Iklim Berdasarkan laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2013, dalam satu abad terakhir terjadi percepatan pemanasan global akibat meningkatnya produksi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil serta aktivitas manusia, seperti perubahan lahan dan deforestasi (IRID, 2021). Berdasarkan data World Resources Institute (WRI), suhu rata-rata bumi telah meningkat sekitar 0,8⁰C sejak tahun 1880. Jika suhu naik di atas 1,5⁰C dampaknya akan semakin parah dan jika suhu terus meningkat dengan laju seperti ini maka pemanasan global kemungkinan akan mencapai 1,5⁰C pada rentang tahun 2030 hingga 2052. Kota Tangguh Kota tangguh atau resilient city adalah kota yang mampu beradaptasi, bersiap, dan memulihkan diri dari bencana yang mengancam. Konsep kota tangguh dapat diwujudkan tidak hanya dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum saja, tetapi juga kesiapan sosial masyarakat dalam melakukan upaya mitigasi dan pemulihan ketika terjadi bencana. Contohnya adalah ketika sedang musim kemarau panjang dan terjadi kelangkaan air bersih, pemerintah memperluas jaringan perpipaan untuk menjangkau lebih banyak masyarakat yang belum mendapatkan akses air bersih. Selain itu untuk mengantisipasi terjadinya banjir, pemerintah melaksanakan program-program untuk membersihkan sampah dari sungai, mengeruk endapan lumpur di sungai, melakukan perbaikan saluran drainase, dan langkah-langkah lainnya untuk mengurangi dampak apabila terjadi banjir. Masyarakat kota juga dapat turut berperan aktif dalam menjaga kebersihan lingkungan mulai dari di sekitar tempat tinggal. Dampak Nyata Dampak-dampak perubahan iklim secara nyata sudah terasa, bukan hanya di kawasan pesisir tetapi juga di permukiman kota. Di kawasan pesisir terdapat intrusi air laut dan penurunan muka tanah atau land subsidence (Darmawardana, 2024). Kelangkaan air bersih di sejumlah daerah juga menjadi salah satu permasalahan yang perlu ditindaklanjuti. Pada tahun 2023 Indonesia merupakan negara dengan cakupan air minum perpipaan terendah di ASEAN dengan persentase hanya 19,47%, jauh di bawah capaian Thailand dengan 71% atau bahkan Malaysia dan Singapura dengan capaian masing-masing 95% dan 100%. Dampaknya, masih banyak penduduk yang harus memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan membeli air bersih eceran dengan harga yang jauh lebih mahal. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang diakibatkan oleh aktivitas cuaca seperti siklus hidrologi, curah hujan, temperatur, angin, dan kelembaban yang menyebabkan terjadinya kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, longsor, maupun gelombang panas. Bencana hidrometeorologi erat kaitannya dengan perubahan iklim. Di kawasan perkotaan, bencana yang paling sering terjadi di Indonesia adalah banjir ketika curah hujan yang tinggi tidak diimbangi dengan kapasitas saluran drainase yang cukup. Membangun Permukiman Tangguh Bencana Dampak-dampak yang nyata di kawasan pesisir akibat perubahan iklim perlu disikapi dengan berbagai pendekatan termasuk sosial budaya masyarakat perkotaan, tidak hanya pendekatan infrastruktur fisik saja. Infrastruktur besar seperti tanggul laut sering kali diusulkan sebagai solusi untuk mengatasi kawasan pesisir Jakarta yang diprediksikan akan semakin tenggelam. Pendekatan infrastruktur harus mempertimbangkan dan mengakui keberadaan aspek budaya masyarakat yang terkena dampak, serta mengadopsinya ke dalam solusi final yang dijalankan (Pristine & Sutanudjaja, 2024). Sementara itu di Kampung Glintung Kelurahan Purwantoro Kota Malang dahulu merupakan daerah langganan banjir, berinovasi melahirkan gerakan menabung air atau meresapkan air hujan kembali ke tanah dengan dengan membangun 7 sumur resapan dan 1.100 lubang biopori secara swadaya oleh masyarakat. Selama tiga tahun program ini berjalan sumur-sumur warga naik 5 meter dan suhu udara di kampung menjadi turun. Penerapan sistem drainase berwawasan lingkungan atau disebut eko-drainase seperti ini dibutuhkan di permukiman kota, untuk melengkapi sistem drainase konvensional. Prinsip dari eko-drainase yang meminimalisir terbuangnya air hujan sebagai aliran permukaan dengan agar meresapkan kembali ke tanah dapat diaplikasikan melalui kolam retensi, sumur resapan, maupun lubang biopori yang dapat dikerjakan secara swadaya skala kecil oleh masyarakat (Riduan et al , 2024). Impian Anak yang Terancam Perubahan iklim adalah ancaman terbesar yang dihadapi anak-anak dan generasi muda di dunia. Indeks Risiko Iklim Anak-anak UNICEF mengungkapkan bahwa 1 miliar anak berada pada risiko yang sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Jumlah tersebut hampir setengah dari seluruh anak-anak. Dan itu sedang terjadi hari ini (Unicef, 2021). Gambar 2. Dua anak membawa botol plastik dan botol air di Madagaskar Sebanyak 920 juta anak (lebih dari sepertiga anak-anak di seluruh dunia) saat ini sangat rentan terhadap kelangkaan air. Hal ini kemungkinan akan menjadi lebih buruk karena perubahan iklim meningkatkan frekuensi dan tingkat keparahan kekeringan, kekurangan air, peningkatan permintaan dan persaingan terhadap air, yang mengakibatkan menipisnya sumber daya air yang tersedia. Selain itu, 330 juta anak (1 dari 7 anak di seluruh dunia) saat ini sangat rentan terhadap banjir sungai. Hal ini kemungkinan akan memburuk seiring dengan mencairnya gletser dan meningkatnya curah hujan akibat tingginya kandungan air di atmosfer akibat suhu rata-rata yang lebih tinggi. Anak-anak lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dan krisis ekologi dibandingkan