top of page

My Items

I'm a title. ​Click here to edit me.

Tantangan dan Solusi untuk Masa Depan terkait Urban Heat Island di kota Jakarta

Tantangan dan Solusi untuk Masa Depan terkait Urban Heat Island di kota Jakarta

Gambar 1. Ilustrasi Fenomena Urban Heat Island (UHI) Urban Heat Island  (UHI), atau pulau panas perkotaan, adalah fenomena di mana suhu di kawasan perkotaan lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti urbanisasi, pengurangan ruang hijau, dan peningkatan penggunaan material yang menyerap panas seperti beton dan aspal. Jakarta, sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di dunia, menghadapi tantangan serius akibat UHI. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa UHI di Jakarta tidak hanya berdampak pada peningkatan suhu tetapi juga pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat (Siswanto et al., 2023 , Fajary et al., 2024) Apa itu Urban Heat Island? UHI terjadi ketika kota-kota besar, seperti Jakarta, menyerap dan menyimpan lebih banyak panas daripada lingkungan pedesaan. Material perkotaan seperti beton, baja, dan aspal memiliki kapasitas menyerap panas yang tinggi, sementara kurangnya ruang hijau memperburuk efek ini. Pada malam hari, panas yang tersimpan dilepaskan kembali, menyebabkan suhu tetap tinggi bahkan setelah matahari terbenam. Intensitas UHI di Jakarta tercatat berkisar antara 3°C hingga 6°C untuk suhu permukaan dan 1°C hingga 2,5°C untuk suhu udara (Fajary et al., 2024) . Gambar  2.  Efek Urban Heat Island Sumber: (Elmarakby & Elkadi, 2024) Penyebab dan Dampak UHI di Jakarta Jakarta menghadapi fenomena UHI karena berbagai faktor. Urbanisasi yang cepat telah mengubah lanskap kota dengan gedung-gedung tinggi, jalan raya, dan infrastruktur lain yang menggantikan ruang hijau. Material seperti beton dan aspal yang mendominasi kota ini menyerap dan menyimpan panas secara signifikan, sehingga meningkatkan suhu permukaan. Selain itu, penyediaan ruang hijau di Jakarta hanya mencakup sekitar 9,98% dari total luas kota, jauh di bawah standar minimal 30% yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Faktor lain yang memperparah kondisi ini adalah polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan aktivitas industri, yang turut menyumbang pada peningkatan suhu udara (Siswanto et al., 2023 , Sarker et al., 2024). Kedua kegiatan terebut memerlukan bahan bakar berbasis fosil dengan sisa buangan pembakaran yang memicu efek panas di perkotaan. Gambar 3.  Perubahan Penggunaan Lahan dan Peningkatan Suhu di Jakarta Tahun 2004 - 2020 Sumber: (Siswanto et al., 2023). Fenomena UHI membawa dampak signifikan terhadap kota dan warganya. Dalam aspek kesehatan, suhu tinggi meningkatkan risiko gangguan kesehatan seperti heatstroke , dehidrasi, dan penyakit kardiovaskular. Penelitian mengungkapkan bahwa peningkatan intensitas UHI berkontribusi pada peningkatan polusi udara yang memengaruhi kesehatan masyarakat, terutama di wilayah perkotaan yang padat penduduk  (Fajary et al., 2024) . Kualitas hidup juga terpengaruh karena suhu panas yang ekstrem yaitu dengan mengurangi kenyamanan warga dan memaksa peningkatan konsumsi energi untuk pendingin ruangan. Bahkan saat ini sering dijumpai setiap rumah di Jakarta minimal memiliki satu unit alat pendingin ruangan. Dari sisi lingkungan, peningkatan suhu dapat memperburuk polusi udara dan mempercepat perubahan iklim lokal, menciptakan siklus negatif yang sulit dihentikan  (Sarker et al., 2024) . Solusi untuk Mengurangi Urban Heat Island Untuk mengatasi masalah ini, sejumlah solusi dapat diterapkan. Penghijauan kota menjadi langkah utama melalui kegiatan menanam pohon dan menciptakan taman-taman kota yang memberikan bayangan serta meningkatkan kelembaban udara melalui proses evapotranspirasi. Penggunaan material bangunan yang memantulkan cahaya matahari daripada menyerapnya juga dapat membantu mengurangi panas yang terperangkap. Selain itu, konsep atap dan dinding hijau dapat diimplementasikan di gedung-gedung perkotaan untuk menurunkan suhu di area tersebut  (Siswanto et al., 2023) . Pemerintah perlu merancang tata ruang kota yang mengintegrasikan lebih banyak ruang hijau, sementara masyarakat dapat berkontribusi dengan menanam pohon di sekitar rumah dan mendukung inisiatif ramah lingkungan. Transportasi berkelanjutan, seperti penggunaan kendaraan listrik dan transportasi umum, juga menjadi salah satu solusi penting untuk mengurangi emisi panas dari kendaraan bermotor  (Sarker et al., 2024) . Peran Pemerintah dan Masyarakat Pemerintah DKI Jakarta telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi UHI, termasuk meningkatkan ruang hijau dan mempromosikan transportasi ramah lingkungan. Namun, partisipasi aktif masyarakat sangat dibutuhkan. Langkah-langkah seperti menanam pohon di lingkungan rumah, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, dan menggunakan energi secara bijak dapat memberikan dampak besar dalam mengurangi efek UHI  (Fajary et al., 2024) . Korespondensi Penulis Tanuda Pedro Rusdiono /tanudapedro@gmail.com Daftar Literatur Badan Pusat Statistik. (2022). Statistik Jakarta dalam Angka 2022. Jakarta: BPS. World Health Organization. (2021). Urban Green Spaces and Health. Geneva: WHO. Oke, T. R. (1982). The Energetic Basis of the Urban Heat Island. Quarterly Journal of the Royal Meteorological Society, 108 (455), 1-24. Siswanto, S., et al. (2023). Spatio-temporal characteristics of urban heat island of Jakarta metropolitan. Remote Sensing Applications: Society and Environment, 32 , 101062. Sarker, T., et al. (2024). Impact of urban built-up volume on urban environment: A case of Jakarta. Sustainable Cities and Society, 105 , 105346. Fajary, F. R., et al. (2024). Comprehensive spatiotemporal evaluation of urban growth, surface urban heat island, and urban thermal conditions on Java island of Indonesia. Heliyon, 10 , e33708. Elmarakby, E., & Elkadi, H. (2024). Comprehending particulate matter dynamics in transit-oriented developments: Traffic as a generator and design as a captivator. Science of the Total Environment, 931. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2024.172528

More
Peranan Ruang Terbuka Hijau dan Biru Perkotaan dalam Mereduksi Gas Rumah Kaca

