Gas rumah kaca (GRK) merupakan salah satu penyebab utama perubahan iklim yang memberikan dampak serius terhadap kehidupan di bumi. Kota-kota, sebagai pusat aktivitas manusia, menjadi kontributor utama emisi GRK akibat konsumsi energi, transportasi, dan kegiatan industri. Dalam konteks ini, ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) memainkan peran penting sebagai solusi berbasis alam untuk mengurangi emisi GRK dan memperbaiki kualitas lingkungan perkotaan.
Ruang terbuka hijau mencakup taman kota, hutan kota, dan jalur hijau yang ditumbuhi vegetasi. Menurut Benedict dan McMahon (2006), vegetasi memiliki kapasitas untuk menyerap karbon dioksida (CO2) melalui proses fotosintesis. Penelitian yang dilakukan oleh Nowak et al. (2013) menunjukkan bahwa pohon-pohon di kawasan perkotaan di Amerika Serikat mampu menyerap sekitar 17,4 juta ton CO2 setiap tahunnya. Di Jakarta, studi oleh Dinas Kehutanan pada 2021 menunjukkan bahwa RTH yang ada menyerap sekitar 2,6 juta ton CO2 per tahun. RTH juga berfungsi sebagai penyaring polutan udara, mengurangi suhu lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan mental masyarakat.
Ruang terbuka biru mencakup badan air seperti danau, sungai, kolam, dan lahan basah di perkotaan. Menurut studi yang dilakukan oleh Bolund dan Hunhammar (1999), lahan basah memiliki kapasitas signifikan dalam menyerap karbon dan menyimpan metana dalam jangka panjang. Laporan Wetlands International (2022) menunjukkan bahwa lahan basah tropis dapat menyimpan hingga 1,3 gigaton karbon per tahun. Selain itu, RTB juga berfungsi sebagai penyerap panas, mengurangi fenomena urban heat island, serta menjadi habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna yang mendukung keanekaragaman hayati.
Kolaborasi antara RTH dan RTB menciptakan ekosistem perkotaan yang seimbang. Vegetasi di sekitar badan air dapat memperkuat kapasitas penyerapan karbon dan meningkatkan efisiensi pengelolaan air. Studi oleh Gill et al. (2007) mengindikasikan bahwa kombinasi antara RTH dan RTB di kawasan perkotaan Inggris mampu mengurangi emisi GRK hingga 18% dalam 20 tahun ke depan. Di Indonesia, studi oleh Universitas Gadjah Mada (2020) menunjukkan bahwa pengelolaan terpadu RTH dan RTB di Kota Surabaya mampu mengurangi emisi karbon hingga 12% dalam satu dekade.
Integrasi RTH dan RTB dalam perencanaan kota menjadi prioritas dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Agenda 2030 Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) mendukung pentingnya kota-kota yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia, misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH, yang menetapkan 30% dari total wilayah perkotaan harus dialokasikan untuk RTH. Data dari Kementerian PUPR (2023) mencatat bahwa saat ini rata-rata wilayah perkotaan di Indonesia baru memiliki sekitar 15% RTH, menunjukkan perlunya upaya lebih besar untuk mencapai target tersebut.
Meski manfaatnya signifikan, pengelolaan RTH dan RTB menghadapi tantangan, seperti konversi lahan hijau menjadi kawasan permukiman dan komersial, kurangnya kesadaran masyarakat, serta minimnya pendanaan. Menurut laporan IPCC (2022), pengelolaan RTH dan RTB yang kurang optimal dapat mengurangi efektivitas dalam mereduksi emisi GRK dan meningkatkan risiko banjir perkotaan. Di Indonesia, laporan Walhi (2022) menunjukkan bahwa sekitar 2,4 juta hektar lahan hijau telah beralih fungsi menjadi kawasan non-hijau dalam dua dekade terakhir.
Beberapa strategi dapat dilakukan untuk mengoptimalkan peran RTH dan RTB, antara lain:
Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan melalui edukasi dan program penghijauan.