orang dewasa karena anak-anak lebih lemah secara fisik, psikologis, memiliki risiko kematian yang lebih tinggi apabila terserang penyakit karena krisis iklim, seperti DBD atau malaria. "Perubahan iklim memiliki dampak jangka panjang untuk masa depan anak-anak . Pemerintah dan semua stakeholder perlu berkolaborasi untuk merancang kebijakan-kebijakan untuk menciptakan kota yang lebih tangguh dan ramah lingkungan. Kebijakan di tingkat nasional dan daerah perlu diselaraskan dengan kebutuhan masa depan anak-anak dan generasi muda untuk membawa perubahan nyata bagi lingkungan . Mari dimulai dari hal kecil, seperti menjaga kebersihan lingkungan, menanam pohon, dan mendukung kebijakan yang berkelanjutan. Impian anak-anak untuk hidup di dunia yang aman dan nyaman tidak boleh pupus." Korespondensi Penulis Yusuf Maulana AK / yusufkariem@gmail.com Daftar Literatur Darmawardana, D. (2024). Kota dan Krisis Iklim: Cerita Air dari Pesisir . Rujak Center for Urban Studies . https://rujak.org/kota-dan-krisis-iklim-cerita-air-dari-pesisir/ (diakses tanggal 4 Februari 2025) IRID (2021). Mengenal Perubahan Iklim . Indonesia Research Institute for Decarbonization. Pristine, Sutanudjaja. (2024). Adapting to the Sinking City: Collectivism, Belief, and Identity. A Case Study of Coastal Kampung Communities in North Jakarta, Indonesia. Riduan et al . (2024). Perencanaan Sistem Drainase Berwawasan Lingkungan (Eko-Drainase) di Kecamatan Banjarbaru Utara . Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 22 Issue 4 (2024): 987-995 . Unicef. (2021). The Climate Crisis is a Child Rights Crisis, Introducing the Children’s Climate Risk Index. WRI Indonesia. Buklet Keberlanjutan: Seri 1 Krisis Iklim. https://wri-indonesia.org/sites/default/files/WRI%20Buklet%20Berkelanjutan%20-%2001%20Krisis%20Iklim.pdf (diakses tanggal 4 Februari 2025)

Penerapan TOD (Transit Oriented Development) dalam Mewujudkan Infrastruktur Permukiman yang Baik, Efisien, dan Inklusif bagi Masyarakat Perkotaan
Gambar 1. Tampak Permukiman di Kawasan Perkotaan Seiring dengan berkembangnya suatu kawasan perkotaan, diperlukan lahan permukiman untuk tempat tinggal dan aktivitas masyarakat perkotaan. Kondisi permukiman di Indonesia umumnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu permukiman yang berkembang secara organik dan permukiman yang berkembang secara terencana. Permukiman organik merupakan permukiman yang tumbuh secara alami, umumnya didirikan secara swadaya dengan jaringan prasarana (jalan, listrik, perpipaan, drainase, dll) yang kurang teratur dan sarana permukiman (taman, sekolah, lapangan, fasilitas kesehatan, dll) yang minimalis. Sementara permukiman terencana merupakan permukiman yang berdiri melalui perencanaan yang umumnya dibangun oleh pengembang swasta dengan sarana dan prasarana permukiman yang teratur dan komprehensif. Gambar 2. Ilustrasi Permukiman Organik Kedua jenis permukiman ini memiliki kekurangannya masing-masing. Permukiman organik memiliki kekurangan yakni fasilitas sarana dan prasarana yang kurang teratur dan minimalis. Terdapat banyak jaringan jalan yang sempit dan tidak teratur, tata letak bangunan yang padat, taman dan ruang terbuka yang kecil, trotoar yang sempit bahkan umumnya tidak ada, sistem drainase yang buruk, dan lainnya yang menandakan kondisi infrastruktur permukiman yang buruk. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengawasan serta intervensi dari pemerintah dan kurangnya pendanaan karena umumnya hanya mengandalkan pendanaan swadaya dari masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas kehidupan seperti kemacetan akibat jalanan yang sempit, banjir akibat drainase yang buruk, rawan kebakaran akibat bangunan yang berdekatan, dan sebagainya. Gambar 3. Ilustrasi Permukiman Terencana Sementara itu, meskipun permukiman yang terencana memiliki keunggulan dari permukiman organik yaitu dengan infrastruktur permukiman yang teratur dan komprehensif, namun umumnya di Indonesia permukiman terencana didesain secara car-centric dan gated community sehingga infrastuktur permukiman tidak efisien dan tidak inklusif. Desain car-centric dengan jalan yang lebar, jaringan prasarana yang luas, dan minim transportasi umum merupakan desain yang tidak efisien karena memerlukan lahan yang luas, mendorong penggunaan kendaraan pribadi yang menimbulkan emisi, dan memerlukan biaya perawatan utilitas yang tinggi. Sementara gated-community merupakan permukiman dibatasi oleh pagar atau tembok dan memiliki sistem keamanan yang ketat sehingga menyebabkan segregasi sosial dan infrastruktur permukiman kurang dapat dirasakan secara inklusif. Dalam permukiman yang baik, efisien dan inklusif diperlukan adanya perombakan tata ruang menjadi lebih compact city yaitu kota yang lebih efisien dalam penggunaan lahan, meminimalkan perluasan horizontal, dan mengurangi kebutuhan akan transportasi pribadi namun tetap menyediakan infrastruktur permukiman yang baik. Dalam mewujudkan hal tersebut dapat dimulai dengan membangun jaringan angkutan umum masal disertai dengan kawasan TOD ( Transit Oriented Development ). Konsep Kawasan TOD adalah dengan membangun pusat aktivitas seperti apartemen/ rumah susun, perkantoran, pertokoan, dan sejenisnya di sekitar jaringan transportasi umum seperti stasiun kereta, halte/terminal bus untuk membentuk compact city . Tujuan utamanya adalah untuk menciptakan area yang lebih padat dengan fasilitas permukiman, komersial, dan pelayanan umum yang mudah diakses dengan angkutan umum. Gambar 4. Konsep Kawasan TOD Penerapan kawasan TOD dapat menjawab