Peranan Ruang Terbuka Hijau dan Biru Perkotaan dalam Mereduksi Gas Rumah Kaca

Gambar 1. Foto Ilustrasi Integrasi RTH dan RTB Gas rumah kaca (GRK) merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim yang memberikan dampak serius terhadap kehidupan di bumi. Kota-kota, sebagai pusat aktivitas manusia, menjadi kontributor utama emisi GRK akibat konsumsi energi, transportasi, dan kegiatan industri. Dalam konteks ini, ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) memainkan peran penting sebagai solusi berbasis alam untuk mengurangi emisi GRK dan memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan. Ruang terbuka hijau mencakup taman kota, hutan kota, dan jalur hijau yang ditumbuhi vegetasi. Menurut Benedict dan McMahon (2006), vegetasi memiliki kapasitas untuk menyerap karbon dioksida (CO2) melalui proses fotosintesis. Penelitian yang dilakukan oleh Nowak et al. (2013) menunjukkan bahwa pohon-pohon di kawasan perkotaan di Amerika Serikat mampu menyerap sekitar 17,4 juta ton CO2 setiap tahunnya. Di Jakarta, studi oleh Dinas Kehutanan pada 2021 menunjukkan bahwa RTH yang ada menyerap sekitar 2,6 juta ton CO2 per tahun. RTH juga berfungsi sebagai penyaring polutan udara, mengurangi suhu lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan mental masyarakat. Ruang terbuka biru mencakup badan air seperti danau, sungai, kolam, dan lahan basah di perkotaan. Menurut studi yang dilakukan oleh Bolund dan Hunhammar (1999), lahan basah memiliki kapasitas signifikan dalam menyerap karbon dan menyimpan metana dalam jangka panjang. Laporan Wetlands International (2022) menunjukkan bahwa lahan basah tropis dapat menyimpan hingga 1,3 gigaton karbon per tahun. Selain itu, RTB juga berfungsi sebagai penyerap panas, mengurangi fenomena urban heat island, serta menjadi habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna yang mendukung keanekaragaman hayati. Gambar 2. Foto ilustrasi integrasi RTH dan RTB di Perkotaan Kolaborasi antara RTH dan RTB menciptakan ekosistem perkotaan yang seimbang. Vegetasi di sekitar badan air dapat memperkuat kapasitas penyerapan karbon dan meningkatkan efisiensi pengelolaan air. Studi oleh Gill et al. (2007) mengindikasikan bahwa kombinasi antara RTH dan RTB di kawasan perkotaan Inggris mampu mengurangi emisi GRK hingga 18% dalam 20 tahun ke depan. Di Indonesia, studi oleh Universitas Gadjah Mada (2020) menunjukkan bahwa pengelolaan terpadu RTH dan RTB di Kota Surabaya mampu mengurangi emisi karbon hingga 12% dalam satu dekade. Integrasi RTH dan RTB dalam perencanaan kota menjadi prioritas dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Agenda 2030 Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) mendukung pentingnya kota-kota yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia, misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH, yang menetapkan 30% dari total wilayah perkotaan harus dialokasikan untuk RTH. Data dari Kementerian PUPR (2023) mencatat bahwa saat ini rata-rata wilayah perkotaan di Indonesia baru memiliki sekitar 15% RTH, menunjukkan perlunya upaya lebih besar untuk mencapai target tersebut. Meski manfaatnya signifikan, pengelolaan RTH dan RTB menghadapi tantangan, seperti konversi lahan hijau menjadi kawasan permukiman dan komersial, kurangnya kesadaran masyarakat, serta minimnya pendanaan. Menurut laporan IPCC (2022), pengelolaan RTH dan RTB yang kurang optimal dapat mengurangi efektivitas dalam mereduksi emisi GRK dan meningkatkan risiko banjir perkotaan. Di Indonesia, laporan Walhi (2022) menunjukkan bahwa sekitar 2,4 juta hektar lahan hijau telah beralih fungsi menjadi kawasan non-hijau dalam dua dekade terakhir. Beberapa strategi dapat dilakukan untuk mengoptimalkan peran RTH dan RTB , antara lain: Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan melalui edukasi dan program penghijauan. Mendorong inovasi teknologi hijau, seperti penggunaan tanaman dengan kapasitas serapan karbon tinggi. Membentuk kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas lokal dalam perencanaan dan pengelolaan ruang terbuka. Mengembangkan kebijakan fiskal yang mendukung investasi pada infrastruktur hijau dan biru. Memanfaatkan data satelit dan teknologi digital untuk memonitor perubahan luas RTH dan RTB secara real-time. Studi Kasus : Penataan Kawasan dan Tutupan Lahan Kota Surabaya Surabaya telah menjadi contoh utama dalam implementasi kebijakan hijau untuk menciptakan kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Salah satu program unggulannya adalah inisiatif "1000 Taman" yang dimulai sejak awal 2000-an. Hingga 2024, program ini telah menghasilkan lebih dari 560 taman publik yang tersebar di berbagai sudut kota. Taman-taman ini tidak hanya berfungsi sebagai ruang rekreasi, tetapi juga berperan penting dalam menyerap polutan udara, mengurangi efek pulau panas perkotaan, dan meningkatkan estetika kota. Dengan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mencapai 21% dari total wilayah kota—di atas rata-rata nasional—Surabaya berhasil menunjukkan komitmen kuat terhadap pembangunan berkelanjutan. Gambar 3. Peta evaluasi tata ruang kota Surabaya Salah satu aspek unik dari strategi Surabaya adalah integrasi antara ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru, yang tidak hanya berfokus pada penghijauan tetapi juga pada pengelolaan sumber daya air. Sungai Kalimas, yang merupakan ikon kota, telah direvitalisasi menjadi ruang terbuka biru multifungsi. Revitalisasi ini melibatkan pembersihan sungai dari limbah domestik dan industri, penanaman vegetasi yang sesuai dengan ekosistem lokal, serta pembangunan jalur pejalan kaki dan area rekreasi di sepanjang bantaran sungai. Proyek ini tidak hanya meningkatkan estetika Sungai Kalimas, tetapi juga mengembalikan fungsinya sebagai pengendali banjir dan penyerap karbon alami. Berdasarkan Peta Evaluasi Tata Ruang Kota Surabaya Tahun 2022 dan Peta RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, dapat dilihat bahwa Surabaya memiliki komitmen kuat dalam mempertahankan dan mengintegrasikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Ruang Terbuka Biru (RTB) ke dalam tata kelola kota. RTH, yang ditandai dengan penataan area hijau dalam peta, mencakup taman kota, jalur hijau, hutan kota, dan vegetasi alami yang tersebar di berbagai zona. Kawasan ini memiliki fungsi penting dalam menciptakan keseimbangan ekosistem, mengurangi polusi udara, mengatur suhu kota, serta memberikan ruang rekreasi dan sosial bagi masyarakat. Berdasarkan RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, keberadaan RTH direncanakan mencapai 30% dari total wilayah kota untuk memenuhi standar nasional, meskipun hingga 2022 luasnya baru mencapai 21%. Hal ini menunjukkan adanya upaya yang terus berlanjut untuk memperluas dan meningkatkan kualitas RTH di kota ini. Selain itu, Ruang Terbuka Biru (RTB), yang diwakili oleh badan air seperti sungai, waduk, dan kawasan pesisir, juga menjadi elemen penting dalam tata ruang Surabaya. Sungai Kalimas, yang merupakan ikon sejarah kota, telah direvitalisasi menjadi kawasan multifungsi yang tidak hanya berfungsi sebagai pengelola sumber daya air tetapi juga sebagai ruang rekreasi, estetika kota, dan penyerap karbon alami. Proyek ini melibatkan penanaman vegetasi di sepanjang bantaran sungai, pembersihan limbah domestik dan industri, serta pembangunan jalur pedestrian dan fasilitas publik. Selain Sungai Kalimas, kawasan pesisir juga mendapat perhatian khusus dalam RTRW untuk menjaga keberlanjutan ekosistem maritim dan mencegah degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia. Dalam konteks RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, integrasi RTH dan RTB menjadi bagian dari strategi besar untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. RTH diarahkan untuk menyebar di seluruh wilayah, termasuk di kawasan permukiman, perdagangan, dan industri, guna menciptakan ruang hijau yang merata. Kawasan industri diwajibkan menyediakan jalur hijau untuk memitigasi dampak polusi, sementara permukiman direncanakan memiliki taman lingkungan sebagai sarana rekreasi warga. Di sisi lain, RTB, seperti sungai dan waduk, diintegrasikan ke dalam sistem drainase kota untuk mengurangi risiko banjir dan sebagai cadangan air bersih. Keberhasilan ini didukung oleh kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta. Pemerintah Kota Surabaya, melalui kebijakan tata ruang, telah mengalokasikan anggaran dan sumber daya untuk pengelolaan RTH dan RTB. Komunitas lokal aktif berpartisipasi dalam program penghijauan kota, seperti penanaman pohon dan perawatan taman. Sementara itu, sektor swasta mendukung melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berkontribusi pada pembangunan taman kota, revitalisasi sungai, dan konservasi lingkungan. Secara keseluruhan, tata ruang Kota Surabaya yang mengintegrasikan RTH dan RTB mencerminkan upaya nyata dalam menghadapi tantangan urbanisasi dan perubahan iklim . Dengan memanfaatkan potensi alam dan teknologi, serta memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan, Surabaya mampu menjadi model bagi kota-kota lain di Indonesia dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih sehat, nyaman, dan berkelanjutan. Integrasi ini juga menjadi fondasi penting untuk mendukung kualitas hidup warganya sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang. Ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) memiliki peran strategis dalam pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. RTH seperti taman, hutan kota, dan jalur hijau mampu menyerap karbon dioksida (CO2) dan memberikan oksigen yang dibutuhkan untuk kehidupan. Sementara itu, RTB seperti sungai, danau, dan kawasan pesisir berperan penting dalam mengatur suhu lokal, menyerap air hujan, serta mengurangi risiko banjir. Kombinasi keduanya menciptakan ekosistem yang lebih seimbang dan berkontribusi signifikan dalam mereduksi gas rumah kaca, yang merupakan penyebab utama perubahan iklim. Gambar 4. Penampakan perkotaan Optimalisasi peran RTH dan RTB tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga pada kualitas hidup masyarakat. Kehadiran ruang terbuka yang terintegrasi memberikan manfaat psikologis, seperti mengurangi stres, meningkatkan kesehatan mental, dan menciptakan ruang sosial bagi interaksi masyarakat. Selain itu, kawasan ini juga menjadi sumber keanekaragaman hayati yang mendukung kelestarian flora dan fauna perkotaan. Dengan demikian, RTH dan RTB tidak hanya berfungsi sebagai elemen fisik, tetapi juga sebagai aset sosial dan budaya yang memperkaya kehidupan kota. Namun, untuk mewujudkan potensi penuh dari RTH dan RTB, diperlukan dukungan kebijakan yang kuat. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan berbasis bukti dalam perencanaan tata ruang, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya, penerapan insentif untuk pengembangan kawasan hijau, regulasi yang mendukung konservasi air, serta penyediaan anggaran khusus untuk pengelolaan dan pemeliharaan ruang terbuka. Tanpa kebijakan yang jelas dan komprehensif, RTH dan RTB berisiko terancam oleh pembangunan yang tidak berkelanjutan. Gambar 5. Penyusunan desain Taman Lingkungan Salah satu contoh konkret langkah nyata sederhana yang dapat mendukung keberlanjutan RTH dan RTB  adalah pengembangan Taman Lingkungan . Taman Lingkungan bukan hanya sekadar ruang hijau, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pusat aktivitas masyarakat yang mendorong interaksi sosial, edukasi, dan pelestarian lingkungan. Dalam implementasinya, Taman Lingkungan dapat dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat setempat, seperti menyediakan area bermain anak, fasilitas olahraga, jalur pejalan kaki yang ramah disabilitas, hingga zona khusus untuk kegiatan komunitas. Selain itu, Taman Lingkungan juga dapat berfungsi sebagai area konservasi lokal dengan menanam spesies tumbuhan endemik dan menyediakan habitat bagi fauna urban. Untuk memastikan keberlanjutannya, pemerintah dapat melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengelolaan taman ini, menciptakan rasa kepemilikan yang lebih kuat. Dukungan regulasi juga diperlukan, misalnya melalui kebijakan zonasi yang mewajibkan setiap kawasan permukiman untuk memiliki Taman Lingkungan dengan standar tertentu. Dengan pendekatan yang terintegrasi dan berbasis kebutuhan, Taman Lingkungan tidak hanya berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.Partisipasi masyarakat juga menjadi kunci dalam pengelolaan RTH dan RTB. Keterlibatan warga dalam menjaga kebersihan, melestarikan keanekaragaman hayati, serta mengawasi penggunaan lahan dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap ruang terbuka tersebut. Kampanye edukasi dan program komunitas, seperti gerakan penghijauan dan adopsi sungai, dapat menjadi sarana efektif untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengelola ruang terbuka secara berkelanjutan. Di sisi lain, investasi berkelanjutan dalam pengembangan RTH dan RTB harus menjadi prioritas. Kolaborasi dengan sektor swasta melalui kemitraan publik-swasta (public-private partnership) dapat mendukung pendanaan proyek-proyek hijau yang memiliki dampak jangka panjang. Selain itu, pengintegrasian teknologi, seperti sistem pemantauan kualitas udara atau infrastruktur berkelanjutan, juga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan ruang terbuka. Dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, RTH dan RTB dapat menjadi elemen vital dalam menciptakan kota yang tangguh terhadap perubahan iklim. Lebih dari itu, ruang terbuka ini berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, menciptakan lingkungan yang lebih sehat, dan mendukung keberlanjutan kota dalam jangka panjang. Implementasi strategi ini akan menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kota yang ramah lingkungan, nyaman, dan berdaya saing global. Korespondensi Penulis Muhammad Firdaus/firdausdanoe@gmail.com Literatur Benedict, M. A., & McMahon, E. T. (2006). Green Infrastructure: Linking Landscapes and Communities . Island Press. Bolund, P., & Hunhammar, S. (1999). Ecosystem services in urban areas. Ecological Economics, 29 (2), 293-301. Dinas Kehutanan Jakarta. (2021). Laporan Tahunan: Kapasitas Penyerapan Karbon RTH di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dinas Lingkungan Hidup Surabaya. (2023). Revitalisasi Sungai Kalimas dan Implementasi Ruang Terbuka Hijau di Surabaya . Pemerintah Kota Surabaya. Gill, S. E., Handley, J. F., Ennos, A. R., & Pauleit, S. (2007). Adapting cities for climate change: The role of the green infrastructure. Built Environment, 33 (1), 115-133. IPCC. (2022). Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability . Intergovernmental Panel on Climate Change. Nowak, D. J., Crane, D. E., & Stevens, J. C. (2013). Carbon storage and sequestration by urban trees in the USA. Environmental Pollution, 116 (3), 381-389. Pemerintah Kota Surabaya. (2024). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya.  Retrieved from https://www.surabaya.go.id PT Semen Indonesia. (2024). Revitalisasi Ruang Terbuka Hijau: Studi Kasus Kolaborasi dengan Pemerintah Kota Surabaya. Universitas Gadjah Mada. (2020). Studi Pengelolaan Terpadu RTH dan RTB untuk Mitigasi Perubahan Iklim di Surabaya. Fakultas Geografi UGM. Walhi. (2022). Laporan Kondisi Ruang Terbuka di Indonesia: Tantangan dan Solusi . Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Wetlands International. (2022). Tropical Wetlands and Climate Change Mitigation . Wetlands International.

More
Peranan Ruang Terbuka Hijau dan Biru Perkotaan dalam Mereduksi Gas Rumah Kaca