Mendorong inovasi teknologi hijau, seperti penggunaan tanaman dengan kapasitas serapan karbon tinggi.
Membentuk kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas lokal dalam perencanaan dan pengelolaan ruang terbuka.
Mengembangkan kebijakan fiskal yang mendukung investasi pada infrastruktur hijau dan biru.
Memanfaatkan data satelit dan teknologi digital untuk memonitor perubahan luas RTH dan RTB secara real-time.
Studi Kasus : Penataan Kawasan dan Tutupan Lahan Kota Surabaya
Surabaya telah menjadi contoh utama dalam implementasi kebijakan hijau untuk menciptakan kota yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Salah satu program unggulannya adalah inisiatif "1000 Taman" yang dimulai sejak awal 2000-an. Hingga 2024, program ini telah menghasilkan lebih dari 560 taman publik yang tersebar di berbagai sudut kota. Taman-taman ini tidak hanya berfungsi sebagai ruang rekreasi, tetapi juga berperan penting dalam menyerap polutan udara, mengurangi efek pulau panas perkotaan, dan meningkatkan estetika kota. Dengan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mencapai 21% dari total wilayah kota—di atas rata-rata nasional—Surabaya berhasil menunjukkan komitmen kuat terhadap pembangunan berkelanjutan.
Salah satu aspek unik dari strategi Surabaya adalah integrasi antara ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru, yang tidak hanya berfokus pada penghijauan tetapi juga pada pengelolaan sumber daya air. Sungai Kalimas, yang merupakan ikon kota, telah direvitalisasi menjadi ruang terbuka biru multifungsi. Revitalisasi ini melibatkan pembersihan sungai dari limbah domestik dan industri, penanaman vegetasi yang sesuai dengan ekosistem lokal, serta pembangunan jalur pejalan kaki dan area rekreasi di sepanjang bantaran sungai. Proyek ini tidak hanya meningkatkan estetika Sungai Kalimas, tetapi juga mengembalikan fungsinya sebagai pengendali banjir dan penyerap karbon alami.
Berdasarkan Peta Evaluasi Tata Ruang Kota Surabaya Tahun 2022 dan Peta RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, dapat dilihat bahwa Surabaya memiliki komitmen kuat dalam mempertahankan dan mengintegrasikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta Ruang Terbuka Biru (RTB) ke dalam tata kelola kota. RTH, yang ditandai dengan penataan area hijau dalam peta, mencakup taman kota, jalur hijau, hutan kota, dan vegetasi alami yang tersebar di berbagai zona. Kawasan ini memiliki fungsi penting dalam menciptakan keseimbangan ekosistem, mengurangi polusi udara, mengatur suhu kota, serta memberikan ruang rekreasi dan sosial bagi masyarakat. Berdasarkan RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, keberadaan RTH direncanakan mencapai 30% dari total wilayah kota untuk memenuhi standar nasional, meskipun hingga 2022 luasnya baru mencapai 21%. Hal ini menunjukkan adanya upaya yang terus berlanjut untuk memperluas dan meningkatkan kualitas RTH di kota ini.
Selain itu, Ruang Terbuka Biru (RTB), yang diwakili oleh badan air seperti sungai, waduk, dan kawasan pesisir, juga menjadi elemen penting dalam tata ruang Surabaya. Sungai Kalimas, yang merupakan ikon sejarah kota, telah direvitalisasi menjadi kawasan multifungsi yang tidak hanya berfungsi sebagai pengelola sumber daya air tetapi juga sebagai ruang rekreasi, estetika kota, dan penyerap karbon alami. Proyek ini melibatkan penanaman vegetasi di sepanjang bantaran sungai, pembersihan limbah domestik dan industri, serta pembangunan jalur pedestrian dan fasilitas publik. Selain Sungai Kalimas, kawasan pesisir juga mendapat perhatian khusus dalam RTRW untuk menjaga keberlanjutan ekosistem maritim dan mencegah degradasi lingkungan akibat aktivitas manusia.