kekurangan dari permukiman organik dan permukiman terencana. Dari segi kualitas baik-buruknya infrastruktur permukiman, kawasan TOD cenderung dapat dijaga dengan baik karena dapat dikelola oleh pemerintah dengan swasta, tidak hanya dari swadaya masyarakat saja. Dari segi efisiensi infrastruktur permukiman, kawasan TOD lebih efisien karena menggunakan lahan yang lebih sedikit dengan meminimalisir pembangunan horizontal dan jaringan utilitas yang tidak menyebar luas sehingga lebih rendah biaya perawatan dan emisi. Dari segi inklusivitas, kawasan TOD dapat lebih inklusif dibandingkan dengan gated community yang lebih eksklusif. Infrastruktur permukiman pada Kawasan TOD dapat ditata lebih inklusif karena kawasan ini tidak seperti gated community yang kawasannya terbatas dan dijaga oleh pengamanan disebabkan oleh area ekslusif yang meluas secara horizontal (permukiman rumah tapak, ruko, dan sebagainya), pembangunan kawasan TOD lebih padat ke arah vertikal. Sehingga apabila diperlukan, pengamanan hanya berada pada lantai atas untuk area eksklusif, untuk area di bawahnya dapat ditata secara inklusif. Dengan didukung letaknya yang berada pada simpul-simpul transportasi umum, penataan infrastruktur permukiman yang inklusif dapat diterapkan secara optimal. Contohnya adalah taman dan ruang berkumpul seperti kafe, restoran, dan fasilitas lainnya yang ditata pada area lantai bawah kawasan TOD dapat menjadi ruang aktivitas yang inklusif bagi masyarakat perkotaan secara optimal karena didukung dekatnya dengan moda transportasi umum sehingga masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Dengan demikian untuk mewujudkan ekosistem permukiman yang baik, efisien, dan inklusif bagi masyarakat perkotaan, diperlukan arah pembangunan lebih kepada compact city yang dapat dimulai dengan menerapkan kawasan TOD pada jaringan angkutan umum masal. "Permukiman perkotaan menghadapi tantangan infrastruktur , baik yang minim fasilitas maupun yang eksklusif. Transit Oriented Development (TOD) mendorong compact city dengan pemusatan hunian, komersial, fasilitas publik di simpul transportasi umum, mengoptimalkan lahan, serta menciptakan ruang publik yang inklusif dan mudah diakses." - Aryo Widyatmoko/PSII Korespondensi Penulis Aryo Widyatmoko ( aryowidyatmoko21@gmail.com ) Daftar Literatur Asiz, R. F. (2008). Fenomena Gated Community di Perkotaan. Universitas Indonesia . https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=125213#parentHorizontalTab1 Dr. Ir. Rina Kurniati, M. (2020). Buku Ajar MKP Kampung Kota . https://doc-pak.undip.ac.id/id/eprint/20415/2/Tr_BA Kampung Kota.pdf Ibraeva, A., de Almeida Correia, G. H., Silva, C., & Antunes, A. P. (2020). Transit-oriented development: A review of research achievements and challenges. Transportation Research Part A: Policy and Practice , 132 , 110–130. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0965856419304033 Neuman, M. (2005). The compact city fallacy. Journal of Planning Education and Research , 25 (1), 11–26. https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0739456x04270466

Menjadi Bagian dari Kota: Membangun Ruang Hunian yang Ramah Perempuan
Gambar 1. Ilustrasi Pekerja Lepas Perempuan Perempuan dan Infrastruktur Permukiman: Mengapa Penting? Pembangunan infrastruktur permukiman yang responsif gender penting untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif, termasuk perempuan. Mengutip dari Esariti dan Dewi (2016), konsep responsif gender sebagai pendekatan yang menjamin kebutuhan seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Lebih lanjut, Esariti dan Dewi (2016) menekankan bahwa pengarusutamaan gender dalam penyediaan infrastruktur menyelaraskan kebutuhan perempuan dan laki-laki dalam proses perencanaan, pelaksanaan pemantauan, evaluasi kebijakan, dan institusi pemerintah, sebagai strategi untuk mengurangi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam penggunaan infrastruktur. Dengan mengharmonisasikan perspektif gender dalam perencanaan infrastruktur permukiman, lingkungan yang lebih inklusif, aman, dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat dapat diwujudkan. "Merancang kota yang ramah perempuan bukan sekadar pilihan, tetapi keharusan untuk menciptakan masa depan yang lebih setara . Infrastruktur yang responsif gender bukan hanya tentang menambah fasilitas, tetapi juga membangun kesadaran bahwa setiap orang berhak merasa nyaman di ruang publik. Kota yang inklusif adalah kota yang tidak membiarkan satu pun warganya merasa terpinggirkan"- Ingga Amalia Dewi/PSII Gambar 2. Tampak Kota Umeå Umeå: Harmoni Kota yang Merangkul Perempuan Umeå, sebuah kota di tepi Sungai Ume di Swedia, dikenal sebagai pusat pendidikan dan budaya, dengan kebijakan berkelanjutan yang responsif gender dalam perencanan perkotaan dan infrastruktur. Merujuk pada International and Regional Cooperation (2023), partisipasi perempuan diikutsertakan dalam perencanaan ruang publik, yakni perencanaan fasilitas olahraga dan rekreasi di Umeå dengan mengakomodasi pengalaman dan kebutuhan kelompok perempuan berusia 15-20 tahun. Selain itu, International and Regional Cooperation (2023) mengungkapkan Umeå menampilkan sebuah karya seni yang dijuluki “Listen” di alun-alun utama kota, sebagai wujud representasi perjuangan suara dan hak perempuan. Berikutnya, Umeå telah menunjukkan komitmen serius dalam kebijakan perencanaan infrastruktur permukiman yang ramah gender. Disebutkan oleh Coi (2022), komite kesetaraan gender di Umeå telah ada sejak tahun 1978 dan sudah berperan dalam setiap kebijakan dan