Peranan Ruang Terbuka Hijau dan Biru Perkotaan dalam Mereduksi Gas Rumah Kaca

Gas rumah kaca (GRK) merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim yang memberikan dampak serius terhadap kehidupan di bumi. Kota-kota, sebagai pusat aktivitas manusia, menjadi kontributor utama emisi GRK akibat konsumsi energi, transportasi, dan kegiatan industri. Dalam konteks ini, ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) memainkan peran penting sebagai solusi berbasis alam untuk mengurangi emisi GRK dan memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan. Ruang terbuka hijau mencakup taman kota, hutan kota, dan jalur hijau yang ditumbuhi vegetasi. Menurut Benedict dan McMahon (2006), vegetasi memiliki kapasitas untuk menyerap karbon dioksida (CO2) melalui proses fotosintesis. Penelitian yang dilakukan oleh Nowak et al. (2013) menunjukkan bahwa pohon-pohon di kawasan perkotaan di Amerika Serikat mampu menyerap sekitar 17,4 juta ton CO2 setiap tahunnya. Di Jakarta, studi oleh Dinas Kehutanan pada 2021 menunjukkan bahwa RTH yang ada menyerap sekitar 2,6 juta ton CO2 per tahun. RTH juga berfungsi sebagai penyaring polutan udara, mengurangi suhu lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan mental masyarakat. Ruang terbuka biru mencakup badan air seperti danau, sungai, kolam, dan lahan basah di perkotaan. Menurut studi yang dilakukan oleh Bolund dan Hunhammar (1999), lahan basah memiliki kapasitas signifikan dalam menyerap karbon dan menyimpan metana dalam jangka panjang. Laporan Wetlands International (2022) menunjukkan bahwa lahan basah tropis dapat menyimpan hingga 1,3 gigaton karbon per tahun. Selain itu, RTB juga berfungsi sebagai penyerap panas, mengurangi fenomena urban heat island, serta menjadi habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna yang mendukung keanekaragaman hayati. Kolaborasi antara RTH dan RTB menciptakan ekosistem perkotaan yang seimbang. Vegetasi di sekitar badan air dapat memperkuat kapasitas penyerapan karbon dan meningkatkan efisiensi pengelolaan air. Studi oleh Gill et al. (2007) mengindikasikan bahwa kombinasi antara RTH dan RTB di kawasan perkotaan Inggris mampu mengurangi emisi GRK hingga 18% dalam 20 tahun ke depan. Di Indonesia, studi oleh Universitas Gadjah Mada (2020) menunjukkan bahwa pengelolaan terpadu RTH dan RTB di Kota Surabaya mampu mengurangi emisi karbon hingga 12% dalam satu dekade. Integrasi RTH dan RTB dalam perencanaan kota menjadi prioritas dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Agenda 2030 Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) mendukung pentingnya kota-kota yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia, misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH, yang menetapkan 30% dari total wilayah perkotaan harus dialokasikan untuk RTH. Data dari Kementerian PUPR (2023) mencatat bahwa saat ini rata-rata wilayah perkotaan di Indonesia baru memiliki sekitar 15% RTH, menunjukkan perlunya upaya lebih besar untuk mencapai target tersebut. Meski manfaatnya signifikan, pengelolaan RTH dan RTB menghadapi tantangan, seperti konversi lahan hijau menjadi kawasan permukiman dan komersial, kurangnya kesadaran masyarakat, serta minimnya pendanaan. Menurut laporan IPCC (2022), pengelolaan RTH dan RTB yang kurang optimal dapat mengurangi efektivitas dalam mereduksi emisi GRK dan meningkatkan risiko banjir perkotaan. Di Indonesia, laporan Walhi (2022) menunjukkan bahwa sekitar 2,4 juta hektar lahan hijau telah beralih fungsi menjadi kawasan non-hijau dalam dua dekade terakhir. Beberapa strategi dapat dilakukan untuk mengoptimalkan peran RTH dan RTB , antara lain: Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan melalui edukasi dan program penghijauan. Mendorong inovasi teknologi hijau, seperti penggunaan tanaman dengan kapasitas serapan karbon tinggi. Membentuk kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas lokal dalam perencanaan dan pengelolaan ruang terbuka. Mengembangkan kebijakan fiskal yang mendukung investasi pada infrastruktur hijau dan biru. Memanfaatkan data satelit dan teknologi digital untuk memonitor perubahan luas RTH dan RTB secara real-time. Studi Kasus : Penataan Kawasan dan Tutupan Lahan Kota Surabaya Surabaya telah menjadi contoh utama dalam implementasi kebijakan hijau untuk menciptakan kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Salah satu program unggulannya adalah inisiatif "1000 Taman" yang dimulai sejak awal 2000-an. Hingga 2024, program ini telah menghasilkan lebih dari 560 taman publik yang tersebar di berbagai sudut kota. Taman-taman ini tidak hanya berfungsi sebagai ruang rekreasi, tetapi juga berperan penting dalam menyerap polutan udara, mengurangi efek pulau panas perkotaan, dan meningkatkan estetika kota. Dengan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mencapai 21% dari total wilayah kota—di atas rata-rata nasional—Surabaya berhasil menunjukkan komitmen kuat terhadap pembangunan berkelanjutan. Salah satu aspek unik dari strategi Surabaya adalah integrasi antara ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru, yang tidak hanya berfokus pada penghijauan tetapi juga pada pengelolaan sumber daya air. Sungai Kalimas, yang merupakan ikon kota, telah direvitalisasi menjadi ruang terbuka biru multifungsi. Revitalisasi ini melibatkan pembersihan sungai dari limbah domestik dan industri, penanaman vegetasi yang sesuai dengan ekosistem lokal, serta pembangunan jalur pejalan kaki dan area rekreasi di sepanjang bantaran sungai. Proyek ini tidak hanya meningkatkan estetika Sungai Kalimas, tetapi juga mengembalikan fungsinya sebagai pengendali banjir dan penyerap karbon alami. Berdasarkan Peta Evaluasi Tata Ruang Kota Surabaya Tahun 2022 dan Peta RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, dapat dilihat bahwa Surabaya memiliki komitmen kuat dalam mempertahankan dan mengintegrasikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Ruang Terbuka Biru (RTB) ke dalam tata kelola kota. RTH, yang ditandai dengan penataan area hijau dalam peta, mencakup taman kota, jalur hijau, hutan kota, dan vegetasi alami yang tersebar di berbagai zona. Kawasan ini memiliki fungsi penting dalam menciptakan keseimbangan ekosistem, mengurangi polusi udara, mengatur suhu kota, serta memberikan ruang rekreasi dan sosial bagi masyarakat. Berdasarkan RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, keberadaan RTH direncanakan mencapai 30% dari total wilayah kota untuk memenuhi standar nasional, meskipun hingga 2022 luasnya baru mencapai 21%. Hal ini menunjukkan adanya upaya yang terus berlanjut untuk memperluas dan meningkatkan kualitas RTH di kota ini. Selain itu, Ruang Terbuka Biru (RTB), yang diwakili oleh badan air seperti sungai, waduk, dan kawasan pesisir, juga menjadi elemen penting dalam tata ruang Surabaya. Sungai Kalimas, yang merupakan ikon sejarah kota, telah direvitalisasi menjadi kawasan multifungsi yang tidak hanya berfungsi sebagai pengelola sumber daya air tetapi juga sebagai ruang rekreasi, estetika kota, dan penyerap karbon alami. Proyek ini melibatkan penanaman vegetasi di sepanjang bantaran sungai, pembersihan limbah domestik dan industri, serta pembangunan jalur pedestrian dan fasilitas publik. Selain Sungai Kalimas, kawasan pesisir juga mendapat perhatian khusus dalam RTRW untuk menjaga keberlanjutan ekosistem maritim dan mencegah degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia. Dalam konteks RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, integrasi RTH dan RTB menjadi bagian dari strategi besar untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. RTH diarahkan untuk menyebar di seluruh wilayah, termasuk di kawasan permukiman, perdagangan, dan industri, guna menciptakan ruang hijau yang merata. Kawasan industri diwajibkan menyediakan jalur hijau untuk memitigasi dampak polusi, sementara permukiman direncanakan memiliki taman lingkungan sebagai sarana rekreasi warga. Di sisi lain, RTB, seperti sungai dan waduk, diintegrasikan ke dalam sistem drainase kota untuk mengurangi risiko banjir dan sebagai cadangan air bersih. Keberhasilan ini didukung oleh kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta. Pemerintah Kota Surabaya, melalui kebijakan tata ruang, telah mengalokasikan anggaran dan sumber daya untuk pengelolaan RTH dan RTB. Komunitas lokal aktif berpartisipasi dalam program penghijauan kota, seperti penanaman pohon dan perawatan taman. Sementara itu, sektor swasta mendukung melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berkontribusi pada pembangunan taman kota, revitalisasi sungai, dan konservasi lingkungan. Secara keseluruhan, tata ruang Kota Surabaya yang mengintegrasikan RTH dan RTB mencerminkan upaya nyata dalam menghadapi tantangan urbanisasi dan perubahan iklim . Dengan memanfaatkan potensi alam dan teknologi, serta memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan, Surabaya mampu menjadi model bagi kota-kota lain di Indonesia dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih sehat, nyaman, dan berkelanjutan. Integrasi ini juga menjadi fondasi penting untuk mendukung kualitas hidup warganya sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang. Ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) memiliki peran strategis dalam pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. RTH seperti taman, hutan kota, dan jalur hijau mampu menyerap karbon dioksida (CO2) dan memberikan oksigen yang dibutuhkan untuk kehidupan. Sementara itu, RTB seperti sungai, danau, dan kawasan pesisir berperan penting dalam mengatur suhu lokal, menyerap air hujan, serta mengurangi risiko banjir. Kombinasi keduanya menciptakan ekosistem yang lebih seimbang dan berkontribusi signifikan dalam mereduksi gas rumah kaca, yang merupakan penyebab utama perubahan iklim. Optimalisasi peran RTH dan RTB tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga pada kualitas hidup masyarakat. Kehadiran ruang terbuka yang terintegrasi memberikan manfaat psikologis, seperti mengurangi stres, meningkatkan kesehatan mental, dan menciptakan ruang sosial bagi interaksi masyarakat. Selain itu, kawasan ini juga menjadi sumber keanekaragaman hayati yang mendukung kelestarian flora dan fauna perkotaan. Dengan demikian, RTH dan RTB tidak hanya berfungsi sebagai elemen fisik, tetapi juga sebagai aset sosial dan budaya yang memperkaya kehidupan kota. Namun, untuk mewujudkan potensi penuh dari RTH dan RTB, diperlukan dukungan kebijakan yang kuat. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan berbasis bukti dalam perencanaan tata ruang, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya, penerapan insentif untuk pengembangan kawasan hijau, regulasi yang mendukung konservasi air, serta penyediaan anggaran khusus untuk pengelolaan dan pemeliharaan ruang terbuka. Tanpa kebijakan yang jelas dan komprehensif, RTH dan RTB berisiko terancam oleh pembangunan yang tidak berkelanjutan. Salah satu contoh konkret langkah nyata sederhana yang dapat mendukung keberlanjutan RTH dan RTB adalah pengembangan Taman Lingkungan . Taman Lingkungan bukan hanya sekadar ruang hijau, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pusat aktivitas masyarakat yang mendorong interaksi sosial, edukasi, dan pelestarian lingkungan. Dalam implementasinya, Taman Lingkungan dapat dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat setempat, seperti menyediakan area bermain anak, fasilitas olahraga, jalur pejalan kaki yang ramah disabilitas, hingga zona khusus untuk kegiatan komunitas. Selain itu, Taman Lingkungan juga dapat berfungsi sebagai area konservasi lokal dengan menanam spesies tumbuhan endemik dan menyediakan habitat bagi fauna urban. Untuk memastikan keberlanjutannya, pemerintah dapat melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengelolaan taman ini, menciptakan rasa kepemilikan yang lebih kuat. Dukungan regulasi juga diperlukan, misalnya melalui kebijakan zonasi yang mewajibkan setiap kawasan permukiman untuk memiliki Taman Lingkungan dengan standar tertentu. Dengan pendekatan yang terintegrasi dan berbasis kebutuhan, Taman Lingkungan tidak hanya berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.Partisipasi masyarakat juga menjadi kunci dalam pengelolaan RTH dan RTB. Keterlibatan warga dalam menjaga kebersihan, melestarikan keanekaragaman hayati, serta mengawasi penggunaan lahan dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap ruang terbuka tersebut. Kampanye edukasi dan program komunitas, seperti gerakan penghijauan dan adopsi sungai, dapat menjadi sarana efektif untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengelola ruang terbuka secara berkelanjutan. Di sisi lain, investasi berkelanjutan dalam pengembangan RTH dan RTB harus menjadi prioritas. Kolaborasi dengan sektor swasta melalui kemitraan publik-swasta (public-private partnership) dapat mendukung pendanaan proyek-proyek hijau yang memiliki dampak jangka panjang. Selain itu, pengintegrasian teknologi, seperti sistem pemantauan kualitas udara atau infrastruktur berkelanjutan, juga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan ruang terbuka. Dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, RTH dan RTB dapat menjadi elemen vital dalam menciptakan kota yang tangguh terhadap perubahan iklim. Lebih dari itu, ruang terbuka ini berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, menciptakan lingkungan yang lebih sehat, dan mendukung keberlanjutan kota dalam jangka panjang. Implementasi strategi ini akan menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kota yang ramah lingkungan, nyaman, dan berdaya saing global. Korespondensi Penulis Muhammad Firdaus/firdausdanoe@gmail.com Literatur Benedict, M. A., & McMahon, E. T. (2006). Green Infrastructure: Linking Landscapes and Communities . Island Press. Bolund, P., & Hunhammar, S. (1999). Ecosystem services in urban areas. Ecological Economics, 29 (2), 293-301. Dinas Kehutanan Jakarta. (2021). Laporan Tahunan: Kapasitas Penyerapan Karbon RTH di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dinas Lingkungan Hidup Surabaya. (2023). Revitalisasi Sungai Kalimas dan Implementasi Ruang Terbuka Hijau di Surabaya . Pemerintah Kota Surabaya. Gill, S. E., Handley, J. F., Ennos, A. R., & Pauleit, S. (2007). Adapting cities for climate change: The role of the green infrastructure. Built Environment, 33 (1), 115-133. IPCC. (2022). Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability . Intergovernmental Panel on Climate Change. Nowak, D. J., Crane, D. E., & Stevens, J. C. (2013). Carbon storage and sequestration by urban trees in the USA. Environmental Pollution, 116 (3), 381-389. Pemerintah Kota Surabaya. (2024). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya. Retrieved from https://www.surabaya.go.id PT Semen Indonesia. (2024). Revitalisasi Ruang Terbuka Hijau: Studi Kasus Kolaborasi dengan Pemerintah Kota Surabaya. Universitas Gadjah Mada. (2020). Studi Pengelolaan Terpadu RTH dan RTB untuk Mitigasi Perubahan Iklim di Surabaya. Fakultas Geografi UGM. Walhi. (2022). Laporan Kondisi Ruang Terbuka di Indonesia: Tantangan dan Solusi . Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Wetlands International. (2022). Tropical Wetlands and Climate Change Mitigation . Wetlands International.