Dalam konteks RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034, integrasi RTH dan RTB menjadi bagian dari strategi besar untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. RTH diarahkan untuk menyebar di seluruh wilayah, termasuk di kawasan permukiman, perdagangan, dan industri, guna menciptakan ruang hijau yang merata. Kawasan industri diwajibkan menyediakan jalur hijau untuk memitigasi dampak polusi, sementara permukiman direncanakan memiliki taman lingkungan sebagai sarana rekreasi warga. Di sisi lain, RTB, seperti sungai dan waduk, diintegrasikan ke dalam sistem drainase kota untuk mengurangi risiko banjir dan sebagai cadangan air bersih.
Keberhasilan ini didukung oleh kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta. Pemerintah Kota Surabaya, melalui kebijakan tata ruang, telah mengalokasikan anggaran dan sumber daya untuk pengelolaan RTH dan RTB. Komunitas lokal aktif berpartisipasi dalam program penghijauan kota, seperti penanaman pohon dan perawatan taman. Sementara itu, sektor swasta mendukung melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berkontribusi pada pembangunan taman kota, revitalisasi sungai, dan konservasi lingkungan.
Secara keseluruhan, tata ruang Kota Surabaya yang mengintegrasikan RTH dan RTB mencerminkan upaya nyata dalam menghadapi tantangan urbanisasi dan perubahan iklim. Dengan memanfaatkan potensi alam dan teknologi, serta memperkuat sinergi antar pemangku kepentingan, Surabaya mampu menjadi model bagi kota-kota lain di Indonesia dalam menciptakan lingkungan perkotaan yang lebih sehat, nyaman, dan berkelanjutan. Integrasi ini juga menjadi fondasi penting untuk mendukung kualitas hidup warganya sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan bagi generasi mendatang.
Ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka biru (RTB) memiliki peran strategis dalam pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. RTH seperti taman, hutan kota, dan jalur hijau mampu menyerap karbon dioksida (CO2) dan memberikan oksigen yang dibutuhkan untuk kehidupan. Sementara itu, RTB seperti sungai, danau, dan kawasan pesisir berperan penting dalam mengatur suhu lokal, menyerap air hujan, serta mengurangi risiko banjir. Kombinasi keduanya menciptakan ekosistem yang lebih seimbang dan berkontribusi signifikan dalam mereduksi gas rumah kaca, yang merupakan penyebab utama perubahan iklim.
Optimalisasi peran RTH dan RTB tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga pada kualitas hidup masyarakat. Kehadiran ruang terbuka yang terintegrasi memberikan manfaat psikologis, seperti mengurangi stres, meningkatkan kesehatan mental, dan menciptakan ruang sosial bagi interaksi masyarakat. Selain itu, kawasan ini juga menjadi sumber keanekaragaman hayati yang mendukung kelestarian flora dan fauna perkotaan. Dengan demikian, RTH dan RTB tidak hanya berfungsi sebagai elemen fisik, tetapi juga sebagai aset sosial dan budaya yang memperkaya kehidupan kota.
Namun, untuk mewujudkan potensi penuh dari RTH dan RTB, diperlukan dukungan kebijakan yang kuat. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan berbasis bukti dalam perencanaan tata ruang, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya, penerapan insentif untuk pengembangan kawasan hijau, regulasi yang mendukung konservasi air, serta penyediaan anggaran khusus untuk pengelolaan dan pemeliharaan ruang terbuka. Tanpa kebijakan yang jelas dan komprehensif, RTH dan RTB berisiko terancam oleh pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Salah satu contoh konkret langkah nyata sederhana yang dapat mendukung keberlanjutan RTH dan RTB adalah pengembangan Taman Lingkungan. Taman Lingkungan bukan hanya sekadar ruang hijau, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pusat aktivitas masyarakat yang mendorong interaksi sosial, edukasi, dan pelestarian lingkungan. Dalam implementasinya, Taman Lingkungan dapat dirancang untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat setempat, seperti menyediakan area bermain anak, fasilitas olahraga, jalur pejalan kaki yang ramah disabilitas, hingga zona khusus untuk kegiatan komunitas. Selain itu, Taman Lingkungan juga dapat berfungsi sebagai area konservasi lokal dengan menanam spesies tumbuhan endemik dan menyediakan habitat bagi fauna urban.