perencanaan perkotaan. Coi (2022) mengungkapkan infrastruktur publik merangkul kebutuhan perempuan sehingga tercipta ruang yang aman dan inklusif, termasuk meningkatkan visibilitas perempuan dalam toponimi kota (penggunaan nama tempat) seperti nama fasilitas publik yang merepresentasikan kontribusi perempuan dalam sejarah kota, mengurangi area tersembunyi yang membangkitkan rasa takut dan tidak aman, serta memperbaiki penerangan pada fasilitas publik. Gambar 3. Ilustrasi Pekerja Wanita di Mumbai Mumbai: Kota yang Menantang Langkah Perempuan Sebaliknya, Mumbai, sebagai kota terpadat di India dan salah satu kawasan metropolitan terpadat di dunia, sering kali dihadapkan pada tantangan besar terkait kesetaraan gender. Mengacu pada World Economic Forum (2021), banyak kota di India, termasuk Mumbai, memiliki infrastruktur dan layanan dasar yang tidak memadai, khususnya di permukiman kumuh. Selanjutnya, World Economis Forum (2021) menyebutkan kurangnya data untuk pengambilan kebijakan dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan oleh kelompok rentan, termasuk perempuan. Hal tersebut mengimplikasikan kebijakan yang dihasilkan mungkin tidak merepresentasikan perspektif perempuan. Padahal, dalam konteks infrastruktur permukiman, perempuan acap kali menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Selanjutnya, menyitir dari Krishnan (2019), Mumbai menghadapi berbagai tantangan dalam pengelolaan infrastruktur kota yang kurang layak. Menurut Krishnan (2019), infrastruktur fisik di Mumbai, seperti bangunan yang runtuh dan sering dilanda kebakaran mengindikasikan perencanaan infrastruktur yang tidak memadai. Krishnan (2019) juga menyoroti adanya masalah drainase karena kurangnya koordinasi antara berbagai institusi pemerintah dan perencanaan yang lemah. Kondisi permukiman yang tidak aman dan sehat tersebut berdampak signifikan terhadap posisi perempuan. Sering kali, perempuan lebih rentan terhadap bahaya tersebut karena mereka mungkin lebih banyak menghabiskan waktu di lingkungan hunian dan sekitar untuk berbagai urusan domestik. Gambar 4. Tampak Kota Jakarta Jakarta: Meniti Jalan menuju Kota Ramah Perempuan Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Jakarta, sebagai ibu kota negara, masih menghadapi berbagai tantangan besar dalam menciptakan lingkungan hunian yang ramah perempuan. Namun, pemerintah Jakarta terus berupaya mengambil langkah-langkah konkret untuk mewujudkan ruang hunian yang ramah perempuan. Dilansir dari Mujahid (2024), Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah berupaya mengembangkan area inklusif untuk perempuan dan anak. Menurut Mujahid (2024), Pemprov DKI Jakarta terus berusaha dalam mengembangkan ruang terbuka ramah perempuan dan anak, tercatat sekitar 300 ruang yang akan terus diperkuat. Selain itu, Mujahid (2024) menyebutkan bahwa Pemprov DKI menunjukkan tindakan serius dalam menangani perlindungan terhadap perempuan, termasuk meningkatkan ruang terbuka dan terpadu yang aman dan nyaman sebagai pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan serta penyediaan rumah aman dan fasilitas kesehatan sebagai layanan pengaduan dan perlindungan untuk perempuan. Gambar 5. Ilustrasi wanita mengibarkan bendera merah putih Menyorot Posisi Pemerintah dalam Membangun Infrastruktur Bersama Perempuan Indonesia, telah menunjukkan berbagai langkah serius sebagai upaya untuk memperkuat kesetaraan bagi perempuan. Mengacu pada Wijaya et al. (2021), pemerintah Indonesia telah mengesahkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada tahun 1984. Wijaya et al (2021) juga mengungkapkan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah mensinkronkan Kelompok Kerja Nasional tentang Gender dan telah mengimplementasikan 38 program responsif gender dalam Program Pembangunan Nasional dari tahun 2000-2004. Lebih lanjut, menurut Wijaya et al (2021), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 telah menyoroti isu gender terkait infrastruktur permukiman, termasuk menyetujui bahwa akses terhadap air bersih dan sanitasi krusial bagi kehidupan perempuan. Namun, saat ini belum ada mekanisme yang responsif gender terkait pemberdayaan dan hak-hak perempuan selama pembangunan infrastruktur serta upaya mitigasi risiko. Kehadiran perempuan dalam perencanaan infrastruktur permukiman perlu disokong oleh pemerintah Indonesia. Perspektif yang beragam oleh perempuan membantu mewujudkan lingkungan hunian yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan semua lapisan masyarakat. Dengan menyediakan ruang bagi perempuan, ini menunjukkan komitmen kuat untuk menghormati sumbangsih perempuan dalam masyarakat. Korespondensi Penulis: Ingga Amalia Dewi ( inggaamaliadewi@gmail.com ) Daftar Literatur Coi, G. (2022, June 22). (Re)designing the city for women. POLITICO. Retrieved from https://www.politico.eu/article/city-women-gender-equality-umea-sweden-urbact-gendered-landscape-climate-change-emissions-transport-frizon-tunnel-security/ Esariti, L., & Dewi, D. I. K. (2016). Pendekatan responsif gender dalam penyediaan sarana lingkungan perkotaan . RUANG, 2(4), 324-330. https://doi.org/10.14710/ruang.1.4.324-330 Ginsburg, R. B. (n.d.). Women belong in all places where decisions are being made. Goodreads. Retrieved January 24, 2025, from https://www.goodreads.com/quotes/10433440-women-belong-in-all-places-where-decisions-are-being-made International Urban and Regional Cooperation. (2023, September). Guidelines: Umeå Urban planning and gender inclusion . International Urban and Regional Cooperation. Krishnan, M. (2019, July 25). Mumbai's infrastructure is falling apart. DW. Retrieved from https://www.dw.com/en/mumbai-struggles-to-cope-with-crumbling-infrastructure/a-49743367 Mujahid, H. A. (2024, November 1). Pemprov DKI Jakarta perluas ruang ramah perempuan dan anak. Kota Administrasi Jakarta Barat. Retrieved from https://barat.jakarta.go.id/berita/pemprov-dki-jakarta-perluas-ruang-ramah-perempuan-dan-anak Wijaya, T., Adesywi, S., Lees, S., Hlatshwayo, B., & Keller, A. (2021). Pembangunan Infrastruktur dan Hak-Hak Perempuan di Indonesia . UNDP. World Economic Forum. (2021, April 13). 3 pressing urban problems Indian cities must solve in the post-COVID recovery. Retrieved from https://www.weforum.org/stories/2021/04/3-urban-problems-indian-cities-must-solve/