More
Penanganan Kebencanaan dari Segi Sistem Informasi Manajemen Terpadu

Penanganan Kebencanaan dari Segi Sistem Informasi Manajemen Terpadu

Indonesia sebagai negara yang berada di lintasan cincin api menjadikan sebagai suatu negara kawasan yang rawan terjadi bencana alam, seperti bencana alam letusan gunung berapi, erupsi, gempat bumi, dan tsunami. Pada 28 September 2018, gempa bumi berkekuatan 7,4 SR dengan kedalaman 10 km terjadi dan berpusat di utara Kota Palu yang disertai dengan tsunami dan likuifaksi  terjadi di Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Selain menelan cukup banyak korban jiwa, luka berat dan kehilangan tempat tinggal, bencana tersebut juga telah melumpuhkan aktivitas masyarakat dengan rusaknya infrastruktur penunjang perekonomian dan sosial. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memprediksi total kerusakan lebih dari 18 Triliun rupiah termasuk rumah, fasilitas umum, jalan dan jembatan, sistem pengairan, air minum dan air limbah, serta jaringan listrik dan komunikasi. Dalam rangka pemulihan pasca bencana gempa bumi dan likuifaksi  di Sulawesi Tengah, Pemerintah berkomitmen melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2018, untuk melaksanakan percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana dengan melibatkan berbagai Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah di wilayah terdampak bencana. Kementerian PUPR sebagai salah satu penerima tugas, memberikan dukungan kegiatan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi pasca bencana di Provinsi Sulawesi Tengah melalui program antara lain Contigency Emergency Response Component (CERC) dengan Pinjaman Luar Negeri (PLN) World Bank . Dalam rangka mendukung keberhasilan Program CERC dan untuk memudahkan dalam melakukan monitoring bulanan proyek secara rutin, dibuat sistem informasi manajemen terpadu yang menampung capaian progres pekerjaan fisik di lapangan. Dalam rangka menampung aduan masyarakat terkait pelaksanaan proyek agar dapat berjalan dengan baik sesuai harapan dari warga terdampak, maka dibuat sistem informasi ‘’Pengelolaan Informasi dan Masalah (PIM)’’ yang berfungsi sebagai cara yang perlu dilakukan pelaku program dalam menanggapi informasi, aspirasi, dan laporan dari masyarakat sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang diatur dalam Prosedur Operasional Standar terhadap Pengelolaan Informasi dan Masalah (POS PIM). Dalam hal ini, PIM menjadi salah satu bentuk pemantauan program yang bersifat pencegahan atau preventif dan penanganan dengan berprinsip pada kemudahan, komprehensif, cepat, tepat, dan tanggap, anonym, preventif, transparan, objektif dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel), serta korektif dan membangun.   Pelaksanaan Pengelolaan Informasi dan Masalah (PIM) memiliki beberapa dasar antara lain: Amanah UUD 1945 Pasal 28E (3): Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat; Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik pada Pasal 2 Ayat 1: Pengadu mempunyai hak untuk menyampaikan pengaduan atas pelayanan pelaksana yang tidak sesuai dengan standar pelayanan atau pengabaian kewajiban dan atau pelanggaran larangan oleh penyelenggara.   Sejak periode tahun 2021 hingga 2022, PIM CERC SITABA mendapatkan penilaian “Satisfactory’’  dari World Bank mengacu pada kasus aduan telah terselesaikan hingga 100%. Hal ini menjadikan terdapat beberapa ‘’best practice’’  untuk PIM CERC SITABA sebagai konsep ‘’ smart city’’ dalam rangka mendukung ‘’build back better’’  Pasca Bencana Provinsi Sulawesi Tengah. Adapun ‘’best practice’’  PIM CERC SITABA dapat dijelaskan ke dalam beberapa poin penting sebagai berikut: PIM CERC SITABA dalam rangka mendukung konsep ‘ ’smart city’’  di Provinsi Sulawesi Tengah. Hal ini ditandai dengan para warga terdampak bencana (WTB) yang ingin membuat pengaduan terkait permasalahan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Sulawesi Tengah, mereka dapat dengan mudah membuat pengaduan melalui berbagai kanal pengaduan PIM CERC SITABA, yaitu melalui SMS, Whatsapp, Email, Online  SITABA, dan membuat pengaduan langsung kepada Tim Fasilitator Lapangan. Dalam hal ini, Tim Fasilitator Lapangan yang berada di bawah koordinator OSP Bridging/OSP CSRRP telah melakukan berbagai kegiatan sosialisasi secara rutin untuk membantu para WTB yang ingin membuat pengaduan melalui berbagai kanal pengaduan yang telah tersedia. Dengan terekamnya aduan para WTB ke dalam sistem PIM CERC SITABA, maka memudahkan dalam melakukan monitoring untuk menyelesaikan kasus aduan. Selain itu, para WTB yang membuat pengaduan akan mendapatkan notifikasi pemberitahuan secara berkala melalui email dan whatsapp, sehingga para WTB tersebut dapat memantau secara langsung mengenai progres aduan yang telah mereka sampaikan ke dalam sistem aduan; PIM CERC SITABA membantu dalam memudahkan para WTB dalam membuat aduan, seperti pertanyaan terkait permintaan informasi untuk melengkapi prosedur kelengkapan administrasi yang perlu dilakukan untuk pendataan dalam tahapan untuk memperoleh Huntap PUPR; PIM CERC SITABA membantu dalam memantau para WTB penerima huntap yang mengadu mengenai permasalahan huntap yang mereka huni yang masih terdapat beberapa permasalahan teknis, seperti pemasangan jendela, pintu, kran air, bohlam lampu, dan perataan tanah di bagian halaman huntap; PIM CERC SITABA membantu para WTB untuk mendapatkan informasi terkait progres huntap yang terbangun dengan informasi yang relevan. Hal ini memberikan dampak positif kepada para WTB untuk mencegah aksi demonstrasi para WTB akibat informasi simpang siur mengenai progres huntap yang mereka terima dinilai kurang memuaskan, sehingga para WTB memutuskan untuk melakukan aksi unjuk rasa kepada pemerintah daerah setempat sebagai bentuk kekecewaan mereka; PIM CERC SITABA membantu dalam menyelesaikan kasus aduan para pekerja sekolah yang ditelantarkan  oleh Tim Kontraktor. Pada bulan November 2021, terdapat 1 kasus aduan terkait terdapat 9 orang para pekerja sekolah yang terlantar di Kota Palu. Melalui aduan yang masuk yang disampaikan melalui whatsapp , kasus aduan ini dapat ditangani dengan segera oleh Tim Konsultan OSP Bridging CERC dan para pekerja telah dipulangkan ke daerah asal masing-masing sehingga nasib para pekerja dapat terselamatkan; PIM CERC SITABA mendukung dalam rangka ‘’build back better’’  Pasca Bencana Provinsi Sulawesi Tengah. Tabel Penilaian GRM CERC berdasarkan hasil Misi World Bank, Februari 2022 KEY ISSUES FOLLOW-UP ACTIONS Grievance Redress Mechanism (GRM). The Complaint Handling System (CHS) in SITABA has continuously improved; The system has recorded 292 complaints related to NSUP-CERC during January 2020 – January 2022, 100 percent of which have been followed up or resolved; Most complaints are related to issues on houses and facilities in the huntap including construction progress (50%), information disclosure (20%), general aspiration (10%), and only one case relates to land claim. Ensure maintain good performance of GRM Pengaduan yang masuk ke dalam PIM CERC SITABA akan terekam ke dalam ringkasan eksekutif PIM sebagai berikut: Ringkasan Eksekutif PIM CERC SITABA Sumber: SIM SITABA, 2022 Ringkasan Eksekutif PIM CERC SITABA Sumber: SIM SITABA, 2022 Korespondensi Penulis Isti Anisya/isti.anisy@gmail.com

More
Urgensi ‘Kesehatan’ dalam Perencanaan Kota menuju Kota Layak Huni : Sektor Perumahan dan Transportasi

Urgensi ‘Kesehatan’ dalam Perencanaan Kota menuju Kota Layak Huni : Sektor Perumahan dan Transportasi

Sejak awal 1990-an, konsep ‘ Social Determinant of Health ’ diperkenalkan oleh Dahlgren dan Whitehead (1991) untuk menggambarkan bagaimana faktor sosial menjadi penentu kesehatan seseorang, yang dimulai sejak lahir, tumbuh, hidup, bekerja, dan menua, serta ditentukan oleh sistem yang dibangun untuk mengatasi penyakit . World Health Organization (WHO) memperkuat konsep tersebut dan secara formal mendefinisikan kesehatan sebagai kondisi kesejahteraan fisik, mental, dan sosial dan tidak terbatas pada tidak adanya penyakit atau disabilitas tertentu (WHO, 2008). Merujuk pada kedua definisi tersebut, maka kondisi kesehatan seseorang dapat sangat dipengaruhi oleh aspek sosial, ekonomi, politik, lingkungan alami dan terbangun dimana masyarakat tinggal.   Tantangan kesehatan global pada abad ke-21, seperti non-communicable diseases (NCDs), kecelakaan lalu lintas, obesitas, yang dikombinasikan dengan pertumbuhan populasi, urbanisasi yang pesat, dan perubahan iklim semakin mendesak kebutuhan untuk aksi pencegahan daripada mengobati. Pengambilan keputusan tentang pembangunan perumahan, penyediaan infrastruktur air, energi, transportasi, layanan publik, dan kesehatan akan sangat berdampak pada kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan, terutama bagi kawasan perkotaan yang diproyeksikan akan memiliki lebih banyak penduduk lansia. Merujuk pada rekomendasi WHO, aspek kesehatan dan kesetaraan dalam mengakses kesehatan diharapkan dapat masuk sebagai pertimbangan yang krusial dalam perencanaan dan tata kelola perkotaan. WHO juga menggarisbawahi kebutuhan perencanaan kota yang terintegrasi antar sektor dan antar level pemerintahan, khususnya pada sektor perumahan dan transportasi . Perencanaan perumahan dan permukiman dapat berdampak pada peningkatan maupun penurunan kesehatan publik. Studi kasus kota-kota di Amerika menunjukkan keterkaitan antara perencanaan ruang dan infrastruktur telah berdampak pada kesehatan masyarakatnya. Pada abad ke-19, penataan ruang untuk memisahkan permukiman dan industri, serta perbaikan fasilitas sanitasi menjadi upaya untuk menanggulangi wabah penyakit menular di kota-kota dengan dominasi aktivitas industri (Corburn, 2007). Penelitian terbaru oleh Mansour et al. (2022) mengklasifikasikan tiga elemen dasar perumahan yang sehat, yaitu keterjangkauan (affordability), keamanan (security), dan keserasian (suitability). Ketiganya dirinci ke dalam beberapa aspek yang dapat menjadi referensi bagi perencanaan perumahan di masa depan. Pertama, dalam hal keterjangkauan yang meliputi keterjangkauan harga rumah dan biaya untuk utilitas dasar (listrik, air). Kedua, aspek keamanan mencakup kepastian hak dan kepemilikan, terhindar dari diskriminasi, dan penggusuran. Terakhir, dalam hal keserasian meliputi kondisi fisik rumah, aspek keruangan, akses universal, berketahanan iklim, dan mengedepankan desain ramah lingkungan dan berkelanjutan.   Selanjutnya, untuk sektor transportasi, desain kota yang ramah pejalan kaki dan pengguna sepeda akan menghasilkan beberapa dampak positif bagi beberapa sektor, yaitu kesehatan, manajemen lalu lintas, lingkungan, dan ekonomi. Dalam hal kesehatan, mempromosikan perjalanan aktif akan meningkatkan aktivitas fisik yang akhirnya dapat menurunkan risiko obesitas, penyakit kardiovaskular, hingga diabetes. Desain kota yang mendukung perjalanan aktif (jalan kaki dan bersepeda) juga dapat mendorong terciptanya komunitas masyarakat dan mengurangi potensi isolasi sosial. Salah satu komitmen untuk meningkatkan praktik perjalanan aktif dapat dilihat dari Amerika. Pemerintah pada tahun 2003 mengeluarkan regulasi khusus untuk memastikan kesetaraan hak pejalan kaki dan pengguna sepeda, serta mengalokasikan dana mencapai 350 juta dollar per tahun selama enam tahun untuk mendukung transportasi aktif melalui penyediaan jalur yang aman untuk ke sekolah, jalur sepeda, dan insentif bagi masyarakat untuk meningkatkan aktivitas fisik (Larkin, 2003). Perwujudan rencana pembangunan kota dan infrastruktur yang terintegrasi dengan baik sangat dibutuhkan untuk mencapai kota yang sehat dan layak huni . Studi kasus yang dilakukan oleh Lowe et al (2013) di Kota Melbourne menyimpulkan bahwa masyarakat kota yang sehat dan perwujudan kota layak huni saling terkait erat. Aspek-aspek dalam social determinants of health  saling bertampalan dengan komponen kota layak huni, dengan lingkungan yang berkelanjutan mendasari keterkaitan antara keduanya. Selain aspek perumahan dan transportasi, terdapat sembilan aspek lainnya yang saling bertampalan antara kesehatan dan perencanaan kota, yang meliputi pendidikan, pekerjaan dan pendapatan, ruang terbuka publik, keamanan dan kriminalitas, kohesi sosial, hiburan dan budaya, ketersediaan makanan, dan lingkungan alami, dapat menjadi referensi bagi perencana kota. Terakhir, dukungan regulasi, tata kelola, dan kerangka kerja teknis bagi aspek-aspek tersebut yang disesuaikan dengan konteks lokal dan kondisi masyarakat setempat juga menjadi faktor kritikal untuk memastikan tercapainya kota yang sehat dan layak huni. Korespondensi Penulis Lilik Andriyani / andriyani.lilik@infraindo.org