Untuk memastikan keberlanjutannya, pemerintah dapat melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengelolaan taman ini, menciptakan rasa kepemilikan yang lebih kuat. Dukungan regulasi juga diperlukan, misalnya melalui kebijakan zonasi yang mewajibkan setiap kawasan permukiman untuk memiliki Taman Lingkungan dengan standar tertentu. Dengan pendekatan yang terintegrasi dan berbasis kebutuhan, Taman Lingkungan tidak hanya berkontribusi pada keberlanjutan lingkungan, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.Partisipasi masyarakat juga menjadi kunci dalam pengelolaan RTH dan RTB. Keterlibatan warga dalam menjaga kebersihan, melestarikan keanekaragaman hayati, serta mengawasi penggunaan lahan dapat meningkatkan rasa memiliki terhadap ruang terbuka tersebut. Kampanye edukasi dan program komunitas, seperti gerakan penghijauan dan adopsi sungai, dapat menjadi sarana efektif untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam mengelola ruang terbuka secara berkelanjutan.
Di sisi lain, investasi berkelanjutan dalam pengembangan RTH dan RTB harus menjadi prioritas. Kolaborasi dengan sektor swasta melalui kemitraan publik-swasta (public-private partnership) dapat mendukung pendanaan proyek-proyek hijau yang memiliki dampak jangka panjang. Selain itu, pengintegrasian teknologi, seperti sistem pemantauan kualitas udara atau infrastruktur berkelanjutan, juga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan ruang terbuka.
Dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, RTH dan RTB dapat menjadi elemen vital dalam menciptakan kota yang tangguh terhadap perubahan iklim. Lebih dari itu, ruang terbuka ini berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat, menciptakan lingkungan yang lebih sehat, dan mendukung keberlanjutan kota dalam jangka panjang. Implementasi strategi ini akan menjadi langkah nyata dalam mewujudkan kota yang ramah lingkungan, nyaman, dan berdaya saing global.
Korespondensi Penulis
Muhammad Firdaus/firdausdanoe@gmail.com
Literatur
Benedict, M. A., & McMahon, E. T. (2006). Green Infrastructure: Linking Landscapes and Communities. Island Press.
Bolund, P., & Hunhammar, S. (1999). Ecosystem services in urban areas. Ecological Economics, 29(2), 293-301.
Dinas Kehutanan Jakarta. (2021). Laporan Tahunan: Kapasitas Penyerapan Karbon RTH di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Dinas Lingkungan Hidup Surabaya. (2023). Revitalisasi Sungai Kalimas dan Implementasi Ruang Terbuka Hijau di Surabaya. Pemerintah Kota Surabaya.
Gill, S. E., Handley, J. F., Ennos, A. R., & Pauleit, S. (2007). Adapting cities for climate change: The role of the green infrastructure. Built Environment, 33(1), 115-133.
IPCC. (2022). Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Intergovernmental Panel on Climate Change.
Nowak, D. J., Crane, D. E., & Stevens, J. C. (2013). Carbon storage and sequestration by urban trees in the USA. Environmental Pollution, 116(3), 381-389.
Pemerintah Kota Surabaya. (2024). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya. Retrieved from https://www.surabaya.go.id
PT Semen Indonesia. (2024). Revitalisasi Ruang Terbuka Hijau: Studi Kasus Kolaborasi dengan Pemerintah Kota Surabaya.
Universitas Gadjah Mada. (2020). Studi Pengelolaan Terpadu RTH dan RTB untuk Mitigasi Perubahan Iklim di Surabaya. Fakultas Geografi UGM.
Walhi. (2022). Laporan Kondisi Ruang Terbuka di Indonesia: Tantangan dan Solusi. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Wetlands International. (2022). Tropical Wetlands and Climate Change Mitigation. Wetlands International.
Comments