Tantangan dan Solusi untuk Masa Depan terkait Urban Heat Island di kota Jakarta
Gambar 1. Ilustrasi Fenomena Urban Heat Island (UHI) Urban Heat Island (UHI), atau pulau panas perkotaan, adalah fenomena di mana suhu di kawasan perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti urbanisasi, pengurangan ruang hijau, dan peningkatan penggunaan material yang menyerap panas seperti beton dan aspal. Jakarta, sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di dunia, menghadapi tantangan serius akibat UHI. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa UHI di Jakarta tidak hanya berdampak pada peningkatan suhu tetapi juga pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat (Siswanto et al., 2023 , Fajary et al., 2024) Apa itu Urban Heat Island? UHI terjadi ketika kota-kota besar, seperti Jakarta, menyerap dan menyimpan lebih banyak panas daripada lingkungan pedesaan. Material perkotaan seperti beton, baja, dan aspal memiliki kapasitas menyerap panas yang tinggi, sementara kurangnya ruang hijau memperburuk efek ini. Pada malam hari, panas yang tersimpan dilepaskan kembali, menyebabkan suhu tetap tinggi bahkan setelah matahari terbenam. Intensitas UHI di Jakarta tercatat berkisar antara 3°C hingga 6°C untuk suhu permukaan dan 1°C hingga 2,5°C untuk suhu udara (Fajary et al., 2024) . Gambar 2. Efek Urban Heat Island Sumber: (Elmarakby & Elkadi, 2024) Penyebab dan Dampak UHI di Jakarta Jakarta menghadapi fenomena UHI karena berbagai faktor. Urbanisasi yang cepat telah mengubah lanskap kota dengan gedung-gedung tinggi, jalan raya, dan infrastruktur lain yang menggantikan ruang hijau. Material seperti beton dan aspal yang mendominasi kota ini menyerap dan menyimpan panas secara signifikan, sehingga meningkatkan suhu permukaan. Selain itu, penyediaan ruang hijau di Jakarta hanya mencakup sekitar 9,98% dari total luas kota, jauh di bawah standar minimal 30% yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Faktor lain yang memperparah kondisi ini adalah polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan aktivitas industri, yang turut menyumbang pada peningkatan suhu udara (Siswanto et al., 2023 , Sarker et al., 2024). Kedua kegiatan terebut memerlukan bahan bakar berbasis fosil dengan sisa buangan pembakaran yang memicu efek panas di perkotaan. Gambar 3. Perubahan Penggunaan Lahan dan Peningkatan Suhu di Jakarta Tahun 2004 - 2020 Sumber: (Siswanto et al., 2023). Fenomena UHI membawa dampak signifikan terhadap kota dan warganya. Dalam aspek kesehatan, suhu tinggi meningkatkan risiko gangguan kesehatan seperti heatstroke , dehidrasi, dan penyakit kardiovaskular. Penelitian mengungkapkan bahwa peningkatan intensitas UHI berkontribusi pada peningkatan polusi udara yang memengaruhi kesehatan masyarakat, terutama di wilayah perkotaan yang padat penduduk (Fajary et al., 2024) . Kualitas hidup juga terpengaruh karena suhu panas yang ekstrem yaitu dengan mengurangi kenyamanan warga dan memaksa peningkatan konsumsi energi untuk pendingin ruangan. Bahkan saat ini sering dijumpai setiap rumah di Jakarta minimal memiliki satu unit alat pendingin ruangan. Dari sisi lingkungan, peningkatan suhu dapat memperburuk polusi udara dan mempercepat perubahan iklim lokal, menciptakan siklus negatif yang sulit dihentikan (Sarker et al., 2024) . Solusi untuk Mengurangi Urban Heat Island Untuk mengatasi masalah ini, sejumlah solusi dapat diterapkan. Penghijauan kota menjadi langkah utama melalui kegiatan menanam pohon dan menciptakan taman-taman kota yang memberikan bayangan serta meningkatkan kelembaban udara melalui proses evapotranspirasi. Penggunaan material bangunan yang memantulkan cahaya matahari daripada menyerapnya juga dapat membantu mengurangi panas yang terperangkap. Selain itu, konsep atap dan dinding hijau dapat diimplementasikan di gedung-gedung perkotaan untuk menurunkan suhu di area tersebut (Siswanto et al., 2023) . Pemerintah perlu merancang tata ruang kota yang mengintegrasikan lebih banyak ruang hijau, sementara masyarakat dapat berkontribusi dengan menanam pohon di sekitar rumah dan mendukung inisiatif ramah lingkungan. Transportasi berkelanjutan, seperti penggunaan kendaraan listrik dan transportasi umum, juga menjadi salah satu solusi penting untuk mengurangi emisi panas dari kendaraan bermotor (Sarker et al., 2024) . Peran Pemerintah dan Masyarakat Pemerintah DKI Jakarta telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi UHI, termasuk meningkatkan ruang hijau dan mempromosikan transportasi ramah lingkungan. Namun, partisipasi aktif masyarakat sangat dibutuhkan. Langkah-langkah seperti menanam pohon di lingkungan rumah, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, dan menggunakan energi secara bijak dapat memberikan dampak besar dalam mengurangi efek UHI (Fajary et al., 2024) . Korespondensi