More
Percepatan Penyediaan Infrastruktur untuk Mendukung Smart Village

Percepatan Penyediaan Infrastruktur untuk Mendukung Smart Village

Pengembangan konsep smart village   atau desa cerdas telah menjadi salah satu upaya yang didorong oleh pemerintah Indonesia untuk mempercepat pembangunan desa, mengurangi kesenjangan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Konsep ini tidak hanya mencakup penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk pelayanan masyarakat, tetapi juga mencakup infrastruktur fisik, digital, dan regulasi yang mendukung. Namun, isu-isu infrastruktur masih menjadi kendala dalam mewujudkan smart village  di berbagai daerah, terutama di luar Pulau Jawa.   Pulau Jawa sebagai pusat ekonomi dan pembangunan memiliki akses infrastruktur yang lebih maju dibandingkan daerah lain di Indonesia. Infrastruktur digital di Jawa lebih memadai dengan akses internet yang relatif cepat dan merata serta layanan TIK yang lebih siap digunakan untuk mendukung smart village . Kondisi ini berbeda dengan daerah di luar Pulau Jawa, yang menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan smart village . Kesenjangan digital antara Jawa dan luar Jawa disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur dasar, seperti jaringan internet dan listrik yang belum menjangkau seluruh desa yang ada di Indonesia   Di daerah luar Jawa, terutama di wilayah yang jarang penduduknya dan memiliki jarak antar permukiman yang luas, infrastruktur digital sangat dibutuhkan untuk mengatasi hambatan tersebut. Tantangan geografis membuat distribusi jaringan internet dan listrik menjadi tidak mudah sehingga akses ke teknologi informasi dan pelayanan digital masih terbatas. Untuk memanfaatkan TIK secara efektif guna meningkatkan pelayanan masyarakat dan mendukung perkembangan ekonomi desa, diperlukan upaya peningkatan infrastruktur digital, seperti perluasan jaringan internet, perluasan jangkauan aliran listrik, penguatan kapasitas teknologi, dan pembangunan pusat-pusat pelayanan terpadu.   Wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) di Indonesia merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan infrastruktur digital dan pelayanan publik. Pemerintah telah berupaya meningkatkan konektivitas di wilayah 3T melalui berbagai program seperti pembangunan menara BTS ( Base Transceiver Station ), perluasan jaringan serat optik, dan pengembangan Palapa Ring yang menghubungkan daerah-daerah terpencil dengan jaringan internet berkecepatan tinggi. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menargetkan pembangunan infrastruktur digital melalui BAKTI dalam bentuk BTS 4G di 5.618 titik serta Palapa Ring sepanjang 446.712 km yang membentang di seluruh Indonesia dapat dioperasikan sepenuhnya pada tahun 2024. Kendati demikian, realisasi pembangunan infrastruktur digital di wilayah 3T secara umum masih menemui berbagai kendala, seperti medan geografis yang sulit, biaya yang tinggi, dan keterbatasan sumber daya manusia yang mampu mengoperasikan teknologi tersebut. Infrastruktur yang mendukung smart village tidak hanya terbatas pada fisik, seperti jaringan internet dan aliran listrik, tetapi juga mencakup regulasi dan kebijakan yang memungkinkan pemanfaatan teknologi secara optimal. Salah satu bentuk infrastruktur non-fisik adalah adanya website  pelayanan terintegrasi yang memudahkan masyarakat mengakses berbagai layanan pemerintah secara daring. Regulasi yang mendukung implementasi layanan digital juga menjadi kunci agar pelayanan yang ada dapat terus diperbarui dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat desa.   Salah satu contoh praktik baik dalam penerapan smart village  di Indonesia adalah program " Smart Kampung " di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Program ini telah berhasil mengintegrasikan teknologi digital dalam pelayanan publik desa dengan menyediakan website pelayanan terintegrasi yang memungkinkan masyarakat mengakses layanan kependudukan, administrasi, perizinan, kesehatan, pendidikan, lingkungan, hingga informasi kepariwisataan. Inovasi ini tidak hanya memudahkan warga desa dalam mendapatkan layanan, tetapi juga meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintah desa dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keberhasilan program Banyuwangi Smart Kampung  juga didukung oleh adanya regulasi yang mengatur pelaksanaan pelayanan berbasis digital sehingga memberikan landasan hukum bagi pemerintah daerah dan desa untuk menerapkan TIK dalam pelayanan publik. Banyuwangi Smart Kampung  juga telah menjadi city branding  bagi kabupaten tersebut yang tidak hanya menarik perhatian wisatawan tetapi juga meningkatkan daya tarik investasi karena tersedianya infrastruktur digital yang baik.   Pemenuhan infrastruktur untuk smart village  memiliki kaitan erat dengan upaya pencapaian Sustainable Development Goals  (SDGs). Pembangunan infrastruktur digital di desa-desa dapat membantu mencapai tujuan ke-9 SDGs, yaitu "Industri, Inovasi, dan Infrastruktur," yang mendorong adanya infrastruktur yang tahan lama, inovasi, dan akses teknologi yang adil.   Selain itu, pengembangan smart village  juga mendukung pencapaian SDGs tujuan ke-11, "Kota dan Komunitas Berkelanjutan," dengan menyediakan infrastruktur dan layanan yang meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa serta mengurangi kesenjangan antara kota dan desa. Dengan pelayanan publik yang lebih baik dan akses informasi yang mudah, desa-desa dapat menjadi lebih mandiri dan berkembang secara berkelanjutan.   Dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi dan dukungan pemerintah, peluang desa-desa di Indonesia untuk menerapkan smart village  semakin terbuka lebar. Setiap desa memiliki potensi untuk mengadopsi konsep smart village  sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan lokalnya. Untuk desa-desa di luar Jawa, pengembangan infrastruktur digital menjadi kunci utama dalam mendorong penerapan smart village . Investasi dalam pembangunan menara telekomunikasi, perluasan jaringan serat optik, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam bidang teknologi dapat membantu desa-desa tersebut mengejar ketertinggalan dalam pemanfaatan TIK sehingga penerapan smart village di tingkat lokal desa mampu mendukung implementasi smart city  secara menyeluruh.   Selain infrastruktur fisik, desa-desa juga perlu didorong untuk mengembangkan regulasi lokal yang mendukung penerapan smart village . Misalnya, kebijakan terkait pemanfaatan anggaran desa untuk pengembangan infrastruktur digital dan pelatihan teknologi bagi masyarakat. Desa juga dapat menjalin kerja sama dengan sektor swasta, universitas, dan lembaga non-pemerintah untuk mempercepat implementasi smart village .   Meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi, peluang untuk mengembangkan smart village  di seluruh Indonesia tetap terbuka, terutama dengan dukungan pemerintah dan keterlibatan berbagai pihak dalam mempercepat pembangunan infrastruktur digital. Dengan pendekatan yang tepat, smart village  dapat berkontribusi signifikan terhadap pencapaian SDGs dan membawa manfaat nyata bagi masyarakat desa di seluruh Indonesia.   Korespondensi Penulis Intan Pandini/intanpandiniip@gmail.com

More
Pengembangan Transportasi dan Wilayah di Pulau Jawa

Pengembangan Transportasi dan Wilayah di Pulau Jawa

Pada 2045, Bank Dunia memproyeksikan urbanisasi di Indonesia akan mencapai 220 juta penduduk, setara dengan 70% populasi. Jakarta sebagai kota terbesar mengalami lonjakan penduduk signifikan, namun dengan kekurangan 1,2 juta unit hunian (backlog). Kondisi ini mendorong munculnya permukiman di kota-kota satelit sekitar Jakarta, membentuk kawasan Metropolitan Jakarta yang berfungsi mendukung kegiatan ekonomi dan administrasi ibu kota. Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol dan kereta cepat meningkatkan interaksi antar wilayah mega-urban, misalnya Jakarta-Bandung dan Surabaya-Malang, yang mendukung proyek nasional di koridor Pulau Jawa, seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kota Transit. Meskipun membawa pertumbuhan pesat, interaksi antar-kawasan ini juga menimbulkan isu seperti alih fungsi lahan, ketahanan pangan, ketimpangan wilayah, dan koordinasi lintas tingkat pemerintahan. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur di Pulau Jawa perlu dikendalikan agar dampak negatifnya dapat diminimalisir. Konektivitas dan Urbanisasi Menurut Kamus Digital Pengembangan Wilayah dari Kementerian PUPR, konektivitas adalah kondisi yang memungkinkan terhubungnya beberapa pusat pelayanan untuk mendorong pertumbuhan wilayah. Dalam pembangunan Indonesia, konektivitas merupakan dasar penting yang mendukung pembangunan infrastruktur berkelanjutan, terutama pada transportasi seperti jalan, kereta api, pelabuhan, dan bandara. Infrastruktur ini dikembangkan melalui program pemerintah dan investasi swasta untuk memperkuat keterkaitan sosial-ekonomi dan akses layanan dasar bagi seluruh penduduk. Pulau Jawa, sebagai pusat ekonomi, memiliki infrastruktur konektivitas signifikan, seperti jaringan jalan raya, jalan tol, dan rel kereta yang menghubungkan berbagai kota penting. Selain itu, pelabuhan dan bandara mendukung interaksi dengan wilayah luar Jawa. Meski demikian, terdapat tantangan seperti keterjangkauan dan kapasitas infrastruktur yang masih perlu ditangani. Menurut Harahap (2013), urbanisasi adalah proses peralihan dari desa ke kota, mencakup wilayah dan masyarakat yang dipengaruhi oleh aspek fisik, sosial, ekonomi, budaya, dan psikologis. Di Indonesia, urbanisasi dimulai di Jakarta sebagai kota utama dan telah menyebabkan kepadatan populasi tinggi di kota-kota besar di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Masyarakat cenderung berorientasi pada kehidupan perkotaan yang dianggap lebih baik daripada pedesaan. Urbanisasi ini juga terkait erat dengan konektivitas infrastruktur, seperti jalan nasional dan rel kereta, yang mendorong pergerakan penduduk ke wilayah perkotaan. Infrastruktur penghubung tersebut menjadi salah satu faktor utama yang mempercepat proses urbanisasi di Pulau Jawa. Dinamika Konektivitas dan Urbanisasi Pulau Jawa Keterhubungan antara konektivitas dan urbanisasi di Pulau Jawa berdampak besar pada pertumbuhan kota dan distribusi penduduk. Sebagai pusat industri dan jasa nasional, pengembangan infrastruktur di Pulau Jawa cenderung berbentuk koridor, seperti proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang memperkuat interaksi antar kota besar. Konektivitas ini meningkatkan akses ke pasar, sumber daya, dan peluang ekonomi lokal, serta memacu pertumbuhan di kota-kota transit di sepanjang koridor. Namun, urbanisasi yang cepat memunculkan tantangan seperti kepadatan yang berlebihan, yang membatasi kapasitas kota dalam menyediakan layanan dasar. Keterbatasan ini telah memicu terbentuknya kota-kota satelit di sekitar metropolitan besar, seperti Jakarta dan Bandung, untuk mengakomodasi populasi pekerja yang tidak lagi tertampung di kota utama. Hal ini juga membawa masalah tambahan, seperti kemacetan, polusi, dan keterbatasan infrastruktur layanan publik, yang memperberat tantangan pembangunan di Pulau Jawa. Kereta Cepat Jakarta – Bandung Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang dijalankan oleh PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) juga memiliki dampak signifikan terhadap pola urbanisasi di Pulau Jawa, terutama dalam mendorong pertumbuhan wilayah sepanjang koridor kereta cepat. Infrastruktur ini memungkinkan konektivitas cepat antara Jakarta dan Bandung, mengurangi waktu perjalanan secara drastis, yang tidak hanya memfasilitasi mobilitas tetapi juga mendorong urbanisasi di kota-kota transit serta sekitarnya. Kawasan seperti Karawang dan Walini diproyeksikan menjadi pusat aktivitas baru, menarik penduduk serta investasi di sektor perumahan, komersial, dan industri. Selain itu, kereta cepat ini memicu perkembangan kota-kota satelit, mempercepat distribusi populasi dari pusat kota Jakarta ke daerah sekitarnya, sehingga mengurangi tekanan di Jakarta yang sudah sangat padat. Pengembangan kota-kota transit di sepanjang jalur kereta cepat juga diharapkan mengurangi kemacetan dan mendukung pemerataan ekonomi, menciptakan wilayah yang lebih terhubung secara sosial dan ekonomi di sepanjang Pulau Jawa. Dalam konteks lebih luas, proyek KCIC mendukung strategi pemerintah untuk memperluas wilayah pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada Jakarta sebagai pusat utama, sehingga selaras dengan rencana pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan pemindahan ibu kota. Dengan demikian, kereta cepat Jakarta-Bandung tidak hanya mendorong mobilitas tetapi juga menciptakan dampak positif pada tata ruang, distribusi penduduk, dan pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa. Pemerataan Pembangunan Pengembangan Pulau Jawa memiliki potensi besar dengan konektivitas kuat dari barat hingga timur, namun tantangan urbanisasi dan pembangunan infrastruktur memerlukan strategi khusus. Pemerintah telah menetapkan masterplan yang mencakup peningkatan infrastruktur di Koridor Ekonomi Jawa, seperti pengembangan Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Tanjung Priok, dan jaringan transportasi massal termasuk MRT serta jalan tol untuk memperkuat keterhubungan antar kota dan provinsi. Selain itu, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung diharapkan dapat diperluas ke wilayah timur. Untuk keberlanjutan, perencanaan tata ruang terintegrasi menjadi prioritas, dengan zonasi perkotaan, pedesaan, dan area hijau yang seimbang. Koordinasi antara pemerintah daerah di Pulau Jawa juga menjadi kunci dalam mengelola pembangunan bersama secara efektif. Pemerintah telah memperkuat ekonomi luar Jawa melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang telah terbentuk 21 KEK (Sei Mangkei, Tanjung Lesung, Palu, Mandalika, Galang Batang, Arun Lhokseumawe, Tanjung Kelayang, Bitung dan lainnya) pada tahun 2021. Selain itu, pemerintah juga melakukan proyek pemindahan ibu kota ke IKN sebagai langkah untuk mengurangi kepadatan di Jakarta dan mendorong pembangunan yang lebih merata. Pengembangan infrastruktur dan peningkatan konektivitas di Pulau Jawa berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi yang lebih efisien. Proyek-proyek seperti jaringan jalan tol, kereta cepat, MRT, dan pelabuhan memperkuat hubungan antar kota dan antar provinsi, meningkatkan mobilitas dan mempercepat distribusi ekonomi di wilayah tersebut. Namun, pertumbuhan ini juga memunculkan tantangan, terutama terkait urbanisasi tinggi di kota besar yang menyebabkan kepadatan penduduk dan keterbatasan layanan dasar. Untuk menjaga keberlanjutan, pembangunan harus disertai dengan perencanaan tata ruang yang terintegrasi, serta koordinasi yang baik antara pemerintah daerah. Selain itu, pemerintah telah berupaya meredam kepadatan dan ketergantungan pembangunan di Jawa melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan pemindahan ibu kota ke Ibu Kota Nusantara (IKN), diharapkan menciptakan pemerataan pembangunan dan mengurangi tekanan di Pulau Jawa. Langkah-langkah ini diharapkan mampu mengatasi isu ‘Jawa Sentris’ dan mendorong pertumbuhan yang lebih merata di seluruh Indonesia. Korespondensi Penulis Andhika Dwipayana/ dwipayanaandhika@gmail.com

More
Transportasi Berkelanjutan sebagai Solusi Kesehatan Mental di Era Urbanisasi