Penulis Tanuda Pedro Rusdiono /tanudapedro@gmail.com Daftar Literatur Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Jakarta dalam Angka 2022. Jakarta: BPS. World Health Organization. (2021). Urban Green Spaces and Health. Geneva: WHO. Oke, T. R. (1982). The Energetic Basis of the Urban Heat Island. Quarterly Journal of the Royal Meteorological Society, 108 (455), 1-24. Siswanto, S., et al. (2023). Spatio-temporal characteristics of urban heat island of Jakarta metropolitan. Remote Sensing Applications: Society and Environment, 32 , 101062. Sarker, T., et al. (2024). Impact of urban built-up volume on urban environment: A case of Jakarta. Sustainable Cities and Society, 105 , 105346. Fajary, F. R., et al. (2024). Comprehensive spatiotemporal evaluation of urban growth, surface urban heat island, and urban thermal conditions on Java island of Indonesia. Heliyon, 10 , e33708. Elmarakby, E., & Elkadi, H. (2024). Comprehending particulate matter dynamics in transit-oriented developments: Traffic as a generator and design as a captivator. Science of the Total Environment, 931. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2024.172528

Peranan Ruang Terbuka Hijau dan Biru Perkotaan dalam Mereduksi Gas Rumah Kaca
Gambar 1. Foto Ilustrasi Integrasi RTH dan RTB Gas rumah kaca (GRK) merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim yang memberikan dampak serius terhadap kehidupan di bumi. Kota-kota, sebagai pusat aktivitas manusia, menjadi kontributor utama emisi GRK akibat konsumsi energi, transportasi, dan kegiatan industri. Dalam konteks ini, ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) memainkan peran penting sebagai solusi berbasis alam untuk mengurangi emisi GRK dan memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan. Ruang terbuka hijau mencakup taman kota, hutan kota, dan jalur hijau yang ditumbuhi vegetasi. Menurut Benedict dan McMahon (2006), vegetasi memiliki kapasitas untuk menyerap karbon dioksida (CO2) melalui proses fotosintesis. Penelitian yang dilakukan oleh Nowak et al. (2013) menunjukkan bahwa pohon-pohon di kawasan perkotaan di Amerika Serikat mampu menyerap sekitar 17,4 juta ton CO2 setiap tahunnya. Di Jakarta, studi oleh Dinas Kehutanan pada 2021 menunjukkan bahwa RTH yang ada menyerap sekitar 2,6 juta ton CO2 per tahun. RTH juga berfungsi sebagai penyaring polutan udara, mengurangi suhu lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan mental masyarakat. Ruang terbuka biru mencakup badan air seperti danau, sungai, kolam, dan lahan basah di perkotaan. Menurut studi yang dilakukan oleh Bolund dan Hunhammar (1999), lahan basah memiliki kapasitas signifikan dalam menyerap karbon dan menyimpan metana dalam jangka panjang. Laporan Wetlands International (2022) menunjukkan bahwa lahan basah tropis dapat menyimpan hingga 1,3 gigaton karbon per tahun. Selain itu, RTB juga berfungsi sebagai penyerap panas, mengurangi fenomena urban heat island, serta menjadi habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna yang mendukung keanekaragaman hayati. Gambar 2. Foto ilustrasi integrasi RTH dan RTB di Perkotaan Kolaborasi antara RTH dan RTB menciptakan ekosistem perkotaan yang seimbang. Vegetasi di sekitar badan air dapat memperkuat kapasitas penyerapan karbon dan meningkatkan efisiensi pengelolaan air. Studi oleh Gill et al. (2007) mengindikasikan bahwa kombinasi antara RTH dan RTB di kawasan perkotaan Inggris mampu mengurangi emisi GRK hingga 18% dalam 20 tahun ke depan. Di Indonesia, studi oleh Universitas Gadjah Mada (2020) menunjukkan bahwa pengelolaan terpadu RTH dan RTB di Kota Surabaya mampu mengurangi emisi karbon hingga 12% dalam satu dekade. Integrasi RTH dan RTB dalam perencanaan kota menjadi prioritas dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Agenda 2030 Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) mendukung pentingnya kota-kota yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia, misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH, yang menetapkan 30% dari total wilayah perkotaan harus dialokasikan untuk RTH. Data dari Kementerian PUPR (2023) mencatat bahwa saat ini rata-rata wilayah perkotaan di Indonesia baru memiliki sekitar 15% RTH, menunjukkan perlunya upaya lebih besar untuk mencapai target tersebut. Meski manfaatnya signifikan, pengelolaan RTH dan RTB menghadapi tantangan, seperti konversi lahan hijau menjadi kawasan permukiman dan komersial, kurangnya kesadaran masyarakat, serta minimnya pendanaan. Menurut laporan IPCC (2022), pengelolaan RTH dan RTB yang kurang optimal dapat mengurangi efektivitas dalam mereduksi emisi GRK dan meningkatkan risiko banjir perkotaan. Di Indonesia, laporan Walhi (2022) menunjukkan bahwa sekitar 2,4 juta hektar lahan hijau telah beralih fungsi menjadi kawasan non-hijau dalam dua dekade terakhir. Beberapa strategi dapat dilakukan untuk mengoptimalkan peran RTH dan RTB , antara lain: Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan melalui edukasi dan program penghijauan. Mendorong inovasi teknologi hijau, seperti penggunaan tanaman dengan kapasitas serapan karbon tinggi. Membentuk kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas lokal dalam perencanaan dan pengelolaan ruang terbuka. Mengembangkan kebijakan fiskal yang mendukung investasi pada infrastruktur hijau dan biru. Memanfaatkan data satelit dan teknologi digital untuk memonitor perubahan luas RTH dan RTB secara real-time. Studi Kasus : Penataan Kawasan dan Tutupan Lahan Kota Surabaya Surabaya telah menjadi contoh utama dalam implementasi