Transportasi Berkelanjutan sebagai Solusi Kesehatan Mental di Era Urbanisasi

Pendahuluan Urbanisasi yang pesat di kota-kota besar di seluruh dunia, termasuk Indonesia, telah menimbulkan berbagai tantangan, terutama terkait lingkungan dan kesehatan. Peningkatan jumlah kendaraan pribadi menjadi salah satu pemicu utama masalah ini, yang berdampak pada memburuknya kualitas udara, kebisingan, dan penurunan kualitas hidup masyarakat perkotaan. Menurut data dari World Health Organization  (WHO), polusi udara di kota-kota besar kini menjadi salah satu penyebab utama gangguan kesehatan, termasuk gangguan pernapasan dan kesehatan mental (WHO, 2020). Dalam konteks ini, transportasi berkelanjutan seperti bersepeda, berjalan kaki, serta penggunaan transportasi umum berbasis listrik menawarkan solusi untuk memperbaiki kualitas udara dan mendukung kesehatan mental masyarakat urban. Peningkatan kendaraan pribadi juga memicu peningkatan kebisingan yang diketahui berkontribusi terhadap peningkatan resiko gangguan mental, termasuk kecemasan dan stres. Ketidakmampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan perkotaan yang padat dan penuh polusi semakin memperburuk keadaan ini. Oleh karena itu, sistem transportasi yang ramah lingkungan dan dapat mengurangi dampak negatif dari urbanisasi perlu diprioritaskan sebagai langkah preventif untuk menjaga kesehatan mental masyarakat. Rujukan Teoritis Transportasi berkelanjutan merujuk pada moda transportasi yang mampu mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, sekaligus mendukung kesejahteraan pengguna. Moda transportasi ini meliputi penggunaan kendaraan berbasis listrik, transportasi umum ramah lingkungan, serta peningkatan penggunaan sepeda dan pejalan kaki sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari. Berdasarkan penelitian, polusi udara dan kebisingan yang tinggi di perkotaan dapat meningkatkan resiko depresi hingga 20% dan gangguan kecemasan hingga 25% (Roberts et al., 2021). Polusi udara, terutama yang disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor, juga memiliki dampak langsung pada kesehatan fisik yang kemudian berdampak pada mental. WHO mencatat bahwa sekitar 4,2 juta kematian global setiap tahun diakibatkan oleh polusi udara, dan banyak di antaranya disertai dengan efek jangka panjang terhadap kesehatan mental. Sebaliknya, aktivitas fisik yang dihasilkan dari transportasi berkelanjutan, seperti bersepeda atau berjalan kaki, terbukti mampu menurunkan tingkat stres dan meningkatkan rasa bahagia. Studi yang dilakukan oleh Buehler dan Pucher (2017) menunjukkan bahwa mereka yang secara rutin bersepeda atau berjalan kaki memiliki risiko depresi 15% lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang jarang atau tidak aktif secara fisik. Aktivitas ini berperan sebagai intervensi alami untuk menjaga keseimbangan psikologis, mengurangi stres, dan mendorong gaya hidup sehat di perkotaan. Pendekatan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dampak transportasi berkelanjutan terhadap kesehatan mental di kawasan perkotaan, khususnya di Jakarta. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, yang melibatkan survei terhadap 500 responden. Responden dibagi menjadi dua kelompok: pengguna moda transportasi berkelanjutan (seperti pejalan kaki, pengendara sepeda, dan pengguna transportasi umum berbasis listrik) dan pengguna kendaraan pribadi. Survei mengukur tingkat stres, kebahagiaan, dan kualitas hidup dari masing-masing responden. Selain itu, data kualitas udara dan tingkat kebisingan di sepanjang jalur transportasi juga diukur untuk melihat kaitannya dengan kesehatan mental masyarakat. Pengukuran polusi udara dilakukan dengan menggunakan sensor kualitas udara yang ditempatkan di jalur transportasi yang ramai. Tingkat kebisingan diukur dengan perangkat desibel di area dengan konsentrasi lalu lintas yang tinggi, serta dibandingkan dengan jalur yang lebih tenang, seperti jalur sepeda dan kawasan pejalan kaki. Data ini kemudian dianalisis untuk melihat korelasi antara kualitas lingkungan dan tingkat stres pengguna jalan. Temuan Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengguna transportasi berkelanjutan secara signifikan mengalami tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang menggunakan kendaraan pribadi. Dari 500 responden, 70% pengguna transportasi berkelanjutan melaporkan memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan dengan hanya 55% dari pengguna kendaraan pribadi. Selain itu, jalur transportasi berkelanjutan memiliki polusi udara yang lebih rendah rata-rata sebesar 35% dibandingkan dengan jalur kendaraan pribadi. Buehler dan Pucher (2017) juga menemukan bahwa aktivitas fisik, seperti bersepeda dan berjalan kaki, berkorelasi dengan penurunan risiko depresi. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian ini, di mana responden yang secara rutin menggunakan transportasi berkelanjutan menunjukkan peningkatan kebahagiaan yang signifikan. Aktivitas fisik harian yang terlibat dalam moda transportasi ini berperan penting dalam memperbaiki suasana hati dan mengurangi kecemasan. Selain itu, penggunaan transportasi umum berbasis listrik, seperti bus listrik atau kereta cepat, juga memberikan kontribusi positif terhadap kesehatan mental masyarakat. Moda transportasi ini tidak hanya mengurangi tingkat polusi udara, tetapi juga mengurangi kebisingan di kawasan perkotaan. Dengan semakin meningkatnya adopsi transportasi berkelanjutan, dapat diharapkan terjadi perbaikan pada kualitas lingkungan perkotaan yang berdampak langsung pada kesehatan mental penghuninya. Ringkasan Temuan Transportasi berkelanjutan memiliki peran krusial dalam mengurangi dampak negatif urbanisasi terhadap kesehatan mental masyarakat. Penggunaan moda ramah lingkungan seperti sepeda, transportasi umum berbasis listrik, dan berjalan kaki terbukti mampu menurunkan tingkat stres, meningkatkan kebahagiaan, dan memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi masyarakat perkotaan. Selain manfaat psikologis, transportasi berkelanjutan juga membantu mengurangi polusi udara dan kebisingan, yang merupakan penyebab utama gangguan kesehatan mental di lingkungan urban. Oleh karena itu, diperlukan dukungan kebijakan dan infrastruktur yang memadai untuk meningkatkan adopsi transportasi berkelanjutan. Pemerintah dan otoritas perkotaan perlu memprioritaskan pengembangan jalur sepeda, trotoar yang nyaman, serta transportasi umum berbasis energi bersih untuk mendukung kesehatan fisik dan mental masyarakat. Rekomendasi Pemerintah dan otoritas perkotaan perlu mengoptimalkan jalur sepeda dan pejalan kaki serta meningkatkan pengembangan transportasi umum berbasis listrik untuk mengurangi emisi gas buang dan kebisingan. Masyarakat harus didorong untuk lebih sering menggunakan moda transportasi berkelanjutan sebagai bagian dari gaya hidup sehat yang mendukung kesehatan fisik dan mental. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengukur dampak jangka panjang dari transportasi berkelanjutan terhadap kesehatan mental dan kualitas hidup di perkotaan. Korespondensi Penulis Yudistira Widi Pratomo/ yudistiwp@gmail.com

More
SETENGAH HATI MENGADOPSI PROYEK RESTORASI CHEONGGYECHEON

SETENGAH HATI MENGADOPSI PROYEK RESTORASI CHEONGGYECHEON

Belakangan ini di sosial media muncul lagi berita tentang program Pemerintah Daerah untuk melakukan revitalisasi Kalimalang di Bekasi menyerupai Cheonggyecheon yang ada di Seoul. Sebenarnya tidak hanya di Kalimalang Bekasi, hal serupa ternyata pernah terjadi di beberapa lain di Indonesia yang menyebut bahwa revitalisasi kawasan sempadan sungai dianggap memiliki kemiripan seperti yang dilakukan di Seoul, Korea Selatan. Apa yang terjadi di Cheonggyecheon? Sungai Cheonggye atau Cheonggyecheon (청계천) dalam Bahasa Korea, merupakan sungai yang membentang dari timur melalui jantung Kota Seoul. Pada tahun 1958-1977, pemerintah kota membangun jalan arteri dengan lebar 50 meter sepanjang 6 kilometer, dan di tahun 1976 dibangun jalan layang sepanjang 5,9 kilometer di atas jalan arteri untuk melayani meningkatnya kebutuhan mobilitas penduduk menuju pusat Kota Seoul. Alasan restorasi Akan tetapi, menutup sungai dengan jalan ternyata menimbulkan dampak lingkungan yang signifikan. Perencanaan Kota Seoul kala itu masih berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan dampak ekologis. Pada tahun 1980an muncul kekhawatiran tentang meningkatnya risiko kesehatan dari air yang tercemar di bawah jalan dan polusi udara karena lalu lintas. Menutup sungai dengan beton tidak hanya menutupi bagian penting dari alur alam di kota, tetapi juga memperburuk kehidupan perkotaan bagi penduduk kota dengan kurangnya ruang terbuka, kualitas udara yang buruk, dan kemacetan lalu lintas yang membuat kawasan tersebut akhirnya tidak menarik bagi penduduk dan pertumbuhan ekonomi dari sektor bisnis. Pada tahun 2003, pemerintah kota mengumumkan Cheonggyecheon Restoration Project  untuk membongkar jalan layang dan memulihkan sungai seperti semula. Wali Kota Seoul saat itu, Lee Myung-Bak, mengatakan “Once the stream is restored, we want this area to stand out as a center of foreign investment. The ultimate goal is to make Seoul a great city.” Awalnya, proyek ini sangat ditentang oleh pebisnis lokal karena dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif terhadap kegiatan ekonomi, termasuk biaya proyek yang tinggi dan kemacetan lalu lintas yang ditimbulkan di pusat kota.  Dampak restorasi Cheonggyecheon Restoration Project  juga bertujuan untuk mendorong penggunaan transportasi umum daripada penggunaan kendaraan pribadi, penyediaan ruang terbuka publik yang ramah lingkungan dan berorientasi kepada pejalan kaki. Pada akhirnya proyek ini berkontribusi pada 15,1% peningkatan pengguna bus, 3,3% peningkatan jumlah penumpang subway antara tahun 2003-2008, dan mendatangkan 64.000 pengunjung pada jalan yang direvitalisasi untuk pejalan kaki. Selain itu, juga berkontribusi pada peningkatan kualitas air dan udara yang berimplikasi pada peningkatan kualitas hidup, serta menghubungkan kembali dua bagian wilayah kota yang sebelumnya terpisah oleh infrastruktur jalan. Selain itu, berdasarkan data Landscape Architecture Foundation  menemukan bahwa Cheonggyecheon Restoration Project  ini berdampak pada: Mampu mengendalikan banjir hingga kala ulang 200 tahun yang dapat mempertahankan laju aliran 118 mm/jam. Meningkatkan tingkat keanekaragaman hayati hingga lebih 600% dari tahun 2003 hingga 2008. Pembangunan perkotaan biasanya mengurangi tingkat keanekaragaman hayati. Ini adalah kasus di mana lebih banyak spesies disambut oleh lingkungan baru. Mendinginkan lingkungan terdekat dengan suhu 30 hingga 60 lebih dingin daripada di jalan yang berjarak 4-7 blok. Peningkatan harga properti sebesar 30-50% di sekitar lokasi. Selama tahun 2002-2003, jumlah bisnis di Cheonggyecheon meningkat sebesar 3,5% atau dua kali lipat tingkat pertumbuhan bisnis di pusat kota Seoul. Konteks dengan Indonesia Cheonggyecheon di Seoul sering dijadikan inspirasi untuk proyek revitalisasi sungai di kota-kota Indonesia karena keberhasilannya dalam mengubah sungai yang sebelumnya tertutup dan tercemar menjadi ruang publik yang hijau dan bersih. Pemerintah kota melihat proyek ini sebagai contoh yang bagus untuk meningkatkan kualitas hidup, mengurangi banjir, memperbaiki kualitas air, dan menarik wisatawan. Namun, meskipun Cheonggyecheon menjadi inspirasi yang populer, keberhasilan proyek serupa di Indonesia perlu disesuaikan dengan berbagai faktor lokal. Penyebutan proyek revitalisasi sungai di Indonesia sebagai proyek yang “mirip dengan Cheonggyecheon” sering kali kurang tepat karena ada perbedaan besar dalam histori, tantangan, dan kebutuhan antara Seoul dan kota-kota di Indonesia. Penyebutan ini juga menunjukkan hanya bersifat simbolis dan bukan teknis. Revitalisasi yang hanya berfokus pada estetika, tanpa mempertimbangkan fungsi-fungsi lokal, dapat meminggirkan masyarakat dan budaya setempat. Penutup Proyek yang dilakukan di Seoul tersebut karena adanya keresahan dari warga kota dan pemerintah yang menghadapi penurunan kualitas lingkungan semenjak adanya pembangunan jalan layang di tengah kota. Oleh karena itu, pemerintah Seoul mengusulkan untuk mendorong penggunaan transportasi umum daripada penggunaan kendaraan pribadi, penyediaan ruang terbuka publik yang ramah lingkungan dan berorientasi kepada pejalan kaki dengan cara melakukan Proyek Restorasi Cheonggyecheon meskipun terdapat beberapa penolakan dari kalangan tertentu. Pada akhirnya proyek tersebut memang memiliki dampak yang baik pada lingkungan, penurunan polusi udara, dan benefit lain dengan bertumbuhnya potensi wisata pada kawasan tersebut, termasuk juga sebagai upaya pemerintah pada penyediaan ruang terbuka publik yang ramah pada mobilitas aktif dan penggunaan transportasi umum. Korespodensi Penulis Yusuf Abdul Kariem/ yusufkariem@infraindo.org

More
Tantangan Hunian dan Mobilitas Masyarakat Perkotaan yang Efektif dan Efisien