kebijakan hijau untuk menciptakan kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Salah satu program unggulannya adalah inisiatif "1000 Taman" yang dimulai sejak awal 2000-an. Hingga 2024, program ini telah menghasilkan lebih dari 560 taman publik yang tersebar di berbagai sudut kota. Taman-taman ini tidak hanya berfungsi sebagai ruang rekreasi, tetapi juga berperan penting dalam menyerap polutan udara, mengurangi efek pulau panas perkotaan, dan meningkatkan estetika kota. Dengan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mencapai 21% dari total wilayah kota—di atas rata-rata nasional—Surabaya berhasil menunjukkan komitmen kuat terhadap pembangunan berkelanjutan. Gambar 3. Peta evaluasi tata ruang kota Surabaya Salah satu aspek unik dari strategi Surabaya adalah integrasi antara ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru, yang tidak hanya berfokus pada penghijauan tetapi juga pada pengelolaan sumber daya air. Sungai Kalimas, yang merupakan ikon kota, telah direvitalisasi menjadi ruang terbuka biru multifungsi. Revitalisasi ini melibatkan pembersihan sungai dari limbah domestik dan industri, penanaman vegetasi yang sesuai dengan ekosistem lokal, serta pembangunan jalur pejalan kaki dan area rekreasi di sepanjang bantaran sungai. Proyek ini tidak hanya meningkatkan estetika Sungai Kalimas, tetapi juga mengembalikan fungsinya sebagai pengendali banjir dan penyerap karbon alami. Berdasarkan Peta Evaluasi Tata Ruang Kota Surabaya Tahun 2022 dan Peta RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, dapat dilihat bahwa Surabaya memiliki komitmen kuat dalam mempertahankan dan mengintegrasikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Ruang Terbuka Biru (RTB) ke dalam tata kelola kota. RTH, yang ditandai dengan penataan area hijau dalam peta, mencakup taman kota, jalur hijau, hutan kota, dan vegetasi alami yang tersebar di berbagai zona. Kawasan ini memiliki fungsi penting dalam menciptakan keseimbangan ekosistem, mengurangi polusi udara, mengatur suhu kota, serta memberikan ruang rekreasi dan sosial bagi masyarakat. Berdasarkan RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, keberadaan RTH direncanakan mencapai 30% dari total wilayah kota untuk memenuhi standar nasional, meskipun hingga 2022 luasnya baru mencapai 21%. Hal ini menunjukkan adanya upaya yang terus berlanjut untuk memperluas dan meningkatkan kualitas RTH di kota ini. Selain itu, Ruang Terbuka Biru (RTB), yang diwakili oleh badan air seperti sungai, waduk, dan kawasan pesisir, juga menjadi elemen penting dalam tata ruang Surabaya. Sungai Kalimas, yang merupakan ikon sejarah kota, telah direvitalisasi menjadi kawasan multifungsi yang tidak hanya berfungsi sebagai pengelola sumber daya air tetapi juga sebagai ruang rekreasi, estetika kota, dan penyerap karbon alami. Proyek ini melibatkan penanaman vegetasi di sepanjang bantaran sungai, pembersihan limbah domestik dan industri, serta pembangunan jalur pedestrian dan fasilitas publik. Selain Sungai Kalimas, kawasan pesisir juga mendapat perhatian khusus dalam RTRW untuk menjaga keberlanjutan ekosistem maritim dan mencegah degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia. Dalam konteks RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, integrasi RTH dan RTB menjadi bagian dari strategi besar untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. RTH diarahkan untuk menyebar di seluruh wilayah, termasuk di kawasan permukiman, perdagangan, dan industri, guna menciptakan ruang hijau yang merata. Kawasan industri diwajibkan menyediakan jalur hijau untuk memitigasi dampak polusi, sementara permukiman direncanakan memiliki taman lingkungan sebagai sarana rekreasi warga. Di sisi lain, RTB, seperti sungai dan waduk, diintegrasikan ke dalam sistem drainase kota untuk mengurangi risiko banjir dan sebagai cadangan air bersih. Keberhasilan ini didukung oleh kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta. Pemerintah Kota Surabaya, melalui kebijakan tata ruang, telah mengalokasikan anggaran dan sumber daya untuk pengelolaan RTH dan RTB. Komunitas lokal aktif berpartisipasi dalam program penghijauan kota, seperti penanaman pohon dan perawatan taman. Sementara itu, sektor swasta mendukung melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berkontribusi pada pembangunan taman kota, revitalisasi sungai, dan konservasi lingkungan. Secara keseluruhan, tata ruang Kota Surabaya yang mengintegrasikan RTH dan RTB mencerminkan upaya nyata dalam menghadapi tantangan urbanisasi dan perubahan iklim . Dengan memanfaatkan potensi alam dan teknologi, serta memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan, Surabaya mampu menjadi model bagi kota-kota lain di Indonesia dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih sehat, nyaman, dan berkelanjutan. Integrasi ini juga menjadi fondasi penting untuk mendukung kualitas hidup warganya sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang. Ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) memiliki peran strategis dalam pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. RTH seperti taman, hutan kota, dan jalur hijau mampu menyerap karbon dioksida (CO2) dan memberikan oksigen yang dibutuhkan untuk kehidupan. Sementara itu, RTB seperti sungai, danau, dan kawasan pesisir berperan penting dalam mengatur suhu lokal, menyerap air hujan, serta mengurangi risiko banjir. Kombinasi keduanya menciptakan ekosistem yang lebih seimbang dan berkontribusi signifikan dalam mereduksi gas rumah kaca, yang merupakan penyebab utama perubahan iklim. Gambar 4. Penampakan perkotaan Optimalisasi peran RTH dan RTB tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga pada kualitas hidup masyarakat. Kehadiran ruang terbuka yang terintegrasi memberikan manfaat psikologis, seperti mengurangi stres, meningkatkan kesehatan mental, dan menciptakan ruang sosial bagi interaksi masyarakat. Selain itu, kawasan ini juga menjadi sumber keanekaragaman hayati yang mendukung kelestarian flora dan fauna perkotaan. Dengan demikian, RTH dan RTB tidak hanya berfungsi sebagai elemen fisik, tetapi juga sebagai aset sosial dan budaya yang memperkaya kehidupan kota. Namun, untuk mewujudkan potensi penuh dari RTH dan RTB, diperlukan dukungan kebijakan yang kuat. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan berbasis bukti dalam perencanaan tata ruang, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya, penerapan insentif untuk pengembangan kawasan hijau, regulasi yang mendukung konservasi air, serta penyediaan anggaran khusus untuk pengelolaan dan pemeliharaan ruang terbuka. Tanpa kebijakan yang jelas dan komprehensif, RTH dan RTB berisiko terancam oleh pembangunan yang tidak berkelanjutan. Gambar 5. Penyusunan desain Taman Lingkungan Salah satu contoh konkret langkah nyata sederhana yang dapat mendukung keberlanjutan RTH dan RTB adalah pengembangan Taman Lingkungan . Taman Lingkungan bukan hanya sekadar ruang hijau, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pusat aktivitas masyarakat yang mendorong interaksi sosial, edukasi, dan pelestarian lingkungan. Dalam implementasinya, Taman Lingkungan dapat dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat setempat, seperti menyediakan area bermain anak, fasilitas olahraga, jalur pejalan kaki yang ramah disabilitas, hingga zona khusus untuk kegiatan komunitas. Selain itu, Taman Lingkungan juga dapat berfungsi sebagai area konservasi lokal dengan menanam spesies tumbuhan endemik dan menyediakan habitat bagi fauna urban. Untuk memastikan keberlanjutannya, pemerintah dapat melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengelolaan taman ini, menciptakan rasa kepemilikan yang lebih kuat. Dukungan regulasi juga diperlukan, misalnya melalui kebijakan zonasi yang mewajibkan setiap kawasan permukiman untuk memiliki Taman Lingkungan dengan standar tertentu. Dengan pendekatan yang terintegrasi dan berbasis kebutuhan, Taman Lingkungan tidak hanya berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.Partisipasi masyarakat juga menjadi kunci dalam pengelolaan RTH dan RTB. Keterlibatan warga dalam menjaga kebersihan, melestarikan keanekaragaman hayati, serta mengawasi penggunaan lahan dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap ruang terbuka tersebut. Kampanye edukasi dan program komunitas, seperti gerakan penghijauan dan adopsi sungai, dapat menjadi sarana efektif untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengelola ruang terbuka secara berkelanjutan. Di sisi lain, investasi berkelanjutan dalam pengembangan RTH dan RTB harus menjadi prioritas. Kolaborasi dengan sektor swasta melalui kemitraan publik-swasta (public-private partnership) dapat mendukung pendanaan proyek-proyek hijau yang memiliki dampak jangka panjang. Selain itu, pengintegrasian teknologi, seperti sistem pemantauan kualitas udara atau infrastruktur berkelanjutan, juga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan ruang terbuka. Dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, RTH dan RTB dapat menjadi elemen vital dalam menciptakan kota yang tangguh terhadap perubahan iklim. Lebih dari itu, ruang terbuka ini berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, menciptakan lingkungan yang lebih sehat, dan mendukung keberlanjutan kota dalam jangka panjang. Implementasi strategi ini akan menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kota yang ramah lingkungan, nyaman, dan berdaya saing global. Korespondensi Penulis Muhammad Firdaus/firdausdanoe@gmail.com Literatur Benedict, M. A., & McMahon, E. T. (2006). Green Infrastructure: Linking Landscapes and Communities . Island Press. Bolund, P., & Hunhammar, S. (1999). Ecosystem services in urban areas. Ecological Economics, 29 (2), 293-301. Dinas Kehutanan Jakarta. (2021). Laporan Tahunan: Kapasitas Penyerapan Karbon RTH di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dinas Lingkungan Hidup Surabaya. (2023). Revitalisasi Sungai Kalimas dan Implementasi Ruang Terbuka Hijau di Surabaya . Pemerintah Kota Surabaya. Gill, S. E., Handley, J. F., Ennos, A. R., & Pauleit, S. (2007). Adapting cities for climate change: The role of the green infrastructure. Built Environment, 33 (1), 115-133. IPCC. (2022). Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability . Intergovernmental Panel on Climate Change. Nowak, D. J., Crane, D. E., & Stevens, J. C. (2013). Carbon storage and sequestration by urban trees in the USA. Environmental Pollution, 116 (3), 381-389. Pemerintah Kota Surabaya. (2024). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya. Retrieved from https://www.surabaya.go.id PT Semen Indonesia. (2024). Revitalisasi Ruang Terbuka Hijau: Studi Kasus Kolaborasi dengan Pemerintah Kota Surabaya. Universitas Gadjah Mada. (2020). Studi Pengelolaan Terpadu RTH dan RTB untuk Mitigasi Perubahan Iklim di Surabaya. Fakultas Geografi UGM. Walhi. (2022). Laporan Kondisi Ruang Terbuka di Indonesia: Tantangan dan Solusi . Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Wetlands International. (2022). Tropical Wetlands and Climate Change Mitigation . Wetlands International.