Tantangan Hunian dan Mobilitas Masyarakat Perkotaan yang Efektif dan Efisien

Pada umumnya, masyarakat perkotaan di Indonesia masih banyak yang tinggal di hunian berupa rumah tapak, yakni jenis rumah yang memiliki halaman dan biasanya berdiri sendiri di atas sebidang tanah. Jenis hunian ini sering dipilih karena memberikan ruang yang lebih luas dan privasi yang lebih baik dibandingkan dengan apartemen atau rumah susun. Selain itu stereotype beberapa masyarakat Indonesia yang masih menganggap bahwa mempunyai hunian tempat tinggal haruslah memiliki tanahnya juga, hal ini tidak dapat dimiliki oleh seseorang yang memiliki rumah susun. Meskipun tren hunian vertikal mulai berkembang di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, hunian rumah tapak masih mendominasi dan menjadi pilihan populer terutama di kalangan keluarga yang menginginkan area yang lebih luas untuk aktivitas sehari-hari. Sementara mobilitas masyarakat perkotaan di Indonesia sering kali bergantung pada kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan sistem transportasi umum yang ada dan ketidaknyamanan dalam penggunaan angkutan umum. Kendaraan pribadi memberikan fleksibilitas dan kenyamanan yang lebih besar, terutama dalam menghadapi kemacetan lalu lintas yang sering terjadi di kota-kota besar. Namun, ketergantungan pada kendaraan pribadi juga berkontribusi pada masalah kemacetan lalu lintas dan polusi udara, yang menjadi tantangan besar bagi perencanaan kota dan upaya perlindungan lingkungan di kawasan urban Indonesia. Untuk mengatasi tantangan hunian masyarakat di perkotaan, pemerintah dan pengembang perumahan dapat mempromosikan lebih banyak pembangunan rumah susun yang terjangkau dan berkelanjutan . Rumah susun menawarkan solusi efektif dalam memanfaatkan lahan yang terbatas secara vertikal, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap ketersediaan lahan dan mengurangi urban sprawl . Dengan pemilihan lokasi yang strategis di pusat kota atau akses yang baik dan terintegrasi ke transportasi umum, rumah susun dapat memberikan aksesibilitas yang lebih baik bagi penghuninya terhadap fasilitas umum, tempat kerja, perbelanjaan, dan layanan publik lainnya. Pemerintah perlu mendorong kebijakan yang mendukung pengembangan infrastruktur rumah susun serta memperhatikan kebutuhan akan ruang terbuka dan fasilitas publik dalam perencanaan kota. Dalam memperbaiki mobilitas masyarakat perkotaan, pengurangan ketergantungan pada kendaraan pribadi dapat dicapai dengan meningkatkan kualitas dan aksesibilitas transportasi umum. Investasi dalam jaringan transportasi publik yang efisien dan terintegrasi seperti kereta api (LRT, MRT, Commuterline), Bus Rapid Transit (BRT), dan moda transportasi berbasis listrik dapat membantu mengurangi kemacetan dan polusi udara. Peningkatan layanan transportasi umum ini harus didukung oleh kebijakan yang membatasi penggunaan kendaraan pribadi dengan memperluas area pejalan kaki, jalur sepeda, dan fasilitas penunjang lainnya untuk berjalan kaki. Sehingga, transisi dari mobilitas berbasis kendaraan pribadi ke transportasi umum yang lebih ramah lingkungan dapat memberikan solusi yang berkelanjutan dalam menjaga kualitas hidup di perkotaan Indonesia. Beberapa dekade terakhir ini, terlihat tren perkembangan transportasi umum dan hunian rumah susun meskipun hanya terbatas pada kawasan Jabodetabek dan sekitarnya. Dimulai dari pembangunan Transjakarta yakni sistem transportasi berjenis Bus Rapid Transit (BRT) pada tahun 2004 yang hingga saat ini sudah melayani sebanyak 1,1 Juta penumpang per hari di 14 koridor sepanjang 251 Km. Selain itu, ada Kereta Rel Listrik (KRL) Commuterline yang bertransformasi sekitar tahun 2011-2013 dari transportasi yang kurang nyaman dan kurang tertata menjadi transportasi yang nyaman dan manusiawi. KRL di Jabodetabek melayani 1,2 Juta penumpang per hari dengan rute sepanjang 418 Km di 5 Jalur. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya diresmikan moda transportasi umum baru seperti MRT Jakarta dan LRT Jakarta pada tahun 2019 dan LRT Jabodebek pada tahun 2023.  Sistem transportasi tersebut harus saling berintegrasi dengan nyaman untuk para penumpang agar memudahkan berpindah ke jalur transportasi lainnya. Stasiun-stasiun yang saling bersilangan atau bersinggungan satu sama lain dapat dibuat area integrasi yang menghubungkan stasiun tersebut. Seperti pada integrasi pada area dukuh atas di Jakarta Pusat yang menghubungkan stasiun KRL, MRT, dan LRT, integrasi pada stasiun KRL Kebayoran dengan Halte Velbak Transjakarta di Jakarta Selatan, dan lainnya. Pada perkembangannya semua rute transportasi umum yang bersilangan dapat diintegrasikan satu sama lain seperti pada rencana MRT fase 4 outer-ring line. Selain itu, fasilitas transportasi umum yang nyaman, ekstensif (mencakup area yang luas), dan tarif yang terjangkau dapat menarik minat masyarakat untuk beralih dari transportasi pribadi ke transportasi umum. Pembangunan transportasi umum ini turut mendorong pembangunan hunian rumah susun/ apartemen untuk dibangun berdekatan dan terintegrasi dengan transportasi umum. Seperti apartemen yang terintegrasi dengan Stasiun KRL Pondok Cina di Kota Depok, apartemen yang berdekatan dengan stasiun LRT Jabodebek Jatimulya di Kota Bekasi, dan lainnya sudah menjadi tren di Jabodetabek. Hal ini dapat mendorong minat masyarakat untuk bertempat tinggal di rumah susun karena aksesibilitasnya dengan transportasi umum yang mudah dicapai. Selain itu dengan adanya fasilitas “ruang ketiga” seperti taman, tempat olahraga, tempat bermain, dan fasilitas lainnya dapat menjadi area pengganti halaman/ruangan yang luas pada hunian rumah tapak bagi penghuni rumah susun. Pemerintah serta pengembang perumahan dapat bekerja sama untuk membangun rumah susun yang terjangkau atau bersubsidi untuk mendorong minat masyarakat menempati rumah susun. Stasiun-stasiun yang terintegrasi dan terhubung dengan rumah susun dan fasilitas pendukungnya dapat terbentuk sebuah area yang dinamakan Transit Oriented Development (TOD) . TOD dapat diartikan sebagai konsep pengembangan kota yang memaksimalkan penggunaan lahan yang bercampur (hunian, tempat belanja, dan lainnya) dan terintegrasi dengan angkutan umum massal dengan mendukung fasilitas jaringan jalan bagi pejalan kaki atau sepeda, serta tempat pemberhentian kendaraan umum dan fasilitas parkirnya. Dengan demikian, transportasi umum yang saling berintegrasi dan aksesibilitas yang mudah dengan rumah susun mampu menjawab tantangan untuk hunian dan mobilitas masyarakat perkotaan yang efektif dan efisien. Diharapkan perkembangan ini tidak hanya terjadi di Jabodetabek, melainkan menyebar ke kota-kota yang ada di Indonesia. Korespondensi Penulis Aryo Widyatmoko/ aryowidyatmoko21@gmail.com

More
Menilik Harmoni Falsafah Budaya dan Ruang Kota di Yogyakarta dalam Wujud Sumbu

Menilik Harmoni Falsafah Budaya dan Ruang Kota di Yogyakarta dalam Wujud Sumbu

Memaknai Yogyakarta sebagai City of Philosophy Yogyakarta, yang dikenal sebagai City of Philosophy, menyandang berbagai julukan yang tidak lepas dari sejarah peradaban kota tersebut. Sebagai kota yang sarat akan filosofi, Yogyakarta telah menjadi wadah perkembangan budaya sejak awal berdirinya. Sebagai “ The City of Philosophy ” dengan tajuk “ The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks ”, Yogyakarta diusung menjadi kota warisan dunia UNESCO. Berdasarkan Priyono, et. al. (2021), berbagai upaya dilakukan untuk mendukung Yogyakarta sebagai pusat pelestarian, pengembangan, dan pewarisan kebudayaan. Pembangunan kebudayaan akan mewadahi berbagai sektor lain untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan kebudayaan sebagai komponen penting bagi masyarakat dan kota.  The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks , sebuah mahakarya agung dalam perencanaan abad ke-18. Yogyakarta sebagai pusat kota bersejarah dan kota budaya, mengandung nilai-nilai falsafah dan kebudayaan yang terwujud dalam sumbu. Mengutip dari Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofi (2022), perwujudan tata ruang Yogyakarta dirancang untuk mengemukakan pemikiran filosofis Jawa mengenai daur hidup manusia. Pemikiran tersebut tertuang dalam “ Sangkan Paraning Dumadi ” yang bermakna siklus kehidupan dan “ Manunggaling Kawula Gusti ” yang bermakna hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Menurut Priyono, et. al. (2021), mahakarya sebagai buah pemikiran Sultan Hamengku Buwana I tersebut, dituangkan dalam berbagai bentuk tata ruang kota, warisan budaya arsitektur, dan lansekap Yogyakarta. Menyusuri Sumbu Filosofi Yogyakarta Mengutip dari Sapardan, Suryandari, & Aridyansyah (2022), nominasi The Cosmological Axis of Yogyakarta terwujud dalam dua komponen, yakni komponen Sumbu Filosofi yang berada di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul serta komponen Makam Imogiri yang berada di Kabupaten Bantul. Berdasarkan Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (2022), Kawasan Sumbu Filosofi mencakup atribut Panggung Krapyak, Sumbu Filosofi Selatan, Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Beteng Plengkung, Pojok Beteng Kraton, Kompleks Dalam/Inti Kraton, Tamansari, Masjid Gedhe Kauman, Sumbu Filosofi Utara, Pasar Beringharjo, Kompleks Kepatihan, dan Tugu.  Berdasarkan Priyono, et. al. (2021), tata ruang kota Yogyakarta didasarkan pada keserasian makna sumbu filosofi yang menautkan antara Panggung Krapyak-Kraton-Tugu. Pola pembentukan kota Yogyakarta berlandaskan daur hidup manusia dengan pembagian kota Yogyakarta menjadi dua wilayah. Pada bagian selatan atau Panggung Krapyak ke Kraton merupakan simbol awal mula terciptanya manusia ( Sangkaning Dumadi). Sementara, pada bagian utara atau Tugu Pal Putih ke Kraton merupakan simbol jalan yang harus dilalui untuk kembali menuju Sang Pencipta ( Paraning Dumadi). Apabila kedua bagian disatukan akan menjadi satu titik temu antara Sangkaning Dumadi dan Paraning Dumadi yang bertemu di satu titik pusat yaitu Kraton. Pertemuan tersebut membentuk satu kesatuan utuh kota Yogyakarta yang bermakna filosofi jawa asal dan tujuan dari adanya hidup ( Sangkan Paraning Dumadi).  Adapun Panggung Krapyak-Kraton-Tugu Pal Putih merupakan komponen utama dari Sumbu Filosofi secara konseptual. Atribut tersebut berada dalam satu garis lurus dengan Tugu Pal Putih dan Panggung Krapyak sebagai simbol Lingga dan Yoni. Berdasarkan Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (2022), Panggung Krapyak memiliki kondisi pelestarian yang baik dengan pemeliharaan rutin oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.  Mengutip dari Priyono, et. al. (2021), bangunan tersebut awalnya sebagai tempat Sultan berburu menjangan, namun saat ini menjadi salah satu tempat tujuan pariwisata. Selanjutnya, terdapat Jalan Gebayan yang menautkan antara Panggung Krapyak hingga Kraton sebagai Sumbu Filosofi Selatan. Berdasarkan Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu Filosofis (2022), ruas jalan tersebut memiliki kondisi yang baik, namun masih terdapat permasalahan fisik, di antaranya keberadaan papan reklame yang tidak sesuai khususnya di bagian selatan jalan dan bangunan informal yang dibangun di dekat sumbu. Di sepanjang jalan, ditanam pohon asam dan tanjung yang secara historis memiliki nilai filosofi yang tinggi. Melangkah lebih dekat lagi, terdapat Beteng, Plengkung, dan Pojok Beteng Kraton yang masih dalam kondisi baik. Namun, pada bagian benteng keliling (Baluwarti) terdapat pembangunan banyak bangunan kecil yang tidak sesuai dengan struktur warisan budaya dan cagar budaya (WBCB). Selanjutnya, terdapat Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang masih terpelihara dengan baik secara keseluruhan. Meskipun demikian, bagian dinding luar Kamandungan Kidul, Pangongan, dan halaman Kamagangan telah dipengaruhi oleh pemukiman. Tepat di sebelah barat Kraton terdapat Tamansari dengan Gapura Agung, Umbul Binangun, Masjid Sumur Gumuling, dan Pulo Kenanga sebagai struktur yang menonjol . Upaya pelestarian terus digalakkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia beserta Dinas Kebudayaan DIY semenjak gempa pada tahun 2006 yang melanda sehingga merusak sejumlah bangunan pada kompleks tersebut.  Selanjutnya, terdapat Masjid Gedhe Kauman yang masih dalam kondisi baik dengan pemeliharaan rutin oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.  Lalu, terdapat Sumbu Filosofi Utara yang mencakup jalan Pangurakan, Margomulyo, Malioboro, dan Margoutomo. Ketiga ruas jalan Pangurakan, Margomulyo, dan Malioboro memiliki kondisi yang cukup baik dengan tidak ada pembangunan hotel atau bangunan tinggi yang berdampak signifikan pada Sumbu Filosofi. Sementara, bangunan tinggi yang menyalahi aturan telah dibangun di jalan Margoutomo. Di sepanjang jalan tersebut, bangunan bersejarah dalam kepemilikan pribadi telah diperbaharui secara tidak semestinya d engan sebagian besar bentuk asli telah ditutupi papan reklame.  Berikutnya, te pat di sebelah utara Kraton, terdapat Pasar Beringharja dengan kondisi baik dan terpelihara baik. Sementara, bangunan yang terus berfungsi sebagai pasar baik bagi masyarakat lokal maupun turis tersebut, membutuhkan perbaikan pada beberapa elemen dari bagian internal pasar. Selanjutnya, terdapat Kompleks Kepatihan dengan Gedung Induk Kepatihan yang saat ini menjadi Kantor Gubernur DIY dan pusat pemerintahan provinsi. Semua bangunan dalam kompleks tersebut dalam kondisi baik dengan pemeliharaan rutin oleh unit khusus Pemerintah Daerah DIY dengan dukungan teknis dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta.  Selanjutnya, Tugu, sebagai salah satu komponen utama dari Sumbu Filosofi secara konseptual, masih dalam kondisi sangat baik. Saat ini, Tugu merupakan hasil rekonstruksi dari tahun 1889, sebagai akibat dari gempa pada tahun 1867 yang berdampak pada struktur asli. Kendati demikian, bentuk hasil rekonstruksi tersebut masih dianggap merepresentasikan lingga sebagai lambang laki-laki. Dengan keberadaan Tugu di persimpangan jalan yang sibuk, taman dan pagar batu dibangun di sekitar Tugu untuk  mengamankan  dari ancaman lalu lintas. Menyoal Yogyakarta Hari Ini Kendati perkembangan dan perubahan tata ruang kota seiring waktu, Yogyakarta masih eksis menuangkan “wajah asli” sebagai wujud dari sejarah perkembangan kota tradisional Jawa. Di tengah perkembangan kota yang terus melakukan pembangunan, Yogyakarta sebagai mahakarya jenius kreatif diharapkan dapat terus lestari dengan kebudayaan yang adiluhung beserta makna simbolik dan filosofis yang kental. Yogyakarta, sebagai kota Istimewa yang sarat akan makna yang terwujud dalam sumbu.  Korespondensi Penulis Ingga Dewi Amalia/ inggaamaliadewi@gmail.com

More
Pemisahan Kementerian PU dan PR: Peluang Baru atau Tantangan Baru bagi Pembangunan Kota?

Pemisahan Kementerian PU dan PR: Peluang Baru atau Tantangan Baru bagi Pembangunan Kota?

Presiden dan Wakil Presiden ke-8 telah mengumumkan struktur kabinet yang baru yang dinamakan Kabinet Merah Putih, terjadi perubahan nomenklatur kementerian yang bertambah atau berpisah, salah satu yang menarik yaitu pemisahan Kementerian PUPR menjadi Kementerian PU serta Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman. Perubahan ini memunculkan banyak pertanyaan: Apakah ini membuka peluang baru atau menghadirkan tantangan baru dalam pembangunan kota? Di banyak negara, struktur kementerian yang menangani perumahan dan kawasan permukiman berbeda-beda sesuai dengan konteks kebijakan dan kebutuhan masing-masing. Sebagai contoh, di Amerika Serikat terdapat United States Department of Housing and Urban Development  (HUD) yang fokus pada penyediaan perumahan dan peningkatan kawasan perkotaan secara inklusif. Sementara itu, di Singapura, Housing and Development Board  (HDB) berperan sangat besar dalam merencanakan dan membangun perumahan terjangkau, dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat untuk memastikan standar kualitas hidup yang tinggi. Di Jerman, tanggung jawab perumahan dan pembangunan perkotaan tersebar di antara pemerintah federal, negara bagian, dan kota-kota yang memberikan otonomi lebih pada wilayah untuk beradaptasi dengan kebutuhan lokal. Pendekatan yang berbeda ini menunjukkan bahwa koordinasi dan kolaborasi antara berbagai sektor menjadi kunci untuk memastikan pembangunan yang efektif.  Struktur kementerian perumahan dan kawasan permukiman ini juga memiliki hubungan yang erat dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama SDG 11 yang bertujuan untuk mewujudkan kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Penyediaan perumahan layak dan pengembangan kawasan permukiman merupakan komponen inti dari SDG 11. Di berbagai negara, kebijakan kementerian perumahan berperan besar dalam mengatasi permasalahan urbanisasi, kesenjangan akses perumahan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat perkotaan, sehingga berkontribusi langsung terhadap pencapaian target SDG 11. Selain itu, pendekatan yang komprehensif dalam pengelolaan perumahan dan kawasan permukiman juga sejalan dengan New Urban Agenda yang menekankan pentingnya perencanaan kota yang berkelanjutan, partisipatif, dan berpusat pada manusia. New Urban Agenda bertujuan untuk menciptakan kota yang inklusif dan berkelanjutan melalui sinergi kebijakan pembangunan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Dengan adanya kementerian yang khusus menangani perumahan dan kawasan permukiman, diharapkan kebijakan yang diambil dapat mendukung visi New Urban Agenda, terutama dalam menyediakan hunian layak, ruang publik yang baik, dan infrastruktur yang memadai. Awal Perubahan Pembangunan Permukiman Sebelumnya, bidang Pekerjaan Umum (PU) dan Perumahan Rakyat (PR) merupakan dua komponen yang sering kali dianggap sebagai satu kesatuan dalam konteks pembangunan nasional. Namun, pemerintahan baru nampaknya memiliki persepsi yang berbeda dan ingin fokus dalam melakukan pembangunan di setiap bidangnya sehingga kemudian melakukan restrukturisasi kebijakan yang memisahkan PU dan PR menjadi dua entitas yang mandiri. Ini adalah langkah yang membawa dampak signifikan terhadap tata kelola infrastruktur, perumahan, dan kawasan permukiman di Indonesia. Pemecahan ini memungkinkan masing-masing sektor untuk memiliki fokus yang lebih spesifik dan strategi yang lebih terarah. Pekerjaan umum kini lebih difokuskan pada pengembangan infrastruktur, termasuk jalan, jembatan, dan fasilitas lainnya yang menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat. Di sisi lain, sektor perumahan rakyat mendapatkan perhatian tersendiri untuk memastikan penyediaan rumah yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan peningkatan kualitas hidup di kawasan permukiman. Namun, dengan pemisahan ini muncul tantangan baru : "Bagaimana memastikan bahwa keduanya tetap bergerak secara sinkron untuk mencapai pembangunan perkotaan yang berkelanjutan?" Sebab pembangunan perkotaan tidak bisa hanya dilihat dari pembangunan fisik infrastruktur atau penyediaan hunian semata, melainkan harus melihat kedua hal tersebut sebagai satu kesatuan yang saling terkait. Pembangunan perkotaan yang ideal membutuhkan integrasi lintas sektor, mulai dari infrastruktur, sosial ekonomi, lingkungan, hingga budaya. Pembangunan kota harus mempertimbangkan tata ruang yang berkelanjutan, pola transportasi yang efisien, hingga keseimbangan antara kawasan hijau dan pembangunan fisik. Kemudian, terjadi penyatuan antara perumahan dan kawasan permukiman yang menjadikannya sebagai satu entitas tunggal. Ini memberikan fokus baru dalam pengembangan lingkungan perumahan yang bukan hanya menyediakan tempat tinggal, tetapi juga menciptakan lingkungan yang layak dan nyaman bagi kehidupan. Penyatuan ini mencerminkan pemahaman bahwa perumahan tidak bisa lepas dari konteks kawasan permukiman secara lebih luas, perumahan perlu didukung oleh infrastruktur kawasan seperti akses air bersih, listrik, transportasi, hingga ruang terbuka hijau. Penyatuan perumahan dan kawasan permukiman ini membawa implikasi positif dalam menciptakan kebijakan yang holistik, di mana fokus tidak hanya pada penyediaan rumah, tetapi juga kualitas hidup secara keseluruhan. Konektivitas antara rumah, ruang publik, hingga fasilitas umum lainnya menjadi lebih diperhatikan. Penyatuan ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang menekankan pentingnya penyediaan hunian yang layak dan pembangunan kawasan permukiman yang berkelanjutan. UU ini memberikan landasan hukum bagi Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman untuk menggabungkan tugas-tugas terkait pengelolaan infrastruktur perumahan dan kawasan permukiman dalam satu kementerian. Penyatuan ini diharapkan mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, serta memastikan bahwa kebijakan yang diambil bersifat komprehensif dan terintegrasi agar dapat mewujudkan kota yang inklusif, nyaman, dan layak huni bagi seluruh lapisan masyarakat. Di sinilah pentingnya visi bersama dalam membangun kota. Pembangunan perkotaan membutuhkan perencanaan yang komprehensif dan partisipasi seluruh pemangku kepentingan, baik dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Tanpa visi bersama ini, ada risiko bahwa sektor-sektor terkait pembangunan akan berjalan sendiri-sendiri, tanpa sinergi yang kuat. Tantangan dan Masalah Klasik Perumahan dan Kawasan Permukiman Pemisahan kementerian ini juga memunculkan berbagai tantangan dalam konteks perumahan dan kawasan permukiman. Tantangan pertama adalah terkait dengan koordinasi lintas sektor. Meskipun kementerian perumahan dan kawasan permukiman telah menjadi entitas yang mandiri, ada risiko kurangnya sinergi antara kementerian tersebut dengan Kementerian PU, yang dapat berdampak pada ketidakselarasan antara penyediaan infrastruktur dasar dan pembangunan perumahan. Kedua, masalah perumahan yang masih dihadapi adalah keterbatasan akses terhadap perumahan yang layak, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tantangan dalam menyediakan perumahan yang terjangkau tidak hanya terkait dengan biaya pembangunan, tetapi juga dengan regulasi lahan, keterbatasan lahan yang tersedia, serta kebutuhan akan pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan. Ketiga, kawasan permukiman di perkotaan sering kali dihadapkan pada permasalahan infrastruktur dasar, seperti akses air bersih, sanitasi, dan listrik. Permukiman kumuh masih menjadi tantangan besar di berbagai kota, yang membutuhkan intervensi kebijakan yang lebih holistik dan terintegrasi untuk memastikan peningkatan kualitas hidup bagi semua lapisan masyarakat. Selain itu, isu keberlanjutan juga menjadi tantangan besar dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Pembangunan yang berkelanjutan harus memperhatikan efisiensi energi, pengelolaan limbah, serta penggunaan material ramah lingkungan. Tantangan ini semakin kompleks dengan adanya perubahan iklim yang memerlukan adaptasi dalam perencanaan dan pembangunan perumahan serta kawasan permukiman. Dengan demikian, meskipun PU dan PR telah berpisah, dan perumahan serta kawasan permukiman telah menjadi satu kesatuan, pembangunan perkotaan memerlukan lebih dari sekedar restrukturisasi kelembagaan. Diperlukan integrasi lintas sektor, komitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan, dan partisipasi aktif masyarakat untuk mencapai kota yang berkelanjutan, aman, dan nyaman untuk ditinggali. Di berbagai negara, struktur kementerian yang menangani perumahan dan kawasan permukiman memiliki variasi, sesuai konteks kebijakan dan kebutuhan masing-masing. Misalnya, di Amerika Serikat terdapat United States Department of Housing and Urban Development  (HUD) yang berfokus pada penyediaan perumahan dan peningkatan kawasan perkotaan secara inklusif. Di Singapura, Housing and Development Board  (HDB) berperan penting dalam merencanakan dan membangun perumahan terjangkau dengan dukungan penuh dari pemerintah. Sementara di Jerman, tanggung jawab perumahan dan pembangunan perkotaan tersebar antara pemerintah federal, negara bagian, dan kota-kota yang memberikan otonomi lebih besar bagi penyesuaian kebutuhan lokal. Pendekatan berbeda ini menunjukkan pentingnya koordinasi dan kolaborasi lintas sektor untuk memastikan efektivitas pembangunan. Struktur kementerian ini juga berkaitan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), terutama SDG 11 yang bertujuan mewujudkan kota dan permukiman yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Walaupun pemisahan ini memungkinkan fokus yang lebih mendalam pada masing-masing bidang, muncul tantangan baru: bagaimana memastikan agar kedua kementerian tetap bergerak sinkron untuk mencapai pembangunan kota yang berkelanjutan? Pembangunan kota yang ideal membutuhkan integrasi lintas sektor yang mencakup infrastruktur, sosial-ekonomi, lingkungan, hingga budaya. Penyatuan perumahan dan kawasan permukiman menjadi satu entitas juga mengindikasikan pentingnya pendekatan holistik dalam penyediaan tempat tinggal yang layak, di mana kawasan permukiman tidak hanya menyediakan hunian, tetapi juga mencakup infrastruktur dasar, seperti akses air bersih, listrik, transportasi, dan ruang terbuka hijau. Pemisahan kementerian ini menghadirkan beberapa tantangan, antara lain koordinasi lintas sektor, akses perumahan layak, masalah infrastruktur permukiman, dan keberlanjutan pembangunan. Tantangan pertama adalah risiko kurangnya sinergi antara Kementerian PU dan Kementerian Perumahan, yang dapat menyebabkan ketidakselarasan dalam penyediaan infrastruktur dasar dan pembangunan perumahan. Tantangan besar dalam penyediaan perumahan layak terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah, termasuk keterbatasan lahan, regulasi lahan, serta kebutuhan pembiayaan yang berkelanjutan. Kawasan permukiman perkotaan masih menghadapi masalah infrastruktur dasar, seperti akses air bersih dan sanitasi. Permukiman kumuh membutuhkan kebijakan yang lebih terintegrasi untuk meningkatkan kualitas hidup seluruh masyarakat. Selain itu, pembangunan perumahan dan kawasan permukiman harus memperhatikan efisiensi energi, pengelolaan limbah, serta penggunaan material ramah lingkungan, yang semakin kompleks dengan adanya tantangan perubahan iklim. Pemisahan Kementerian PU dan PR serta penyatuan perumahan dengan kawasan permukiman merupakan langkah untuk memperjelas fokus dan tanggung jawab setiap sektor. Namun, pembangunan kota yang berkelanjutan memerlukan lebih dari sekadar restrukturisasi kelembagaan. Diperlukan integrasi lintas sektor, komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan, serta partisipasi aktif masyarakat agar kota yang berkelanjutan, aman, dan nyaman dapat terwujud. Korespondensi Penulis Malindo Andhi S Marpaung/ malindo.andhi@infraindo.org

More
bottom of page